Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Datuk Tabroni

3 Agustus 2021   12:47 Diperbarui: 3 Agustus 2021   13:08 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat matahari lingsir perlahan di ujung laut Tanjung Jabung, perempuan muda berkain sarung motif durian pecah, dengan baju tidur pendek bertotol hitam tampak asyik memandangi cempakul  yang berenang-renang di sekitar halaman rumahnya yang sedang surut. Beberapa kantong plastik, kayu dan lalat hinggap di sana.

Rambutnya yang lurus sebahu dibiarkan tergerai, sesekali ia membetulkan kain dan mengelus-elus rambutnya yang legam sedikit lengket karena rajin diberi minyak kemiri khas seorang gadis. Ibunya, selalu mengingatkan agar ia menjaga kebersihan dan kemolekan tubuhnya, bahkan ia juga sering mandi air rebusan dari campuran daun ilalang, daun rambutan, daun pisang sematu dan bebungaan yang menghasilkan harum tubuhnya. Itu semua tak lain, untuk menjaga kecantikannya.

Wati orang memanggilnya, gadis desa kenamaan di Mendahara. Orang-orang mengenalnya sebagai gadis berparas cantik, kulitnya yang kuning langsat didapat dari ibunya. Sedang tinggi badannya ia dapatkan dari ayahnya. Meski keluar rumah hanya dengan kain dan baju tidur, niscaya gadis-gadis desa yang lewat akan minder padanya. Tak usah bayangkan laki-laki tanggung yang memandang Wati, semua sudah pasti merasakan debar yang teramat.

Wati suka keluar, namun tak pernah diizinkan untuk jauh dari rumah. Ia suka melihat cempakul saat air surut, ikan-ikan itu menggali-gali tanah, bebas bergerak kemana saja, sesekali bersembunyi tanpa gerakan apapun di dekat akar pohon mangrove yang tumbuh bebas di pekarangan. Desa itu memang sedikit berbeda, berada di tepi laut dengan airnya yang berwarna kuning, tidak sama seperti laut pada umumnya. Rumah penduduk pun menyatu dengan badan jalan, mirip Titian panjang berkelok dengan sensasi aspal. Di desa itulah, Wati lahir dan dibesarkan. Ayahnya seorang pelaut yang mencari udang dan ikan untuk dibuat ikan asin yang dibantu Mina, ibunya.

Sesaat setelah melempar-lempar cempakul dengan kerikil kecil, Wati merasakan pedar hangat di punggung tangannya, ia menggaruk sedikit demi sedikit. Aneh, tidak biasanya ia begini. Padahal dua hari yang lalu dia baru saja meluluri tubuhnya dengan beras tumbuk yang dicampur kunyit, minyak zaitun dan bunga mawar. 

Ia berjalan lenggok ke dalam rumah, mencari apa saja untuk menghilangkan rasa gatal sekaligus hangat di punggung tangannya yang halus. Di atas bopet, di bawah meja tv, dan di kamar ibunya ia mencari-cari, hanya ada minyak param yang biasa digunakan oleh ibunya jika kakinya terkilir, serta minyak kelapa beserta uang logam yang terbenam dalam cawan kecil yang digunakan ibunya untuk mengerok bapaknya di malam hari.

Sementara tangan kanannya sibuk menggaruk-garuk punggung tangan kirinya yang kini tampak memerah. Ah tidak, punggung tangan kanannya pun kini ikut-ikutan gatal. Ia duduk diatas dipan kamarnya yang cukup luas. Hanya deretan ramuan kecantikan yang biasa digunakan yang ada di kamar itu. Sialan, ia mulai merasa muak dengan segala macam benda yang hanya membuat orang tertarik padanya. Wati meringis, kini, hampir semua tangan, punggung bagian belakang, jari-jari kaki hingga pinggulnya merasakan gatal yang sama. 

Wati membuka semua pakaiannya, yang terlihat hanya tubuh sintal dan kuning langsat tanpa bercak apapun, kecuali, rasa gatal yang perlahan menggerogoti seluruh tubuh. Perlahan, namun pasti, sudah hampir tiga jam ia menggaruk-garuk. Hampir seluruh badannya berwarna kemerahan akibat digaruk. Ia menggelinjang ke kanan, ke kiri, hingga berpindah-pindah tempat di kamar itu. Ia lelah, namun, gatal yang teramat semakin menjadi-jadi. Hingga tanpa sadar, air matanya meleleh, menjerit-jerit, dan pandangannya menjadi gelap.

Suara-suara bising perlahan menyadarkan Wati, tampak puluhan pasang mata menatap dirinya penuh tanya. Sedang di sudut kakinya, ibunya menangis tersedu-sedu. Wati baru mendudukkan tubuhnya, agak berat, rasa panas dan gatal hanya berkurang sedikit. Malah ia kaget bukan kepalang, ia mendapati wajah-wajah yang ia kenal. Wak Suti, yang membantu ayahnya menjemur ikan. Bu Sutiyem, Bu Elin dan Cik Timah yang sering datang kerumahnya untuk sekedar meminjam beras, sesekali meminta kunyit, kemiri, laos untuk tambahan masakan. Wak Joko dan istri, Wak Ina dan anaknya Dede. Hanya, satu, yang jarang ia lihat, datuk Tabroni.

Ia mengenal lelaki tua berjenggot putih, dengan topi kupluk berwarna merah muda ini dari pembicaraan mulut ke mulut. Dulu sewaktu kecil ia sering diceritakan oleh ibunya, Datuk Tabroni sering membantu orang-orang Mendahara yang terkena sial dan kiriman. Ya, kiriman yang dimaksud berbentuk hal-hal gaib. Bisa jadi niaga yang tiba-tiba sepi, pasangan yang tak kunjung diberi anak, hingga penyakit aneh. 

"Mak, gatal" 

"Sabar ya nak, sebentar lagi datuk akan membantu, kita tunggu hingga tengah malam ya, nak"

Orang-orang hanya menaruh iba pada Wati, jelas sekali mereka ingin membantu menguatkan Wati, ingin berkata bahwa Wati akan baik-baik saja. Apalagi yang akan membantunya adalah orang yang biasa membantu banyak orang. Namun, ini pantangannya. Semua yang datang hari itu telah diberi tahu oleh Datuk agar tidak meratap, tidak memperlihatkan kesedihan, lebih baik untuk diam tanpa saja sambil berdoa dalam hati agar segala sakit cepat diangkat yang maha kuasa. Orang-orang menurut saja apa kata datuk, takut hal yang tidak diinginkan terjadi.

Malam itu, beberapa orang laki-laki peruh baya membantu ayah Wati menyiapkan segala sesuatunya. Papan kayu penutup yang akan mengarak Wati, air sesajen, dan kembang tujuh warna. Sedang beberapa perempuan tua suci, yang tidak lagi mengalami mens mempersiapkan 7 butir roti kelung dan menjahit kain penutup tubuh Wati. Sudah lebih dari satu tahun, sejak Midah, perawan tua di desa ini melakukan ritual makan kelung karena tak bisa bergerak dari tempat tidurnya. Kali ini, meski bentuk kiriman itu berupa penyakit kulit, warga desa tetap menyiapkan ritual seperti sebelumnya. Mereka percaya penyakit kiriman bisa berbentuk macam-macam dan tidak akan menular.

Sebisa mungkin ritual itu dilakukan diam-diam, agar anak-anak tidak mengetahui. Ritual ini tidak memperbolehkan mereka untuk ikut, karena selain pantangan, juga takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Memang tidak setiap tahun akan ada ritualnya, bahkan jarak yang paling lama hingga 10 tahun ritual ini tidak dijalankan. Waktu itu penjaganya masih Datuk Mukhtar, ayah dari Datuk Thabroni. Kemampuan untuk mengobati dengan ritual makan kelung memang selalu turun menurun kepada keluarga itu.

Konon, mendiang piyutnya adalah orang sakti se Tanjung Jabung, ia memelihara memedi siluman ular, buaya, dan harimau. Ketika perang berkecamuk, ia pernah membantu Rang Kayo Hitam melumpuhkan Belanda dengan kekuatannya lalu karena beberapa hal, ia melarikan diri ke tepi laut dan menikah dengan seorang perempuan disana. Inilah yang kelak menjadi cikal bakal desa Mendahara, hingga berbagai orang berdatangan dan membentuk satu desa. Ia mengabdi dengan menjaga desa itu dari hal-hal diluar nalar, kemampuan itupun diturunkan kepada keturunannya.

"Sudah siap" 

Nek Lija yang sejak tadi asyik mencampurkan kembang dengan mulut yang tidak berhenti berkomat-kamit, menyentuh bahu Mina. Yang disentuh hanya manggut-manggut saja. Matanya tak pernah berpaling dari anaknya yang sedari tadi tertidur pulas. Jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Di depan rumah, para lelaki sudah siap membopong Wati diatas kayu yang tadi mereka kerjakan. Kerangka kayu itu kini telah dihias kain berwarna warni dengan untaian kembang melati yang dijalin-jalin. 

Dengan berat hati Mina membangunkan putrinya. Kulit Wati yang kemerahan kini telah menggosong, muncul bulatan-bulatan kecil berwarna putih berisi nanah. Bau anyir mengetuk hidung siapa saja yang lewat didepan rumah itu. Perlahan namun pasti, Wati membuka matanya. Seperti tak punya pilihan lain, Wati melangkahkan kakinya dengan berat. Ia memakai kain yang tadi telah dijahit oleh ibu-ibu sebatas dada hingga lututnya. Terlihat jelas bekas garukan tangan Wati disekujur tubuhnya yang kini sudah berbentuk garis-garis kehitaman.

