Seminggu terakhir Indonesia diguncang gelombang demonstrasi besar yang menyebar ke berbagai kota: Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, hingga Medan. Aksi yang awalnya hanya berfokus pada penolakan kenaikan tunjangan DPR berubah menjadi letupan kemarahan yang lebih luas terhadap kepolisian, terhadap sistem, terhadap negara yang kerap abai pada suara rakyat. Ironisnya, ruang demokrasi yang seharusnya terbuka justru dipenuhi gas air mata, water cannon, represi, bahkan korban jiwa.
Tragedi Affan Kurniawan, driver ojek online yang dilindas kendaraan taktis Brimob, menjadi potret nyata betapa nyawa rakyat seakan tak ada nilainya. Kasus ini viral karena publik sempat merekamnya. Sayangnya, alih-alih dijadikan pelajaran, aparat justru membatasi rekaman publik dengan melarang live TikTok di lokasi aksi---bahkan sampai menghapus fitur itu beberapa saat kemudian. Bagi saya, itu aneh. Rekaman publik bukan ancaman, melainkan cermin: bukti paling jujur dari bagaimana aparat memperlakukan rakyat.
Sampai hari ini, Kapolri dan Kapolda memang sudah minta maaf, tujuh anggota Brimob diperiksa. Namun kita semua tahu, rakyat tidak butuh basa-basi. Yang ditunggu adalah akuntabilitas nyata. Kita membayar seragam aparat dengan pajak, bukan untuk menegakkan hukum rimba, tapi agar setiap orang bisa pulang dengan selamat.
Masalahnya, praktik kekerasan aparat bukan kali ini saja. Dari tragedi Kanjuruhan sampai kasus-kasus kriminalisasi demonstran, pola yang sama berulang: rakyat ditindas, aparat lolos dari hukuman. Dua dari tiga polisi terdakwa Kanjuruhan bahkan divonis bebas, meski ratusan orang meninggal. Di sisi lain, anggaran Polri terus membengkak. Tahun 2025, anggarannya melonjak jadi Rp145,6 triliun, salah satu yang terbesar dalam APBN tapi prioritasnya justru belanja senjata, kendaraan taktis, dan teknologi pengawasan, bukan peningkatan profesionalisme dan pelayanan.
Tidak heran, masyarakat marah. Rakyat sudah menunaikan kewajibannya membayar pajak, sementara hak untuk tahu, hak untuk aman, dan hak untuk bersuara justru ditindas. Lebih menyakitkan lagi, ketika wakil rakyat yang seharusnya mendengar malah WFH di hari demo, bahkan ada yang tega menyebut rakyat "tolol".
Ada tiga langkah mendesak yang menurut saya harus dilakukan:
1. Reformasi total DPR mulai dari transparansi anggaran, pembatasan gaji/tunjangan, hingga larangan mantan napi korupsi duduk di parlemen. Semua rapat dan sidang wajib disiarkan live agar rakyat bisa mengawasi.
2. Reformasi kepolisian hentikan budaya kekerasan, tegakkan standar profesionalisme, dan pastikan pelaku pelanggaran benar-benar dihukum, bukan diselamatkan.
3. Penguatan partisipasi publik media sosial dan rekaman publik tidak boleh dilarang, karena itu alat pengawasan paling murni yang dimiliki ra
Menurut saya satu solusi konkret yang bisa segera dijalankan adalah membentuk badan independen pengawas kepolisian yang benar-benar netral, bukan di bawah Polri maupun pemerintah. Badan ini wajib menerima laporan masyarakat, memantau penggunaan anggaran raksasa Polri, dan memastikan setiap tindak kekerasan aparat diusut hingga tuntas. Dengan mekanisme itu, barulah rakyat percaya bahwa hukum bukan hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.