Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menikmati Dijajah Asing

29 Agustus 2012   04:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:11 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anti luar negeri?

Ah, kukira hanya omong kosong belaka! Apalagi bila engkau mengumbar kata-kata itu di ruang publik, membangun dan menggiring opini, juga membangun massa agar bersikap anti luar negeri. Pertanyaan penting yang perlu dijawab, bila benar engkau menyatakan dan bersikap demikian, maka tindakan apa yang telah engkau lakukan untuk menunjukkan ke-anti-an-mu?

Tidak perlu jauh-jauh. Mulai dari posisi-mu sekarang berada. Hal termudah adalah barang-barang apa yang engkau gunakan? Lihat sekeliling, masih soal benda, benda apa saja dan darimana berasal? Apakah ada benda/barang yang bukan berasal dari produk luar negeri? Seberapa banyak dan seberapa perbandingannya dengan barang yang bisa diklaim sebagai produk dalam negeri?

Beranjak lagi, tentang kata dan bahasa yang kita gunakan. Berpatokan pada apa ketika kita menghitung jarak, waktu, berat, panjang dan lebar, serta lainnya? Apakah itu kata dan bahasa asli kita?

Belum lagi soal keyakinan yang dimiliki. Tentu semua berasal dari luar negeri, bukan?

Persoalannya, bukan soal anti dan tidak anti luar negeri. Apalagi pada masa sekarang saat globalisasi yang bisa kita ejek dengan gombalisasi semakin merasuk tidak terbatas pada masyarakat di daerah perkotaan, melainkan juga telah merasuk hingga pucuk gunung.

Masih lekat dalam ingatan, ketika beberapa kawan, dalam waktu yang singkat berkegiatan bersama anak-anak di daerah pedesaan yang lumayan berjarak dari pusat keramaian. Hasil yang didapatkan, salah satunya adalah ketika para petani, yang dulu memiliki subsistensi atas tanaman-tanaman yang digunakan sendiri, sudah sangat sedikit (untuk mengatakan tidak ada) yang mempertahankan hal itu. Hasil pertanian telah dipertukarkan, tidak lagi ada yang tersimpan, untuk kemudian uang yang didapat, justru dibelikan barang-barang konsumsi ”instan” bukan produk sendiri atau tetangga-tetangganya.

Hal serupa juga saya dapatkan ketika berdialog dalam suatu pertemuan dengan para petani di Kebumen, di sela materi saya melontarkan pertanyaan tentang konsumsi yang lekat dengan mereka pada masa kecil, lalu membandingkan dengan konsumsi yang berlangsung pada saat ini, juga melihat konsumsi anak-anak mereka sekarang.

Perubahan yang terjadi memang sangat pesat. Tanpa disadari, kita sudah sangat tergantung pada hal-hal yang (semula) asing, untuk kemudian justru dirasakan menjadi kebutuhan sehari-hari. Hal ini yang membuat lumpuh tanpa disadari. Kita justru menikmati dijajah. Bukankah begitu?

Kembali ke pertanyaan awal, tentang sikap kepada luar negeri. Sikap yang harusnya dibangun adalah bersikap kritis, untuk bisa memilah dan memilih, sesuai dengan kebutuhan, tanpa terbangun rasa ketergantungan, dan tetap memiliki kekuatan mandiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bisa menentukan dengan baik, mana hal yang benar-benar menjadi kebutuhan dan mana yang dilandasi oleh teror-teror iklan sehingga keinginan bisa berubah menjadi kebutuhan.

Jadi, saya kira bersikap anti luar negeri adalah hal yang percuma. Terpenting, adalah membangun diri dan masyarakat serta bangsa ini memiliki sikap keyakinan diri untuk mempertahankan dan mengembangkan produksi yang bisa digali dari sumber daya alam yang ada, menggunakannya dengan rasa bangga, tanpa terganggu dengan mitos “manusia modern”, walau tetap terbuka kepada produk yang memang dibutuhkan tapi tidak bisa disediakan.

Peranan para pengelola negara sangatlah penting untuk membendung arus produk atau penguasaan kekayaan oleh pemodal asing, dengan mengedepankan membangun masyarakat Indonesia.

Masih bersikap anti luar negeri? Teringat seorang kawan ketika bersama-sama memberi pelatihan bagi para guru TPA di suatu pondok pesantren sepuluh tahun yang lampau: Nerakalah tempat kalian1

Yogyakarta, 29 Agustus 2012

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun