Bagi kalian warga Jawa Tengah terutama solo, siapa yang tak kenal Ayam Goreng Widuran Solo? Sebuah ikon kuliner sejak 1974, legenda kota yang konon katanya rasa gurihnya bisa bikin orang lupa diri. Tapi rupanya, yang lupa bukan cuma konsumen. Mungkin pihak manajemen juga lupa bahwa negeri ini dihuni mayoritas umat Islam, yang sejak kecil diajari satu hal:Â Babi itu haram.
Dan seperti kisah sinetron panjang yang tiba-tiba menguak rahasia kelam tokoh utama, minggu ini masyarakat Solo dan netizen se-Indonesia dikejutkan oleh sebuah pengakuan dari akun Instagram resmi mereka: Ayam Goreng Widuran kini mencantumkan label NON-HALAL. Dalam surat yang disampaikan dengan nada syahdu dan penuh penyesalan, mereka menyampaikan permohonan maaf atas "kegaduhan" yang terjadi di media sosial. Kegaduhan? Oh tidak, wahai Widuran, ini bukan kegaduhan, ini krisis identitas kuliner!
Minyak Babi: Bukan Bumbu Rahasia yang Kami Pesan
Konon, setiap chef punya bumbu rahasia. Tapi ketika rahasia itu ternyata adalah lard, alias minyak babi, masyarakat tentu berhak merasa tertipu. Selama ini, banyak pelanggan muslim (dan juga non-muslim yang menjunjung tinggi prinsip transparansi) menikmati ayam goreng Widuran tanpa pernah menduga bahwa gurihnya berasal dari sumber yang bagi sebagian besar orang tak sekadar tidak halal, tapi menyinggung keyakinan.
Lebih ironis-nya lagi, kabarnya tidak ada keterangan non-halal yang disampaikan sejak awal. Label itu baru muncul setelah media sosial meledak. Seolah-olah, selama setengah abad lebih, Widuran mengandalkan strategi komunikasi kuliner gaya silent mode. Karena rupanya, yang dipadamkan bukan cuma komentar di Instagram, tapi juga kejujuran di papan menu.
Logo Halal Pada Salah Satau Outlet (Sumber: tangkapan layar google maps 6 tahun lalu)

50 Tahun Kebohongan? Atau 50 Tahun Ketidaktahuan?
Mari kita beri benefit of the doubt: mungkin dulu belum ada kesadaran penuh soal pentingnya label halal. Mungkin dulu konsumen tak terlalu kritis. Tapi ini 2025. Beli cilok aja sekarang sudah tanya "halalnya dari mana, Bang?"
Dalam dunia kuliner modern, bukan hanya rasa yang penting, tapi juga trust. Konsumen bukan sekadar perut berjalan, mereka pembaca label, pengamat etika dan detektif bahan baku. Ketika restoran yang sudah eksis lebih dari setengah abad mengaku baru sekarang menempelkan label NON-HALAL, pertanyaannya bukan "mengapa", tapi "kenapa selama ini tidak?"
Komentar Dimatikan, Tapi Lidah Tak Bisa Dibungkam
Langkah Widuran mematikan kolom komentar mungkin dianggap sebagai cara menenangkan situasi. Tapi ternyata publik jauh lebih pintar. Kolom komentar mati bukan berarti kritik berhenti, Â mereka hanya pindah platform. Dari Twitter (yang sekarang namanya X), ke TikTok, hingga obrolan warung kopi.
Ternyata, gurihnya ayam Widuran tak cukup untuk menetralkan rasa kecewa. Netizen tidak meminta banyak, hanya kejujuran sejak awal. Kalau sejak dulu Widuran menempelkan label NON-HALAL, mungkin tidak akan segaduh ini. Karena pada akhirnya, semua orang punya hak untuk memilah dan memilih dengan informasi yang lengkap.
Panggung Besar Bernama Media Sosial
Ayam Goreng Widuran kini sedang naik panggung, bukan karena launching menu baru, tapi karena pelajaran besar tentang transparansi. Di era digital, informasi bisa meledak seperti minyak panas yang dilempar ke wajan. Mungkin, jika dulu mereka menaruh kepercayaan pada bumbu rahasia, kini mereka sedang dipaksa belajar: "kejujuran adalah resep yang tak bisa disembunyikan".