Bagi banyak orang, Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, kota seniman, atau kota dengan biaya hidup yang murah. Tapi bagi saya pribadi, Jogja adalah sesuatu yang lebih dari itu. Ia bukan sekadar tempat tinggal sementara atau destinasi wisata, melainkan ruang batin yang membuat saya merasa bisa menjadi diri sendiri. Tanpa topeng, tanpa pencitraan, tanpa tuntutan untuk selalu sempurna.
Saya pertama kali datang ke Yogyakarta bukan karena tujuan besar. Saat itu saya hanya ingin jeda. Dari kesibukan, dari rutinitas, dari tekanan kehidupan yang sering kali membuat saya merasa hampa. Jogja tidak menyambut saya dengan gemerlap, tidak pula dengan kemewahan. Tapi entah kenapa, sejak hari pertama menjejakkan kaki di sini, saya merasa diterima. Seolah kota ini berkata, "Tenang, kamu tidak harus jadi siapa-siapa di sini."
Perasaan itu terus bertahan hingga hari ini. Di Jogja, saya bisa jalan kaki tanpa arah melewati gang-gang kecil di daerah Kotabaru, duduk di angkringan dengan es teh dan nasi kucing, atau membaca buku di taman kota sambil menikmati angin sore yang pelan. Semua hal sederhana itu terasa cukup. Jogja tidak pernah membuat saya merasa kurang hanya karena saya tidak tampil mencolok. Jogja justru mengajarkan bahwa kesederhanaan adalah bentuk kebahagiaan yang paling jujur.
Satu hal yang membuat Jogja begitu istimewa bagi saya adalah keberagaman yang dirawat tanpa dipaksakan. Di kota ini, saya melihat mahasiswa, seniman jalanan, ibu-ibu pedagang, musisi, dan anak-anak muda kreatif hidup berdampingan. Tak ada batas yang kaku. Semuanya berjalan beriringan, saling menghargai, dan tumbuh dengan caranya masing-masing. Saya pernah menyaksikan sekelompok anak muda bermain musik di pinggir jalan, sementara di seberangnya ada komunitas membaca puisi, dan tak jauh dari situ, sekelompok ibu-ibu sibuk menyiapkan makanan untuk acara warga. Semua terjadi bersamaan, tapi tidak ada yang saling mengganggu. Itu Jogja: kota yang memberi ruang bagi semua bentuk ekspresi.
Jogja juga kota yang sabar. Di kota-kota besar lain, saya merasa harus terus bergerak cepat, bersaing, dan selalu mengejar sesuatu. Tapi di Jogja, waktu seakan melambat. Di sini saya bisa berhenti, menghela napas, dan merenung tanpa merasa bersalah. Saya bisa gagal, menangis, mencoba lagi, dan itu semua dianggap biasa. Kota ini tidak memberi tekanan untuk selalu sukses. Justru di sinilah saya belajar bahwa tumbuh tidak harus tergesa.
Saya ingat satu sore saat saya duduk di tepi Sungai Code. Hari itu saya sedang merasa gagal. Banyak rencana hidup yang tidak berjalan sesuai harapan. Tapi di kejauhan, saya mendengar alunan musik dari seseorang yang memainkan gitar. Lagu yang dinyanyikannya sederhana, namun kata-katanya menguatkan. Saya tidak tahu siapa dia, tapi ia membuat saya merasa tidak sendiri. Mungkin karena di Jogja, bahkan orang asing pun bisa menjadi pengingat bahwa hidup ini tetap berjalan.
Yogyakarta juga kota yang memberi ruang untuk menyembuhkan diri. Banyak teman saya yang datang ke sini karena ingin memulai dari awal. Ada yang patah hati, ada yang bosan dengan kota asalnya, ada juga yang sekadar ingin kabur sejenak. Dan Jogja menerima mereka semua. Tidak dengan gemuruh, tapi dengan pelukan hangat yang sunyi.
Tentu, Jogja bukan kota tanpa masalah. Saya menyadari ada isu-isu serius seperti pembangunan yang tidak merata, wisata yang kadang berlebihan, hingga naiknya harga tanah yang mengancam masyarakat lokal. Tapi di balik semua itu, jiwa Jogja tetap bertahan. Masih ada suara gamelan di kejauhan, masih ada pasar tradisional yang hidup sejak pagi, masih ada komunitas yang menjaga nilai-nilai lokal.
Saya tahu mungkin suatu hari saya harus pergi dari Jogja. Tapi kota ini sudah terpatri dalam diri saya. Ia telah mengajarkan saya tentang kejujuran, ketulusan, dan pentingnya menjadi versi paling murni dari diri sendiri.
Jadi, jika suatu hari seseorang bertanya mengapa saya mencintai Yogyakarta, saya akan menjawab: karena di kota ini, saya merasa cukup menjadi diri saya sendiri. Dan itu lebih dari cukup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI