Bagaimana Aku Melupakan Dirimu
DN Sarjana
Setelah membaca SK pengangkatan menjadi guru, aku merasa tidak percaya. Apakah benar SK itu menugaskan aku di desa terpencil seperti itu? Kegembiraanku bercampur sedih. Namun tidak ada pilihan lain aku harus berangkat. Aku kuatkan niat. Bukankah dari sekolah dulu sudah berkeinginan jadi guru.
Bulan April 1989. Aku masih ingat tiba di desa tempat tugasku. Namanya Desa Gunung. Sesuai dengan nama desanya, Desa Gunung terletak di kaki gunung Agung. Walau di gunung, desa itu sangat tandus. Pohon-pohon besar lumayan banyak, tapi tanahnya bebatuan. Yang paling menyedihkan, sulitnya mencari air. Penduduk memakai air hujan yang ditampung untuk keperluan segala macam, mulai dari di dapur, mandi, mencuci dan sebagainya. Tak heran masyarakat disana mandi sekali dalam satu hari sudah luar biasa.
Setelah menumpang ojek dengan jalanan berliku, rumah pertama yang saya tuju adalah rumah kepala desa. Ada orang tua memberi petunjuk.
"Selamat siang bapak, ibu." Begitu aku menyapa sebelum masuk rumah. Hatiku bergetar, ketika yang keluar seorang gadis ayu. Kulitnya putih bersih.
"Selamat siang. Mari masuk. Silahkan duduk. Aku kedapur sebentar." Perempuan itu meninggalkan aku sendiri. Aku merasa salah tingkah.
"Ini pak, minum dulu kopinya."
Waduuh pas banget.
"Terimakasih. Ijin saya minum mbak."
Setelah mimum kopi tiga gerusan aku memperkenalkan diri. "Aku Putro. Aku calon guru yang ditugaskan di SD 1 Gunung. Aku ingin ketemu Bapak Kepala Desa untuk melapor. Perempuan di depanku terlihat malu-malu.
"O iya. Kepala Desa itu bapakku. Namanya Sudaryanto. Maaf beliau pergi rapat ke kantor camat. Ibuku masih ke kebun. Mohon ditunggu ya. Bentar aja datang."
"O, kalau gitu, aku ijin sebentar ya. Mau kewarung. Cuman nitip bawaan ini di sini."
"Boleh-boleh. Silahkan dipindahkan ditempat yang lebih aman." Jawab perempuan manis itu.
6 5 2024
BERSAMBUNG