Dengan hati-hati ia melangkah mengikuti anjuran Datuk Tabroni. Ia duduk dalam sepetak kayu yang dibuat khusus oleh para lelaki tadi. Sampai disini, para perempuan termasuk ibu Wati tidak bisa ikut dalam ritual ini. Hanya beberapa orang lelaki dan Datuk Tabroni yang akan mengantar hingga ke laut. Diatas pangkuan Wati, sudah ada nampan berisi 7 roti bulat yang di kelung, terbuat dari tepung beras dengan inti kelapa parut dan gula merah. Roti-roti ini akan diberikan pada makhluk penjaga laut sebagai pengganti penyakit yang diderita Wati.

Sunyi tengah malam,  sesekali pembacaan serapah Datuk Tabroni dan langkah-langkah kaki para lelaki yang membawa Wati yang terdengar. Jika tidak karena Ibunya, Wati sebenarnya enggan melakukan semua ini. Hanya temaram bulan dan Tuhan yang tahu apa yang ada dalam kepalanya. Sepanjang jalan Mendahara, bau-bau ikan asin, kucing jalanan, dan debur ombak menambah dingin malam.

Sesampainya di lokasi, Wati diturunkan dari arak-arakan. Ia masih memegang nampan berisi roti kelung tadi. Kini para lelaki yang tadi mengantar, termasuk ayahnya, tidak bisa ikut. Hanya Datuk Tabroni dan Wati lah yang akan menyelesaikan ritual ini. Mula-mula Wati diminta untuk tenggelam selama 7 kali ke dalam air yang telah disebarkan kembang-kembang. Setiap tenggelam ia harus berhitung sebanyak tujuh kali, begitu terus hingga tenggelamnya yang terakhir. 

Sambil memperhatikan, Datuk Tabroni akan membacakan mantra, melecut-lecutkan 7 lidi yang telah diikat dengan kain khusus berwarna hitam. Aneh bukan kepalang, dari timbul tenggelamnya Wati dari awal, bekas-bekas gatal yang ada di tubuhnya sedikit demi sedikit hilang. Hingga di bagian terakhir, Wati merasa tubuhnya menjadi lebih ringan. Tidak ada rasa gatal dan bebauan aneh, yang terasa hanya kulitnya kembali mulus seperti sedia kala.

Alangkah senang hati Wati, rasanya ia ingin teriak. Tetapi sejak awal Datuk Tabroni telah mewanti-wanti dia untuk tidak mengeluarkan suara apapun, hingga ia kembali menginjakkan kaki di rumahnya. Jika ia melanggar, ritual makan kelung yang ia jalani bisa saja gagal. Setelah itu, barulah Wati melempar 7 roti kelung itu ke berbagai sudut yang ditunjuk oleh datuk Tabroni. Barulah, inti ritual ini dijalankan. Wati tak pernah menduga, bahwa ritual pengobatan ini akan berbekas pada ingatannya kelak. Datuk Tabroni memegang tangan Wati, ditelusurinya setiap bagian tubuh gadis itu. 

Dibukanya sehelai kain basah yang menutupi tubuh Wati. Kini tak hanya tangan, ada persilangan paling rahasia yang terjadi dalam air laut yang hanya bisa dirasakan keduanya. Gelap yang menutup semua mata orang-orang, namun, perasaan menjelajah terlalu menggairahkan bagi Datuk Tabroni. Wati ingin teriak, ia merasa jijik. Namun, ia ingat kembali kata-kata ibunya untuk tidak berbicara sepatah kata, apapun yang dihadapi. Dalam pikiran Wati, ia kini paham mengapa ibunya terlihat sangat hancur sejak saat ia melangkahkan kaki diatas arak-arakan itu.

Wati mencoba memejamkan matanya, ia membayangkan hari-harinya yang akan datang. Ratapan, penyesalan, dan ketidakberterimaan. Ia merasakan betul setiap sentuhan Datuk Tabroni, orang yang sangat dihormati di kampung ini, menjadi penolong bagi mereka yang kesusahan namun ternyata tidak lebih hina dari binatang. Entah kekuatan apa yang hadir dalam diri Wati saat itu, seperti ada yang mendorongnya, semakin lama semakin kuat. Wati lalu menerjang tubuh datuk Tabroni yang menghimpitnya. Sambil menangis ia berteriak.

"Anjing"

"Bangsat"

Wati meraih kainnya dan bergegas lari. Ia menghilang di dalam kelam malam ke arah berlawanan dari rombongan yang tadi mengantarnya, ia pergi ke dalam hening yang paling sunyi. Ia pergi untuk kesembuhan yang abadi.

*Makan kelung, sebuah tradisi pengobatan di Mendahara, Tanjab Timur yang sudah jarang ditemui.

*Cempakul, ikan-ikan di perairan mangrove yang tidak bisa dimakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun