Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perjalanan Menuju Surati

16 Februari 2020   21:05 Diperbarui: 17 Februari 2020   07:19 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ia sedang duduk di sebuah warung bakso di jalan Swakarya, telunjuk kanannya mengetuk-ngetuk meja. Di hadapannya, saus dan kecap Lombok berbaris bersama semangkuk kecil cabe merah halus. Ia melihat sekeliling, di seberang meja, seorang ibu menyuapkan satu pentol bakso kecil pada anak perempuannya.

Ia alihkan pandangannya pada jalan, terang matahari membuat aspal jalan dengan batu kerikil kecoklatan tampak jelas. Sebentar kemudian ia menyentuh gelang sebalik sumpah yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ada sesuatu yang ia rasakan, semacam keinginan kuat dari palung hatinya yang paling dalam.

Sebenarnya ini adalah tahun ketiga ia meninggalkan kampung halamannya. Teringat jelas perkataan Datuk Dullah kala itu. "Pergilah ke desa Mentawak, carilah rumah nan tulang yang tiang-tiangnya tersusun dari tulang-belulang, dinding-dindingnya terbuat dari lapisan kulit manusia, dan atapnya dari rambut panjang yang dijalin" ucapnya sambil menghisap rokok panjang.

Ia lalu berjalan menuju keran air di depan rumahnya. Membasahi mukanya dengan air sejuk yang bersumber dari sumur di samping rumah. Ada suara-suara kecil dari belakang kupingnya, suara yang sangat ia kenal.

Ibunya sudah tiga tahun menderita penyakit aneh, penyakit kiriman katanya. Semula ibunya sangat sehat, tetapi akibat ia tak mau membantu Sur,  ibunya mendadak terkena penyakit gula, penyakit yang jarang sehat  diderita oleh orang kampung ini.

"Yuk, tolonglah sebarkan garam ni halaman bang Ma'el" pinta Sur pada ibunya.

"Dak berani aku Sur, kau lah tarok dewek. La kau jampi tapo dak garam tu" Kata ibunya sambil tersenyum geli.

Ibunya tak benar-benar tahu, Surati, janda kaya itu sakit hati dengan penolakannya. Padahal Surati sering membelikan oleh-oleh untuknya dan keluarga saat pulang dari perjalanan jauh.

"Ishhh, awas kau yo" kata Surati dalam hati.

Sekitar satu bulan setelah itu, kesehatan ibunya menurun. Tak mampu lagi mencuci pakaian, mengepel lantai atau menyapu halaman. Bahkan pernah saat ia sedang mengupas bawang putih, jari tangannya dengan mudah tergores mata pisau.  Tak henti-hentinya jari itu mengeluarkan darah. Ia bungkus  menggunakan Jarit, tapi darahnya masih merembes. 

Ia celupkan jari tangannya kedalam air satu ember, air itu berubah menjadi merah. Begitulah, hingga jari telunjuk ibunya menjadi borok dan harus diamputasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun