Mohon tunggu...
Ahmad Najib Ns
Ahmad Najib Ns Mohon Tunggu... Seniman - 101190188 - HKI G

IAIN PONOROGO

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pandangan Moral, Etika Kedokteran, dan Perspektif Hukum Islam di Indonesia terhadap Euthanasia

2 Desember 2021   09:42 Diperbarui: 2 Desember 2021   09:56 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkembangan Sains dan IPTEK zaman ini sangat pesat khususnya di dalam bidang kedokteran. Hal itu ditandai dengan berbagai tindakan yang makin canggih dan berkualitas bagi pasien. Seiring berkembangnya hal tersebut, lahir suatu praktik di dalam kedokteran yang disebut Planned death. Munculnya praktik ini berdasarkan adanya Konsep tentang kematian. Sains membagi kematian jadi tiga kategori berdasarkan langkah terjadinya, yaitu kematian wajar (orthothanasia), kematian tidak wajar (dysthanasia) dan kematian terencana (Planned death). Dalam praktik Planned death di dunia kedokteran diakui jadi perihal positif sebab memiliki tujuan meringankan penderitaan pasien. Tetapi, tak sedikit pula yang menimbulkan berbagai perspektif negatif dikalangan masyarakat yang menyaksikan praktik Planned death dari sudut pandang yang berbeda. Misalnya terdapat seorang penderita kanker ganas yang merasakan sakit luar biasa, di dalam perihal ini, dokter memiliki keyakinan bahwa dukungan obat bersama dengan dosis tinggi akan menghentikan sakitnya sekaligus menghilangkan nyawanya. Sehingga hilanglah penderitaan pasien tersebut. Tetapi perihal itu akan menimbulkan suatu problem atau perbedaan pendapat kalau dilihat dari kesesuain bersama dengan moral kemanusiaan, ataupun dari segi perspektif hukum Islam.

Euthanasia Dalam Etika Kedokteran

Euthanasia sanggup diartikan "a great passing" atau mati dengan tenang. Hal itu sanggup diwujudkan atas permohonan pasien atau keluarganya sebab penderitaan yang benar-benar hebat dan tiada akhir, atau juga membiarkan seseorang yang tengah sakit tanpa beri tambahan pengobatan atau pertolongan. Kode etik kedokteran Indonesia, mengartikan Euthanasia dalam tiga arti yaitu berpindahnya ke alam baka yang tenang dan aman, waktu sakaratul maut penderitaan si sakit diringankan bersama dengan beri tambahan obat penenang, mengakhiri penderitaan sekaligus kehidupan seseorang yang sakit dengan sengaja atas permohonan pasien sendiri atau keluaganya.

Dilihat dari segi tindakan yang dikerjakan oleh pelaku (Dokter), Euthanasia dibagi dua yaitu Euthanasia indirect (pasif) atau Taisr al-Maut al-Munfa'al, merupakan Planned death yang dikerjakan tanpa memberi tambahan perawatan ataupun dengan cara menghentikan pengobatan yang berpotensi memperpanjang hidup pasien. Contohnya, petugas medis tidak memberi tambahan penanganan, semisal menempatkan alat bantu pernapasan pada penderita kanker yang telah kritis, pasien yang menderita penyakit pada otak dan tidak ada harapan untuk sembuh.

Mercy Killing (aktif) atau Taisr al-Maut al-Fa', yaitu Euthanasia bersama dengan cara sengaja memberikan tindakan yang sanggup mempercepat kematian seseorang. Contoh, pada penderita kanker ganas yang merasakan sakit luar biasa sampai sering pingsan. Hal ini dokter berkeyakinan bahwa pasien tidak sanggup bertahan lebih lama lagi. Kemudian dokter memberi obat dengan dosis tinggi (overdosis) yang sanggup menyingkirkan rasa sakit yang dialami dan juga menghentikan nafasnya.

Dari segi korban, Euthanasia dibagi tiga macam yaitu voluntary Euthanasia (sukarela), merupakan tindakan Planned death yang diharapkan sendiri. Non Voluntary Euthanasia (diandaikan), merupakan tindakan Planned death yang tidak diminta secara tegas oleh korban bersama dengan meminta untuk dikerjakan tindakan Planned death, Involuntary Euthanasia (dipaksakan), tindakan Euthanasia ini sebenarnya dikerjakan pada pasien bersama dengan suasana sadar, tapi dikerjakan tanpa persetujuannya. Mengenai rancangan mengenai kematian, pada tahun 1990 IDI (Ikatan Dokter Indonesia) bersepakat beri tambahan pernyataan bahwa manusia dikatakan mati jika batang otaknya telah tidak berfungsi lagi. Kriteria kematian selanjutnya berdasar pada teori bahwa batang otak sebagai pusat penggerak pernafasan dan jantung. Sehingga matinya batang otak sebabkan paru-paru dan jantung tidak sanggup berfungsi terkecuali manfaatkan alat-alat penopang.

Pernyataan mengenai hak untuk mati timbul sebab penderitaan akibat penyakit yang diderita pasien tidak kunjung mereda walau telah ditemukannya teknologi canggih dalam bidang kedokteran untuk merawat pasien. Rasa sakit yang terus menerus menyebabkan pasien maupun pihak keluarga putus asa secara materiil dan moril. Sehingga pada akhirnya, menentukan untuk mempercepat kematian (Euthanasia) sebab rasa sakit yang tidak tertahankan lagi.

Melihat Euthanasia Dari Segi Moral Kemanusiaan

Tindakan penanganan yang diberikan kepada pasien merupakan suatu hal yang penting. Dalam hal ini penanganan yang diberikan haruslah bisa dipertanggungjawabkan, baik dari sisi kedokteran (medis), hukum, maupun sisi moral kemanusiaan yang sesuai. Seiring berkembangnya ilmu ilmu dibidang kedokteran, perlu mencermati kodrat dan martabat manusia serta lingkungan yang berwujud universal sehingga bisa memperkokoh eksistensi manusia. Disinilah peran etika atau moral dibutuhkan dalam mengimbangi kemajuan dalam ilmu ilmu tersebut. Di Indonesia Buku II dan III KUHP sudah sesuaikan mengenai tindak pidana. Mengenai Euthanasia diatur di dalam pasal 344 KUHP Bab XIX yang berbunyi :

"Siapa yang merampas nyawa seseorang atas keinginan orang itu sendiri dan dinyatakan bersama kesungguhan hati diancam pidana penjara paling lama 12 tahun".

Hal itu karena Euthanasia merupakan tindakan yang berhubungan dengan penghilangan nyawa. Pasal selanjutnya mampu dijadikan sumber hukum yang sesuaikan Euthanasia di Indonesia. Tetapi pasal 344 KUHP belum mengkategorikan Euthanasia sebagai tindakan pidana. Hal ini karena sulitnya pembuktian di dalam isikan rumusan pasal selanjutnya yakni pada kata-kata "atas keinginan sendiri" dan juga kata-kata "yang dinyatakan bersama kesungguhan hati". Oleh karena di dalam kenyataannya Pasal 344 KUHP susah untuk diterapkan sampai muncul opini yang mengatakan "sebaiknya redaksi Pasal 344 KUHP dirumuskan kembali berdasarkan kenyataan kenyataan yang berlangsung sekarang dan dimasa mendatang, yang disesuaikan bersama perkembangan medis". Dengan rumusan baru ini diharapkan mampu untuk memudahkan penanganan kasus-kasus Euthanasia bersama hukum pidana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun