Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antara Game dan Buku yang Usang

20 September 2019   01:04 Diperbarui: 20 September 2019   11:51 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bermain game di smartphone (SHUTTERSTOCK)

"Jika buku-buku telah usang, maka jendela dunia akan rapuh".

Tulisan ini hadir ketika saya sedang bertukar pikir dengan salah satu Kompasianer yang sedang giat-giatnya menularkan ide lewat cerpen-cerpen ciamiknya. Pertanyaan-pertanyaan seputar dunia tulis menulis di platfrom Kompasiana menjadi titik acuan diskusi kami berdua. Sudah 4 gelas kopi kami seruput sembari sesekali bercanda.

Saya mulai terganggu ketika warkop yang kami datangi dihiasi bunyi-bunyi yang tidak asing lagi ditelinga. Tidak terhitung pula sudah berapa kali teriakan bersamaan dengan jari jempol yang lincah di atas gadget. Jika bisa dihitung, teriakan-teriakan mereka bisa menumbangkan pemerintah, wkwkkw bercanda.

Dari 6 meja yang ada di warkop ini, hanya kami berdua yang asik membangun pikir, sedangkan 5 meja lainnya pada mabar alias main bersama. Yap mereka sedang asik bermain game semisal PUBG dan Mobile Legend.

Padahal pikir saya, yang baru dua kali nongkrong di sini dapat menemukan kehangatan ide-ide liar dari habitat yang ilmiah. Dan, jika dilihat-lihat mereka adalah mahasiswa-mahasiswa di kampus lokal sini. Terlihat dari nyala laptop dan sesekali "galau" karena tugas-tugas.

Tapi apalah daya, sepertinya lingkungan ini akan terus menghantui. Lingkungan yang bagi saya terekam jelas lewat mata sehari-hari. 

Dalam tiga tahun belakangan, perkembangan game moba tumbuh dengan pesat. Di Indonesia sendiri, game seperti PUBG, Mobile Legend, AoV dan sejenisnya menjadi kegemaran bagi masyarakat, baik anak-anak hingga orang dewasa.

Sumber : lifestyle.bisnis.com
Sumber : lifestyle.bisnis.com
Masih terekam jelas 5 tahun silam ketika terjadi peralihan dari Play Stasion ke game Online. Di antaranya Dota maupun Clash of Cland. Saat itu, saya terkurung di antara diam dalam keramaian. Mematung dan keheranan melihat tingkah kawan-kawan sebaya hingga jauh di bawah kami mabar bersama. Tak jarang kritikan sering dilemparkan. Namun apa daya minoritas selalu tertindas.

Harapan-harapan tentang membangun literasi, menikmati buku hingga bermimpi punya rumah baca di lingkungan kami tinggal cerita pada semangat-semangat usang. Tak ada peduli apalagi menekuni. Padahal kami masih mahasiswa yang katanya buku adalah selimut pikir.

Belakangan, kondisi ini lebih parah. Saya yang berkesempatan melanjutkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Bogor, yang juga tidak jauh-jauh dari habitat ini. Game dan kuliah adalah hal klimaks yang tidak ditemukan teorinya. 

Kawan-kawan saya yang notabenenya kandidat magister justru asyik mengutak-atik game di sela-sela diskusi, bahkan menjadi kewajiban mabar hingga fajar menjelang.

Dan ketika saya memutuskan kembali ke kampung halaman untuk kepentingan ilmiah, kondisi serupa juga justru semakin menggila. 

Teman-teman saya, adik-adik bahkan sebagian kawan-kawan aktifis yang dulu merawat pikir lewat membaca, justru meninggalakan konsep-konsep menjadi usang. 

Tak jarang, perihal solidaritas dan membangun komitmen, mereka menyelanggarakan event-event bergengsi yang pesertanya diikuti hampir sebagaian anak muda di daerah saya, Ternate, Maluku Utara.

Pengalaman event tersebut juga membekas bagi diri. Saat itu, ketika baru hari pertama kembali, saya diajak ke lokasi event. Dan betapa kagetnya ketika melihat hampir ribuan generasi muda berpartisipasi, bahkan menjadi suporter dengan embel-embel layaknya suporter sepak bola. Riuh, gaduh dan ramai.

Anak-anak sekolah, SD hingga SMA nampak memenuhi lapangan. Tak jarang mahasiswa turut hadir dengan antusias. Puyeng? Tentu saja. Sebuah kondisi yang tercipta tanpa sadar telah mengakar pada pola pikir dan tingkah laku.

Saya tidak mengkritisi, atau mengambil sebuah kesimpulan sepihak. Tetapi akan menjadi fatal jika yang yang demikian menjadi makanan sehari-hari.

Pada pola pikir, bangunan diskusi-diskusi yang terpantri hanya seputaran game. Anda pasti akan menemukan kondisi di mana bobotan obrolan hanya seputaran game, mulai dari upgrade level, permainan semalam, hingga pada pertengkaran akibat mabar. Dan jangan berharap Anda ngopi sambil meneropong kondisi yang terjadi pada bangsa kini. 

Hal demikian beriringan dengan pemanfataan waktu. Jika kita percaya bahwa siapa yang dapat memenafaatkan waktu ia akan menjadi tangguh. Ini tidak berlaku bagi mereka. 

Tak jarang, mereka mengahabiskan semalam full untuk bermain game. Membentuk kelompok-kelompok bermodal WiFi di sudut-sudut kamar. Ya, maklum di sela-sela ngorokku, ada mereka yang terpaku di samping.

Buku Yang Usang

Kecanduan game merubah segalanya. Bahkan pada minat membaca buku. Kebanyakan yang saya temui, tidak memiliki bahan bacaan yang menjadi acuan. Jangankan rujukan, buku saja sering tak dijumpai.

Anak-anak sekolah, SD hingga SMA yang sehari-hari bermain di depan mata saya tak jarang lupa mengerjakan tugas-tugas sekolah. Bahkan, tidak sedikit yang paham tentang apa yang harus mereka kerjakan. Lupa jadwal pelajaran bahkan tak menghafal Pancasila.

Secara mentalitas tidak terpatri lagi rasa tanggung jawab dalam diri pada dunia pendidikan, aysik pada dunianya sendiri. Sedangkan, tak jarang saya menemukan kebuntuan ketika membangun diskusi dengan teman-teman mahasiswa. Tak sedikit yang diam bahkan melongo. Tak mampu membangun konsep pikir sebagai mahasiswa yang perlu meletakan ktiris di setiap nalar-nalarnya.

Buku-buku sebagai pegangan perkuliahan atau bahan menambah wawasan bukan barang mewah. Bahkan tidak sedikit yang tidal mempunyai satupun buku cetak. padahal, buku adalah bagian dari wawasan dunia. 

Kita perlu mewanti-wanti yang akan terjadi kedepan. Berharap, ada tindakan aktif dan kesadaran diri. Semua pihak, pemerintah, saya, dan kita semua.

Ah sudahlah tulisan ini harus diakhiri, sebelum hadir stigma-stigma yang lahir karena kesesalan oleh teriakan di sekitar ruang ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun