Saya kemudian menerka-nerka apakah ada kebijakan solutif bagi nelayan-nelayan ketika diperintahkan membongkar bangunan yang menjadi sumber aktivitas mendapatkan rupiah?Â
"Om terus nanti pindah kemana," tanyaku untuk memancing reaksi tawaran solusi pemerintah kepada mereka.
"Itu dia masalahnya, kami di perintahkan membongkar tapi tidak di beri tempat baru. Padahal kami butuh tempat untuk melakukan fillet, penjualan, setelah penangkapan. Karena tidak ada solusi saya pindah ke seberang jalan, dari pada kami tidak melaut sama sekali," ujarnya sambil menarik rokok kretek dalam-dalam.
Saya mendengarkan dengan seksama, mencoba mencerna apa yang disampaikan oleh Pak Abas. Sebelum akhirnya saya pamit, karena malam sudah menghampiri.
Tetapi saat hendak berpamitan, Pak Abas mengingat sesuatu. Ia menyentil program pemerintah yang berjanji menciptakan 1000 lapangan pekerjaan.Â
Bagi Pak Abas program itu jauh dari kenyataan sebab, lapangan pekerjaan seperti mereka saja justru di abaikan.Â
Padahal, profesi nelayan sudah lama dilakukan dan merupakan mata pencaharian utama guna menghidupi keluarga mereka.
Mendengar keluhan Pak Abas, saya enggan untuk pamit. Saya justru bermain pada wilayah hipotesa-hipotesa selama di lapangan. Mencoba mengaitkan satu persatu problem responden dari 68 nelayan baik pole and line maupun headline.Â
Hipotesa saya menjurus pada kesimpulan bahwa memang mereka adalah kelompok-kelompok yang terabaikan, padahal strukutur pembentujan PDB Daerah bidang perikanan merupakan yang tertinggi dari tambang nikel di Pulau sana yang dieluh-eluhkan.
Program-program seperti penguatan kelembagaan sebagai role of the game dalam meningkatkan daya saing nelayan masih jauh dari kata perhatian. Mereka masih belum tersentuh kebijakan yang tepat untuk meningkatkan kesejateraan.
Akses modal, harga yang adil dan posisi tawar adalah beberapa hal yang menjadi permasalahan nelayan. Selain itu, regulasi semisal kartu nelayan dan asuransi nelayan yang tak berpihak juga nampak dirasakan.