Kusrin, mungkin tidak pernah menyangka dengan kreatifitasnya dalam merakit TV telah mengantarkannya kepada suatu proses hukum yang cukup pelik bagi dirinya. Kusrin, seorang pria lulusan SD ini telah bersusah payah memanfaatkan monitor komputer bekas menjadi TV yang kemudian ia beri merk lalu dijual dengan harga sekitar 400.000-550.000 rupiah per unitnya. Produknya laris manis karena harganya praktis terjangkau oleh kalangan bawah, hingga sampai pada suatu hari penyidik menggeledah bengkel usahanya karena ia tidak memiliki izin produksi dan tidak memiliki legalisasi SNI atas produk rakitannya. Bengkel usaha Kusrin dalam waktu sekejap senyap, ia kemudian menjalani proses hukum, diputus bersalah dengan pidana bersyarat dan barang bukti sebanyak 116 TV tabung rakitannya tersebut dirampas untuk dimusnahkan.  Â
Jeratan hukum yang menimpa Kusrin memicu simpati masyarakat luas, dan tidak hanya itu kalangan netizen melayangkan petisi yang menyayangkan sikap aparat penegak hukum yang danggap telah  ‘membinasakan’ kreatifitas anak bangsa. Namun bagi penulis, proses hukum yang dialami Kusrin setidaknya menegaskan dua hal.
Pertama, selayaknya memang Kusrin tidak memperjualbelikan produknya selama ia belum memperoleh sertifikat SNI. Hal itu untuk memastikan bahwa produk TV rakitannya tersebut aman untuk digunakan. Sehingga bagi penulis dapat dipahami menggiring persoalan ini sampai ke ranah peradilan, tentunya untuk memberikan pembelajaran bagi siapa pun, dalam hal ini pelaku usaha, untuk memenuhi persyaratan yang terkait dengan faktor keamanan dan keselamatan suatu produk sebelum diedarkan untuk masyarakat luas. Sehingga pemenuhan terhadap syarat yang telah ditentukan tersebut tidak menimbulkan peristiwa hukum lainnya. Sederhananya, misal, ketika TV ilegal tersebut digunakan tiba-tiba meledak dan menimbulkan korban jiwa. Peraturan yang mengatur mengenai SNI hadir untuk mengantisipasi hal tersebut, mencegah timbulnya korban jiwa atau kerugian lainnya yang ditimbulkan dari produk ilegal. Oleh karenanya kemudian, hukum memberikan perlindungan bagi konsumen akan haknya untuk memperoleh jaminan keamanan dan keselamatan dalam menggunakan suatu produk.
Kedua, apa yang telah dialami Kusrin setidaknya menguji sensitifitas aparat penegak hukum kita dalam proses penegakan hukum. Berbicara mengenai sejauh mana kepekaan aparat dalam proses berhukum memang bukanlah suatu usaha yang mudah. Terlebih ketika cara pandang aparat penegak hukum masih terbatas dalam usaha membaca unsur-unsur pasal secara tekstual. Dalam prakteknya masih terdapat kesulitan untuk menerapkan suatu pasal hukum dalam sebuah peristiwa konkrit tanpa harus menjadi terasing dengan realitas sosial yang ada. Karena bagi hukum, manusia atau masyarakat dan cita-cita keadilan yang terkandung didalamnya merupakan basis legitimasi dari keberadaan hukum itu sendiri.
Argumen Kusrin bahwa ia tengah dalam proses pembuatan sertifikat SNI yang hingga perkaranya diajukan ke persidangan, sertifikat tersebut belum selesai diterbitkan oleh instansi bersangkutan, patut menjadi pertimbangan. Artinya Kusrin sesungguhnya memiliki itikad baik untuk mengurus legalitas produknya. Hanya saja permasalahan carut marutnya birokrasi dalam pengurusan ijin ini dan itu sedari dulu memang masih menyisakan permasalahan yang akut. Sehingga dengan adanya kondisi demikian cukup dapat dipahami, Kusrin bersikap pragmatis, menjalankan usahanya sembari menunggu sertifikat SNI selesai. Karena toh produknya diminati dan bermanfaat bagi kalangan bawah yang tak mampu membeli TV jutaan rupiah. Hingga dengan asumsi ini, penulis mengapresiasi putusan pidana bersyarat yang dijatuhkan kepada Kusrin. Bagi penulis, pidana bersyarat yang dijatuhkan kepada Kusrin, cukup bisa memberikan pemahaman bagi Kusrin atau calon pelaku usaha lainnya tentang perlunya kehatian-hatian dan persiapan yang matang dalam menjalankan usahanya khususnya dalam mengedarkan suatu produk, agar berpedoman terhadap ketentuan peraturan yang berlaku.
Namun, terkait dengan pemusnahan barang bukti, setidaknya bagi penulis memunculkan sebuah pertanyaan mendasar: apakah upaya pemusnahan barang bukti menjadi relevan dan kontekstual. Sensitifitas dalam hukum itu kemudian diuji mana kala realitasnya barang TV rakitan tersebut berkaitan langsung dengan seluruh proses produksi yang tidak sedikit memakan waktu dan tenaga. Dan tentunya pula, dalam hal ini Kusrin, telah menggelontorkan sekian banyak uang untuk proses produksi TV rakitannya tersebut.
Pertanyaannya kemudian adalah: apakah pemusnahan barang bukti dalam perkara Kusrin merupakan suatu upaya yang adil? Kenyataannya adalah bahwa Kusrin saat ini menderita kerugian besar pasca pemusnahan TV rakitannya sehingga harus memulai lagi usahanya dari nol ditengah keterbatasan modal yang dialami Kusrin tentunya, untuk kembali menggerakkan sektor usaha industri ekonomi rakyat yang sesungguhnya turut membantu pemerintah dalam meningkatkan perekonomian nasional.
Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Penulis berpendapat, seyogyanya barang bukti TV rakitan tersebut dikembalikan kepada si terdakwa dengan catatan agar tidak diedarkan sampai pengurusan SNI selesai dan dinyatakan layak edar. Tinggal hakim kemudian melakukan fungsi pengawasan melekat (waskat) terkait dengan putusannya. Namun permasalahannya adakah pasal dalam KUHAP kita yang dapat mengatur demikian? Tentu jawabnya adalah tidak ada.
Ketentuan pasal 45 ayat (4) KUHAP berbunyi: “Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan “. Berkelindan dengan pasal yang didakwakan kapada Kusrin yaitu pasal 120 Ayat (1) jo Pasal 53 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, TV rakitan milik Kusrin tersebut merupakan benda yang dilarang untuk diedarkan karena TV rakitan Kusrin merupakan barang yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/ atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang industri, yang mana bersesuaian dengan fakta bahwa Kusrin memang tidak memiliki sertifikat SNI. Dengan demikian merujuk pada konstruksi pasal 45 ayat (4) KUHAP, hanya ada 2 (dua) pilihan terkait dengan benda sitaan yang dilarang untuk diedarkan yaitu TV rakitan milik Kusrin tersebut, yaitu: dirampas untuk negara atau dirampas untuk dimusnahkan.
Proses hukum yang dialami Kusrin, sekali lagi memberikan pemahaman bagi kita, bahwa proses penegakan hukum tidak semata-mata merupakan suatu formalisme hukum, tentang bagaimana menyatukan potongan-potongan peristiwa hukum dan menempatkannya pada unsur-unsur pasal suatu ketentuan hukum an sich, sesuai dengan proses berpikir silogisme deduktif murni dan menjadikannya tuntas. Sebagai contoh: Premis mayor: Benda sitaan yang bersifat dilarang untuk diedarkan dirampas untuk dimusnahkan ( vide Pasal 45 Ayat (4) KUHAP), Premis minor: Benda sitaan berupa TV rakitan milik Kusrin tidak memiliki SNI sehingga dilarang untuk diedarkan, lalu kesimpulan: Benda sitaan berupa TV rakitan milik Kusrin dirampas untuk dimusnahkan.
Proses berpikir seperti itu tidak sepenuhnya keliru, namun jika semata-mata terkungkung secara tekstual, bagi penulis proses berpikir seperti itu hanyalah suatu penyederhanaan yang mereduksi gagasan keadilan yang terkandung dalam hukum itu sendiri. Tidak menjadi permasalahan jika kemudian teks ditempatkan dengan adil atas suatu peristiwa konkrit tertentu, namun bagaimana jika dalam peristiwa konkrit yang lainnya ia gagal dalam menampung gagasan keadilan itu?