Mohon tunggu...
Yusuf A
Yusuf A Mohon Tunggu... -

Tinggi 167 cm berat 50 kg

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jangan Remehkan Pisang (Manurung) Muda

3 Januari 2017   10:34 Diperbarui: 3 Januari 2017   10:45 1629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Utti manurung yang tumbuh di Belawa 😄

Pemilihan judul ini tak lebih dari sekedar diksi yang menumpang di kehebohan viral, satu teknik media sosial. Kadang dalam realitas kekinian, bila tidak demikian, mengurai pisang kadarnya 'tak memicu' apa-apa.

Jikapun kita hanya membicarakan pisang pada ranah lokal, apalagi! Tergulir begitu saja karena bukan urusan ke-global-an atau isu-isu keributan. Tapi sebagian orang-orang di selatan jazirah sulawesi akan nampak tragis bila melewatkan begitu saja ketika mendengar "ada pisang muda yang digoreng, lekas itu dipipih menggunakan cobekan, lalu disantap dengan sambal cobekan pula". 

Mungkin banyak istilah yang mewakili deskripsi itu, tapi bagi saya cukup satu yang begitu akrab terdengar: 'sanggara peppe', dalam konsepsi kuliner orang Bugis, atau kita lebih akrapi lagi penyebutannya: 'pisang peppe'. Entah saudara tua atau sepupu sekian kali dengan jajanan pisang bakar disepanjang pantai Losari yang kian melegenda: 'pisang epe'. Kondisi pasti adalah keduanya berasal dari satu jenis pisang! Kulit pisangnya pun digemari kambing di kandang penanti lebaran haji.

Dalam bahasa, pisang ini sering disebut pisang kepok. Saya memilih preferensi orang Bugis yang menyebutnya 'utti manurung', walaupun sebagian lainnya menyebut 'utti mabbija' atau 'loka'. Menggunakan istilah 'lokalitas' setidaknya bisa menjadi pintu masuk menjejali kultur orang-orang yang memberi nama terhadap jenis buah pisang tersebut. Bukan hanya soal nama objek (pisang/buah/tanaman) tapi konsep yang memberi pengertian materiil lingkungan dan pemaknaan oleh manusianya. 

Saya memulai kerumitan berpikir ekologis itu dan berasumsi 'utti manurung' merupakan instrumen dari korelasi manusia dan lingkungan, bahkan lebih kompleks karenanya. Itu berarti frasa 'utti manurung' merupakan salah satu bahasa figuratif dalam konteks budaya Bugis dengan lingkungannya. Mengandaikan 'utti manurung' layaknya warisan atau pusaka yang mengondisikan makna dalam budaya, tapi dipandang tidak cukup signifikan, remeh? Lantas bagaimana memahaminya?

Sulit mendalami asal-usul pisang jenis ini disebut 'utti manurung'. Malah akan semakin rumit jika harus menelusuri muasal pembiakan tanaman ini serupa dengan domestifikasi-nya Jared Diamond. Kenyataannya, sampai saat ini 'utti manurung' begitu lekat dengan kehidupan orang-orang di banyak kampung, sulawesi atau malah di nusantara kebanyakan. Batang hingga pucuk daunnya dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga hingga urusan ritual-ritual sakral - selain 'kelapa' dalam daftar Gene Amarell, nampaknya pisang pun demikian bagi orang Bugis. 'Utti manurung' nampaknya lebih fungsional dari kudapan lainnya: 'ubi'. 

Saya mencontohkan bagaimana buah pisang yang matang, dihaluskan dengan pelepah daun, dan dibungkus dari helai daunnya pula, dikukus dan disajikan sebagai 'barongko'. Tanaman ini bertunas, sekali ditanam, akan lebih banyak bertunas lagi, cukup subur tumbuh pada bentang alam tropis. Mampu bertahan cukup lama, belum juga tunas sebelumnya berbuah, disebelah bawahnya akan tumbuh tunas baru lagi. Rangkaian pertumbuhannya seperti turun-temurun. Mungkin karena itu pula disebut 'utti manurung' oleh orang-orang Bugis. Jika ditransliterasi bebas, maka berarti 'pisang turun dari atas'?. Karenanya, cukup membingungkan untuk melakukan interpretasi kultural terhadap penamaan pisang ini.

Seorang kawan menceritakan tentang orang-orang Bugis di Desa Manurung, Luwu Timur. Keyakinan orang-orang di kampung itu terpatri sebagai keturunan 'To Manurung': pemimpin manusia yang turun dari langit. Jika membaca literatur mengenai Bugis kuno, kesimpulannya kisah 'To Manurung di mulai dari Luwu yang kemudian menyebar dengan ragam versi. Namun seperti kampung lainnya di Sulawesi, epos 'To Manurung' tidak lain merupakan sumber legitimasi penguasa-penguasa tradisional dahulu kala. Karena kepercayaan orang-orang di Desa Manurung sebagai keturunan 'To Manurung', mereka pantang/pemali? Mengonsumsi 'utti manurung'. Bagi mereka, melanggar pantangan itu, makan 'utti manurung' akan menyebabkan sakit perut, gatal hingga demam. 

Orang-orang tersebut justru sulit untuk menjawab ada apa keturunan 'To Manurung' dengan 'utti manurung'? Mengapa harus pisang empuk itu yang dipantangkan? Kawan yang menceritakannya ini, cuma tahu bagaimana cara mengetahui identitas kulturnya. Jika ditawari 'utti manurung' dan mengatakan pisang itu pantangan, disimpulkan orang tersebut dari Desa Manurung. Sementara Desa Manurung merupakan kampung yang dialiri Sungai Cerekang. Satu kebetulan atau tidak, disepanjang pinggiran Jln. Sungai Cerekang di Kota Makassar justru dijejali penikmat minuman sarabba' beserta ubi goreng dan pisang goreng dari 'utti manurung'!.

Sementara itu, di kampung lainnya, 'utti manurung' justru digemari dan dijadikan 'alat' pergaulan. Tidak sampai disitu saja, 'utti manurung' sering dihadirkan dalam beberapa ritual-ritual tradisional dibeberapa kampung. Salah satu unsur yang hadir di sesajian -menjelaskan keterkaitan pisang dengan ritual yang saya maksud berisiko agar dilakukan penelitian yang serius. Pada keseharian orang-orang Bugis di kampung. Manakala arena 'panrung' (balai bambu) atau 'lego-lego' (beranda rumah panggung) mulai nampak memikat bagi penikmat waktu senggang. 

Kudapan macam 'pisang peppe' adalah alat rayuan bagi kerabat untuk berkumpul, pun dengan tetangga yang punya banyak bahan gosip. Kadang 'utti manurung' diambil dari kebun si A, diolah oleh si B yang punya keterampilan masak di rumah si C yang sejuk di siang bolong, lalu si D yang lebih senang komentar soal makanan. Kemungkinan keintiman dan rasa solider bisa hadir cukup dengan 'pisang peppe'. Karenanya banyak hal yang dibahas dengan banyak topik mulai dari soal kematangan pisang sampai memecahkan perbedaan 'kampus' dibawah kolong rumah panggung dengan 'kampus' yang ada di kota sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun