Sebagai perantau dari Jawa Timur yang menetap sementara di Yogyakarta, saya sering kali merindukan suasana khas kampung halaman yang sederhana, hangat, dan penuh cita rasa lokal. Rindu itu bukan hanya soal keluarga atau teman masa kecil, tetapi juga aroma pagi yang menyapa dari secangkir kopi hitam buatan warung, atau suara obrolan ngalor-ngidul yang akrab meski tak saling mengenal. Siapa sangka, semua itu saya temukan di sebuah tempat kecil di bilangan Nologaten: Gandroeng Coffee.
Awalnya saya datang ke tempat ini tanpa ekspektasi. Saya pikir, ini hanyalah satu dari sekian banyak coffee shop di Yogyakarta yang menawarkan ambience estetik dan kopi kekinian. Tapi begitu masuk ke dalamnya, saya langsung merasa ini bukan tempat yang ingin tampil "wah", tapi tempat yang ingin menjadi rumah dan itu berhasil.
Gandroeng Coffee punya aura yang tidak dibuat-buat. Letaknya yang agak masuk dari jalan besar menjadikannya tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Tempat ini bukan sekadar cozy atau instagrammable, tapi otentik. Meja kayu sederhana, bangku panjang, poster jadul, bahkan camilan yang tersedia pun serasa di rumah sendiri. Setiap detailnya membawa saya pada kenangan tentang rumah nenek di Bojonegoro hangat, jujur, dan membumi.
Yang membuat saya makin nyaman adalah menu kopi dan makanannya. Tidak banyak coffee shop yang berani mengusung kopi lokal Jawa Timur secara dominan, tapi Gandroeng justru menjadikannya identitas utama. Nama-nama seperti Kopassus (kopi susu serius), Kotangsu (kopi tanggung susu), Sukoco (susu kopi coklat) bukan cuma kreatif, tapi juga menggambarkan gaya minum kopi masyarakat timur, tidak terlalu ribet, tapi mantap.
Saya sendiri langsung jatuh cinta pada Sukoco, campuran antara kopi, susu, dan cokelat yang pas di lidah. Tidak terlalu manis, tidak terlalu pahit. Rasanya seperti pelukan di tengah malam: menghangatkan tapi tetap membuat terjaga. Dan yang lebih menyenangkan, harganya sangat bersahabat. Untuk kopi dengan cita rasa lokal dan suasana yang menyenangkan, kisaran harga Rp8.000 hingga Rp11.000 itu benar-benar murah. Di tempat lain, harga segitu mungkin hanya cukup untuk air mineral botol.
Tapi bukan cuma kopi yang jadi daya tarik. Gandroeng juga menyediakan makanan khas Jawa Timur seperti pecel komplet dengan peyek kacang yang renyah. Saya sempat terdiam saat menyantapnya karena rasanya benar-benar seperti buatan ibu. Aroma bumbu kacangnya kuat, teksturnya pas, dan porsinya memuaskan. Ini bukan makanan sekadar pelengkap kopi, tapi bisa jadi alasan utama datang ke tempat ini.
Hal lain yang patut diapresiasi adalah suasana sosialnya. Gandroeng Coffee bukan tempat yang sunyi senyap seperti perpustakaan, tapi juga bukan tempat yang bising seperti kafe trendi. Ia berada di tengah cukup hidup untuk merasa ditemani, cukup tenang untuk menyendiri. Beberapa kali saya datang untuk mengerjakan tugas atau menulis artikel, dan tak sekalipun saya merasa terganggu. Sebaliknya, suasana yang hangat justru menstimulasi kreativitas.
Selain itu, mereka juga punya jam operasional yang fleksibel, buka dari pukul 10.00 hingga 01.00 dini hari. Sebagai orang yang lebih produktif di malam hari, ini tentu kabar baik. Tidak perlu lagi terburu-buru mencari tempat kerja yang tutup jam sembilan.
Kehadiran Gandroeng Coffee di Yogyakarta, menurut saya, adalah sebuah keberkahan kecil yang mungkin tidak disadari banyak orang. Ia bukan tempat mewah, bukan tempat hits yang selalu muncul di feed Instagram, tapi ia tempat jujur yang memberi ruang bagi rindu, kerja, dan tawa.
Kadang, tempat yang kita butuhkan bukanlah yang paling ramai atau paling mahal. Tapi yang paling tulus menyambut kehadiran kita. Dan Gandroeng adalah tempat semacam itu. Ia tidak menawarkan kemewahan, tapi menghadirkan kembali rasa "rumah"---dan untuk saya, itu jauh lebih berharga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI