Cerita lain adalah sosok guru besar, dari kampus mentereng dan lulusan luar negeri, justru waktu siang hari di kantornya kadang gelisah jika tidak menguyam 'utti manurung' yang digoreng tepung. "Pesanko dule pisang goreng di mace (kantin)" pinta beliau kepada mahasiswanya. Saking nikmatnya jika pisang goreng berkolaborasi dengan teh panas.Â
Walaupun kegiatannya padat, ia nampak lebih nyaman dengan tekstur empuk pisang goreng. Dibanding kudapan yang belakangan, sepotong pisang goreng klasik membuatnya lebih romantis di pojokan kampus. Ia pun tak sungkan melahap pisang goreng dihadapan mahasiswa yang sedang presentase tugas kuliah di kelas.Â
Toh mahasiswanya turut menikmati pisang goreng. Dalam pandangan mahasiswanya, dosen tersebut tercitra sikap keramahan, apa adanya dan berkarakter lokal seperti banyak dirindukan mahasiswa yang ngilu dengan tugas kuliah. Tapi bagi mahasiswanya, kudapan pisang goreng itu sangat membantu menambal isi lambung yang lebih sering kosong. Dibeberapa kebudayaan memaknai makan sambil bercerita/diskusi adalah bentuk keakraban, tapi mungkin bisa berbeda maknanya apabila sebaliknya. Setidaknya nuansa dengan pisang goreng tidak menampik hubungan apik dosen-mahasiswa sembari menunggu nilai semester.Â
Unik bukan?. Pisang goreng cukup banyak dijajakan kantin kampus, kira-kira 11 tahun yang lalu, pertamakali saya ke kampus, sampai sekarang pisang goreng bertahan sebagai jualan pamungkas bagi komunitas kampus. Semantara kudapan/kuliner lain baru bermunculan berkat hasil simulasi iklan televisi yang tidak jarang memanipulasi selera.Â
Terdapat indikasi adanya 'daya' dibalik pisang goreng/ 'utti manurung' berkontribusi terhadap selera yang linier dengan identitas sekelompok orang kampus. Bisa jadi hal itu merupakan argumen persistensi terhadap serangan kuliner 'aneh' yang diadopsi dari luar dengan tampilan kekinian -jenis kuliner yang namanya justru sangat sulit dieja bagi pengucapan orang-orang Bugis: donat=donaq; kerupuk=karoppo; kentang=kengtaN; dsb.
Pemahaman lingkungan dan manusia beberapa diantaranya gemar ber-'materialisme' ria. Apa yang dapat diolah dari tanah merupakan salah satu olah pikiran (budaya) tertua manusia. Karenanya, pendekatan seperti itu enggan menyangsikan perilaku sekelompok manusia yang memiliki hubungan istimewa dengan se-sisir pisang. Memang pelik, tapi cukup lumrah seperti dalam perspektif 'Lontar'-nya James Fox.