"Sejatinya, kita berdua adalah yang terkutuk."
Dia diam. Entah ia takut untuk berbicara atau memang ia tidak mengerti perkataan saya karena otak budaknya. "Kau tidak pernah merasa terhina dengan ini semua?"
"Akan hal apa, tuan?"
"Segala macamnya."
"Hamba tidak mengerti."
Lebih baik saya diam daripada melanjutkan pembicaraan dengannya. Padahal selama seminggu ini kami berjalan, saya selalu meminta dia berjalan di depan dan menarik Arabe yang kemudian mati karena kelelahan---ternyata nilai unta itu tidak semahal harganya. Alasan mengapa itu saya lakukan, meski unta sudah mati, dia harus selalu berjalan di depan, karena saya takut, kalau seandainya dia sadar bahwa pembunuhan di padang pasir ini tidak ada satu orang pun yang tahu. Maka nyawa saya bisa jadi hilang dalam sekejap mata, tapi tampaknya dia tak pernah menyadari hal itu dan terus membiarkan dirinya dihinakan oleh tuannya yang arogan.
"Mengapa kau tidak membunuhku sekarang?"
Dia terbatuk, dan terdiam beberapa saat. Saya tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat itu, entah dia menyadari bahwa itu adalah sebuah ide yang brilian, atau dia benar-benar sedang mencerna tujuan saya menanyakannya perkara itu.
"Toh, bila kau melakukannya, tak ada satu orang pun yang tahu. Dan sebuah keberuntungan, daging aristokrat saya ini bisa menjadi perbekalanmu untuk seminggu, dan itu bisa menyelamatkanmu dari siksaan gurun pasir ini."
Masih lama dia tidak menjawab soal saya, lantas saat saya hendak mengatakan sesuatu, dia malah memotong dan berkata, "Tuhan, Tuan. Dia melihat kita semua di sini. Dalam pandangan mata-Nya, tak ada yang meleset."
Sontak saya tertawa. "Ah, bila memang kau berkata demikian, maka, apabila saya membunuhmu di sini, apakah Tuhan akan menolongmu?"