Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Boleh Rusak, Tak Boleh Hilang

6 Oktober 2019   21:44 Diperbarui: 8 Oktober 2019   00:02 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mencuci pakaian di sungai. (Dok. Pribadi)

Ayo ji, tong (kita) ke kali (sungai)
Mau ngpain?
Bacuci....(nyuci)
Wah..ayo.

Penuh semangat saya menyahut. Maklum sudah 20 tahun lebih semenjak 1999 silam ketika saya masih asik-asiknya mandi di sungai.

Kenangan tentang itu tidak pernah surut. Di bumi halmahera sana. ketika sungai menjadi wadah bermain bersama teman-teman sebelum terpisah karena konflik sara. Saya harus kembali ke kampung kelahiran sedang teman-teman nasrani, hingga kini tak besua lagi. Entah kemana mereka. Sebab, setelah konflik tak ada yang sama lagi.

Ayo ji kamu bawa baju kotor yang ini. Sembari menunjuk sebuah baskom besar...

Sungai yang kami tuju tidak jauh dari rumah. Kali ini,saya berada di dataran halmahera selatan. Lebih tepatnya daerah kesultanan bacan. Atau sempat familiar dengan batu bacan 3 tahun lalu itu. Batu hijau yang di gali di kasiruta sana, kampung doko.

Desa saya tempati selama dua minggu disini karena kepentingan riset ialah kampung makian. Kampung makian sendiri merupakan kampung yang isinya suku makian. 

Salah satu suku dari beberapa suku besar yang tenar dan punya andil dalam setiap kontestasi politik. Pulaunya sendiri masih halmahera selatan tetapi, eksedus masyarakatnya mendiami hampir seluruh wilayah halmahera dan maluku utara.

Saya, ibu angkat dan anaknya masing-masing membawa tentengan. Berjalan kami menyusuri setapak yang terbuat dari dana desa. Kurang lebih 10 menit kami sampai. Tidak jauh-jauh amat dari rumah. Dari kejauhan, suara-suara merdu air sungai mulai terdengar. Suara yang sudah lama tak hinggap di telinga.

Mata mulai lihai mencari-cari. Sembari memperhatikan jalanan terjal. Takut terpleset. Adik angkat juga sering-sering mengingatkan. Sesekali berteriak agar hati-hati.

Dan, sampailah kami. Apa yang sedari tadi menggangu pikiran tidak benar-benar terjadi. Pikirku, debet air ini bisa puluhan meter dalamnya. Airnya deras dan banyak pepohonan serta satwa yang mendiami sepanjang sungai.

Ternyata yang ditemui hanyalah batu-batu terjal dan debet air yang tidak lebih setengah meter. Nampak bekas-bekas kebesaran debet air masih telihat. Tapi tak apalah, bisa melihat sungai setelag 20 tahun.

Saya yang sedari tadi benggong oleh analisis, dikagetkan oleh Al, adik angkat ku di sini.

mandi di sungai. (Dok. Pribadi)
mandi di sungai. (Dok. Pribadi)
Kaka, ngn tr mandi (kau tidak mandi)..tanya sambari berjalan ke mulut air yang agak dalam.

Tarada... (tidak) sahutku.

Al tak menunggu lama sebelum habis jawabanku. Ia sudah lincah menyelam sembari memperagakan gaya atlit profesional.

Ibu angkat yang baru tiba kemudian bertanya hal yang sama. Tetapi niat untuk mandi tidak terpikir sama sekali.

Kami masih bertiga di sungai itu. Walaupun jauh mata memandang, ada 4 anak kecil yang riang bermain sembari melompat dari atas batu.

Dulu... kata ibu, sungai ini air dolom (dalam). Dia pe aer basar (airnya besar). Tapi, setelah pembuatan talut untuk perusahaan air, akhirnya so tra dolom (sudah tidak dalam).

Besarkah dia pe talud? (Besarkah taludnya) Tanyaku.

Lumayan besar...sampe tara lia aer jadi sadiki ni. ( tidak lihat airnya jadi sedikit)...jawab ibu sembari tangan lincahnya mengucek baju.

Kondis air sungai (Dok. Pribadi)
Kondis air sungai (Dok. Pribadi)
15 menit kemudian, banyak masyarakat mulai ke sungai. Ternyata, di hari libur seperti ini, banyak warga yang memanfaatkan air sungai ini untuk mencuci. Suasana jadi ramai oleh tawa dan cerita.

Saya dan Al, kemudian memilih mencari habitat-habitat yang menghuni aliran sungai. Ikan, udang maupun kerang. Tapi, lagi-lagi kami tak menemukan apa yang kami cari.

Hanya ada anakan ikan dan kerang-kerang kecil. Selebihnya tidak ada. Anak-anak kecil yang baru datang juga tak tinggal diam mencari. Batu demi batu mereka lewati tetapi nihil.

Saya yang tak kuat menahan perihnya sengatan matahari memilih menepi sembari memperhatikan mereka selama beberapa saat. Terkadang ikut ketawa ketika mereka terpleset dan kadang berpikir apakah anak-anak mereka kelak masih bermain di tempat yang sama.

Seorang anak sedang mencari kerang (Dok. Pribadi)
Seorang anak sedang mencari kerang (Dok. Pribadi)
Seperti kami, dulu di era 90 an silam. Sungai yang menjadi tempat bermain kami di pedalaman halmhera barat tempo itu. Jernih, rimbun dan banyak habitat yang mendiami sungai.

Sepulang sekolah, kami berlari ke sungai yang jaraknya 1 KM sembari menenteng dua jerigen dengan antusias. Sampai disungai, kami memperagakan berbagai macam jurus. Jurus yang paling saya ingat ialah jurus mabuk ala jackie chan dan jurus balacagi (bahasa daerah setempat) lebih tepatnya salah satu jurus andalan di Taekwondo.

Sesekali, jerigen yang kami bawa menjadi media untuk renang. Berjalan jauh ke dalam sungai kemudian berenang ke tempat semula.

Orang-orang dewasa lihai mengawasi. Sesekali mereka mengambil rebung dan memanah ikan maupun udang. Tak tanggung-tanggung hasilnya. Cukup buat makan dua hari.

5 tahun lamanya kami bermain di sungai sebelum kehadiran perusahaan air milik negara. Walaupun, tidak menggangu sama sekali debet air di sungai tersebut. Tak berselang lama, semua menjadi kenangan. Kami harus berpisah oleh keadaan. Tanpa say good bye karena berpikir nyawa kami masing-masing.

Sembari mengamati, mata saya tertuju pada dua burung beo yang sedang asik bermain. Kata ibu, dulu disini menjadi tempatnya burung seperti kaka tua maupun monyet. Tetapi sekarang tidak lagi.

Sayang sekali sahutku. Pembangunan talud sendiri baru berjalan 10 tahun, tetapi akibat dari itu banyak habitat yang kehilangan rantai makanan.

Kedepan, mungkin hanya tinggal batu-batu tanpa air. Anak-anak tak lagi menikmati masa kecil mereka dengan sungai dan hanya akan menjadi pendengar cerita-cerita kenangan. Ibu-ibu sudah akan berjibaku dengan mesin cuci sedangkan burung,ikan dan habitat lainnya harus hilang begitu saja.

Pembangunan merupakan hal penting, tetapi tidak boleh sampai merugikan alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun