Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Modus Praktek Prostitusi Berubah

15 Desember 2011   17:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:13 2368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beruntung bertemu dan bisa berdiskusi dengan rekan-rekan di Yayasan Setara yang selama ini dikenal memiliki perhatian terhadap persoalan prostitusi anak di Semarang. Sebelumnya mereka dikenal sangat dekat dengan kegiatan bersama anak jalanan yang telah dilakukan sejak tahun 1993.

Pada tahun 1997, ketika kehadiran anak jalanan Perempuan semakin marak, mulai terindikasi adanya anak-anak yang dijerumuskan ke prostitusi. Jumlahnya terus meningkat sehingga pada tahun 1999 Yayasan Setara melakukan penelitian khusus mengenai anak jalanan Perempuan dan menemukan bahwa 46,4% anak jalanan perempuan telah menjadi korban prostitusi.

Pada tahun 2000, secara khusus Yayasan Setara membuat program untuk memulihkan dan mencegah anak jalanan agar tidak menjadi korban prostitusi. Perkembangan selanjutnya, program berkembang dan terfokus pada persoalan prostitusi ang tidak terbatas pada anak jalanan perempuan saja.

Pada tahun 2007, saya merasa beruntung bisa terlibat bersama mereka melakukan penelitian mengenai prostitusi anak di Semarang dan sekitarnya yang menjadi dasar bagi pengembangan strategi pelaksanaan program.

Kali ini, saya berkesempatan berdiskusi dengan rekan-rekan Yayasan Setara untuk melihat perkembangan terakhir.

Beberapa temuan yang terungkap berdasarkan hasil pengalaman program, hasil observasi dan informasi-informasi yang dihimpun yang dikemukakan dalam diskusi ini, antara lain:


  • Keberadaan anak-anak dalam prostitusi di jalanan yang pada awal tahun 2000-an sangat marak dan dikenal dengan sebutan cilik-cilik betah melek sudah mulai sulit ditemukan lagi.
  • Tempat rehabilitasi sosial (resos) yang dikenal dengan istilah lokalisasi, secara resmi telah ditutup oleh Pemerintah Kota Semarang, namun dalam kenyatannya praktek prostitusi masih berlangsung, yaitu di Sunan Kuning (SK) dan Gambilangu (GBL). Kontrol menjadi tidak ada sehingga dimungkinkan adanya perekrutan terhadap anak-anak.
  • Tiga tahun terakhir telah bermunculan kasus-kasus tentang anak-anak yang berada di dua lokalisasi tersebut dan diindikasikan menjadi korban perdagangan anak untuk tujuan seksual yang berhasil dibongkar oleh pihak kepolisian. Pengalaman ini membuat para pengelola rumah bordil menjadi takut atau setidaknya lebih berhati-hati untuk merekrut anak-anak
  • Bilapun sekarang dijumpai sosok-sosok dengan melihat wajah atau penampilannya diduga masih dalam batas umur anak (dibawah 18 tahun), ada kecenderungan ketika ditanya mereka akan menaikkan umurnya menjadi dewasa.
  • Menjamurnya tempat-tempat karaoke baik di lokalisasi ataupun tempat-tempat lainnya, yang menyediakan Pemandu Karaoke (PK) yang biasanya adalah perempuan-perempuan muda, dan diantaranya diduga masih anak-anak. Sudah menjadi rahasia umum, seringkali para PK dijerumuskan pula ke dalam praktek prostitusi terselubung.
  • Yayasan Setara pernah melakukan workshop dengan anak-anak yang telah menjadi korban prostitusi, diantaranya masih aktif bersekolah. Selain itu, pernah pula dilakukan workshop dengan para pelajar yang merekomendasikan untuk melakukan pengamatan dan observasi terhadap prostitusi di kalangan pelajar. Berdasarkan dua kegiatan tersebut, indikasi adanya praktik prostitusi di kalangan pelajar sudah terjadi, namun tidak diketahui besaran masalahnya.

Temuan-temuan di atas, berdasarkan pengalaman mencermati situasi prostitusi anak di berbagai kota, menunjukkan adanya perubahan modus yang hampir serupa. Penggunaan teknologi yang sudah bukan merupakan barang mahal seperti penggunaan HP dengan beragam fasiliasnya, komunikasi di jejaring sosial dan room-room chatting yang sudah menjadi bagian komunikasi antara anak dengan klien (konsumen) sudah banyak ditemukan di berbagai kota. Tentu saja, komunikasi langsung yang bersifat personal akan menyulitkan untuk mendeteksi keberadaan, jumlah dan masalah-masalah yang dihadapi yang berarti pula tantangan besar akan menghadang dalam upaya melakukan penanganan agar anak bisa ditarik dari situasi buruk. Tentang penggunaan modus ini, di Semarang belum ada informasi yang memadai.

Tentu saja berharap bahwa prostitusi anak di Semarang benar-benar sudah jauh berkurang. Untuk membuktikan hal ini, maka rekan-rekan di Yayasan Setara tengah melakukan pengumpulan data dan informasi guna mengupdate atau mendapatkan gambaran mengenai situasi akhir prostitusi anak.

Jadi, ya, kita tinggal menunggu hasilnya saja.

Lepas dari itu, harapan kita semua tentunya agar eksploitasi seksual terhadap anak-anak khususnya dalam prostitusi bisa teratasi, anak-anak bisa terhindar menjadi korban, dan bila terjadi kasus, para pelaku dapat diproses secara hukum dan dijerat dengan hukuman yang setimpal.

Salam hangat,

Odi Shalahuddin
Semarang, menjelang pergantian tanggal 15 ke 16 Desember 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun