Dia tersenyum. Halus sekali bagai senyuman seorang anak yang diberikan gula-gula atau sebatang coklat. "Tuhan tidak akan melakukan itu kepada tuan, Tuhan akan menolong saya dari diri saya sendi-"
Saya tak mendengar habis kata-katanya. Tapi, saya tahu ke mana arahnya pembicaraannya. Lantas dia mati oleh pisau yang selalu saya simpan di kantong. Sudah lama saya tak berlatih melempar, tapi kali ini tepat mengenai mata hingga tembus ke batang otaknya. Maka saya menangis saat menyadari hal ini, bahwa Tuhan sama sekali tak bisa menolong kita selain kita sendiri. Begitupun Tuhan tak bisa menyelamatkan saya keluar dari jurang kehampaan yang begitu gersang ini.
Apakah saudara tak bisa melihat air mata saya ini. Saya baru saja membunuh seseorang yang saya sendiri sebenarnya sudah menganggapnya bagai seorang sahabat yang setia. Tapi, kata-kata itu tak bisa saya utarakan kepadanya karena saya tak ingin dia lupa bahwa dia hanyalah pesuruh. Lantas kata-kata itu hanya menjadi kata-kata yang tak berdaya, sebagaimana hakikatnya sebuah kata.
Saya tetaplah manusia, meskipun saya sudah membunuh. Saya tetap sedemikian sucinya, meski tangan saya sudah kotor. Setelah saya menangisi kejadian ini, saya memandang langit yang sudah merah. Maka saya angkut tubuh pesuruh saya dan melanjutkan perjalanan. Barat adalah tujuannya, yang saya berharap akan sampai di tujuan saat langit sudah menjadi merah. Semerah darahnya tubuh yang terjuntai tak berdaya di pundak saya.
Saya bawa dia sepanjang jalan dengan tertatih-tatih. Kerongkongan ini kering, maka saya berhenti untuk mengoceh dan terus melanjutkan perjalanan. Tapi di tengah jalan saya tertawa-tawa. Mengingat peristiwa ini, saya terlempar pada keadaan di mana saya meminum cukup banyak anggur di tempat mabuk dan tertawa atas hal-hal yang saya tak tahu penyebabnya.
Saya terus tertawa sepanjang jalan menuju barat yang langitnya sudah merah kehitaman, seraya mencoba melupakan bahwa ada mayat matanya bolong yang saya bawa kemana-mana, dan melupakan maut yang sedang mengikuti jejak saya di belakang dengan kerudung hitamnya.
"Oremus, saudara-saudara."
Oremus. Kematian sudah menunggu. Tepat di mana matahari merah bersembunyi dan membutakan semua mata oleh kabut gelap. Saat-saat buruk yang akan menimpa kita. Lantas saatnya telah tiba, apa jawaban kita, saudaraku?[]