Mohon tunggu...
Nyi Kembang Arum
Nyi Kembang Arum Mohon Tunggu... Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswa Ilmu Politik dengan performa akademik dan kemampuan interpersonal yang baik. Memiliki kemampuan dalam melakukan riset atau research, dan pembuatan konten video vertikal untuk akun sosial media instagram tentang politik ataupun pemerintah. Saat ini, sedang berproses mengembangkan bakat dalam menulis dan ingin mengembangkan kemampuan dalam menganalisis isu politik di media sosial maupun fenomena sosial politik serta dampaknya terhadap masyarakat sosial mulai dari teori, praktik politik hingga perilaku politik.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ketika Kebenaran Dihukum: Potret Retaknya Nurani Hukum di Indonesia

19 Juli 2025   20:30 Diperbarui: 19 Juli 2025   20:52 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Vonis 4 tahun 6 bulan penjara terhadap Thomas Lembong, atau yang akrab dikenal sebagai Tom Lembong, telah mengguncang ruang publik dan menimbulkan gelombang besar respons dari masyarakat. Sosok yang dikenal luas sebagai ekonom profesional, mantan Menteri Perdagangan, serta figur yang konsisten menyuarakan kritik terhadap kebijakan negara ini, kini justru harus duduk di kursi pesakitan. Vonis tersebut dianggap banyak pihak bukan hanya bentuk penghukuman terhadap seseorang, melainkan juga sebagai simbol pudarnya demokrasi, ambruknya moral hukum, dan ancaman terhadap kebebasan berpikir di Indonesia.

Dalam unggahan viral yang menyebar luas di media sosial, kita menyaksikan visual yang kuat: latar kerumunan aparat dan awak media, dengan dua figur Tom Lembong di tengahnya, serta tulisan besar "4 TAHUN 6 BULAN." Bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan sebuah bentuk refleksi tajam terhadap kondisi sistem peradilan. Kalimat seperti "berpikir kritis bisa berujung kriminalisasi" dan "kebenaran bisa kalah di tangan yang menggenggam palu" menunjukkan kekhawatiran masyarakat terhadap negara yang mulai membungkam suara-suara berbeda. Ketika seorang tokoh intelektual dan reformis dihukum karena keberaniannya bersuara, publik pun mulai bertanya: apakah kita masih hidup dalam negara hukum yang sehat?

Lebih lanjut, bahwa di tengah panggung peradilan, keadilan justru absen. Kritik ini bukan tanpa dasar. Proses hukum terhadap Lembong dinilai janggal, mulai dari tuduhan yang dianggap lemah hingga dugaan adanya tekanan politik dalam proses peradilan. Dalam sistem yang ideal, pengadilan adalah tempat berpijaknya kebenaran dan keadilan. Namun, dalam kenyataan kasus ini, pengadilan justru dipersepsikan sebagai ruang penghukuman yang dikendalikan oleh tafsir sepihak. Keadilan tidak lagi hadir sebagai prinsip luhur, melainkan menjadi sekadar formalitas prosedural yang dapat diarahkan sesuai kepentingan.

Lebih menyedihkan lagi, publik merasakan bahwa sistem hukum kita telah kehilangan wajah nuraninya. Hukum yang seharusnya melindungi dan menegakkan nilai-nilai keadilan kini dinilai berubah menjadi alat pembungkam. Ketika nurani tak lagi menjadi fondasi dalam setiap keputusan hukum, maka hukum hanya akan menjadi senjata kekuasaan yang mematikan. Hal ini menimbulkan rasa takut, sekaligus ketidakpercayaan, terutama di kalangan aktivis, akademisi, dan masyarakat sipil yang selama ini aktif menyuarakan perubahan.

Respons masyarakat atas vonis ini sangat masif dan nyata. Ratusan ribu akun media sosial mengangkat tagar #JusticeForTomLembong, menyerukan keadilan bukan hanya untuk satu orang, tetapi untuk semua suara yang tengah dibungkam. Komentar seperti "RIP hukum" menggambarkan keputusasaan dan rasa kehilangan terhadap sistem hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir perlindungan rakyat. Ini bukan sekadar bentuk solidaritas emosional, melainkan juga perlawanan moral dan rasional terhadap sistem yang semakin menindas.

Kasus ini adalah cermin yang sangat jelas tentang betapa rapuhnya demokrasi jika hukum dijalankan tanpa nurani. Pemerintah dan para pemegang kekuasaan seharusnya menjadikan kritik sebagai bentuk kecintaan terhadap negeri, bukan sebagai bentuk permusuhan. Sebab negara yang sehat justru tumbuh dari keberanian mendengar dan memperbaiki diri, bukan dari kemampuan membungkam.

Apa yang menimpa Tom Lembong hari ini adalah potret buram dari sistem yang gagal membedakan antara kritik dan kejahatan. Dan jika suara seperti miliknya dihukum, maka kita semua sebagai warga negara sedang berada dalam ancaman yang sama. Ancaman bahwa suatu hari nanti, kita bisa menjadi terdakwa hanya karena berani berkata benar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun