Mohon tunggu...
gahpraja
gahpraja Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Penulis muda cerpen dan karya sastra lainnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu Menjadi Mobil

20 September 2023   09:00 Diperbarui: 20 September 2023   09:29 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MOBIL adalah kendaraan beroda empat disertai beberapa mesin melekat di tubuhnya gagah yang canggih seperti pada televisi tetangga yang aku lihat dulu. Saat aku masih menginjak sekolah dasar, di persimpangan kebun pisang. Dalam gubuk tua macam kardus, terdapat gambaran yang terbuat dari patahan krayon pucat. Tertempel. Menancap di tiap-tiap impianku.

            "Aku akan membelikan ibu mobil," ucapku di sela-sela ibu mengayuh becaknya, yang sedang beristirahat di tepi jalan.

            "Aamiin," ibu mengelus kepalaku halus, "Ibu selalu doakan yang terbaik untukmu, dan mobil yang selalu kamu sebut, Nak."

            "Aku berjanji, Ibu," aku memegang tangannya yang keriput, menggenggamnya erat tangannya yang kasar menempel di pedal becak, mencari uang dengan keringatnya menderas diterpa terik siang.

            Aku bisa membayangkan jika ibu sedang menaiki mobil yang megahnya membuat orang-orang terpana. Kalau saja ia memegang kemudi itu, tangannya akan sebersih pasir lautan. Wajah cantiknya merona. Dibalik jendela mobil, rambutnya tergerai terhembus angin.

            Hanya berandai. Aku terus berandai. Sampai ibu tua renta, sampai becak yang selalu bersamanya ikut menua. Aku menggantikan posisinya sebagai tukang becak, warisan yang terpaksa ia berikan padaku. Satu-satunya.


            Memang tak enak jika menjadi orang miskin. Kami tidak bisa mendapatkan yang seharusnya layak atau lebih. Kami berada di bawah. Di bawah segalanya. Ibu tidak seharusnya hidup susah, sebelum ia melahirkanku.

            Kami pindah ke pusat kota bulan lalu. Menumpang pada salah satu anggota keluarga kami, sebab rumah kami yang di kampung tergusur oleh proyek-proyek sialan yang mereka buat. Pemerataan konon, namun akhirnya pula kami terusir.

            Hingga kami pindah untuk kedua kalinya karena ibu terkena penyakit paru. Mungkin tempat yang cocok baginya adalah desa. Tempat ia bertumbuh. Disini, hiruk-pikuk kota menyerang sisa umurnya. Udara yang kami hirup bahkan lebih kami takuti daripada perampok yang bertebaran di sekitar kami.

            Di desa aku menjelma kuli panggul di pasar bermodalkan becak sebagai alternatif truk pengangkut belanjaan mereka yang setinggi bukit. Walau upah yang tidak jauh berbeda tatkala aku membecak.

            Hal yang selalu kupikirkan ketika aku mengayuh, satu hal yang tetap menghantuiku dari usia dini: membelikan ibu sebuah mobil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun