Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Keindahan Novel: 'Fear and Loathing in Las Vegas' Karya Hunter S. Thompson

12 Juli 2021   17:09 Diperbarui: 12 Juli 2021   20:16 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Keindahan pada dasarnya bersifat subjektif. Setiap orang memiliki pandangannya masing-masing mengenai keindahan pada suatu benda. Beberapa orang menganggap benda bervariabel A lebih cantik ketimbang benda bervariabel B, beberapa orang yang lain menganggap justru sebaliknya. Setiap orang pasti memiliki alasan tersendiri dalam menilai keindahan suatu benda, baik itu campuran warna yang dipakai, makna yang disampaikan, sampai bagaimana benda tersebut berpengaruh (memiliki memori) dalam kehidupannya. Tak mungkin keindahan tidak memiliki alasan.

Begitupun dengan cinta, setiap cinta pasti memiliki alasan. Seseorang yang telah jatuh cinta tak mungkin semata-mata tersangkut pada seseorang itu, pasti ada suatu hal dari dirinya yang membuatnya jatuh hati. 

Oleh sebab itu, saya menganggap omong kosong bagi seseorang yang mengatakan bahwa cinta tak memiliki alasan. Cinta pasti memiliki alasan, tapi tak semua orang menyadarinya. 

Seandainya benar cinta tak memiliki alasan, apa yang membedakan B, C, D E, dan seterusnya? Mengapa A jatuh hati kepada B bukan pada variabel yang lain? Pasti A memiliki alasan tersendiri mengapa ia jatuh hati pada B.

Pada tulisan ini, saya ingin menyampaikan kecintaan saya terhadap sebuah buku karya Hunter S. Thompson yang diterbitkan pada tahun 1971 dengan judul Fear and Loathing in Las Vegas. 

Saya yang pada awalnya tak memiliki ketertarikan kepada buku, melainkan sekedar senang mengoleksinya saja. Namun suatu malam, saat saya masih duduk di bangku kelas 2 SMA, menemukan buku ini tergelatak di lorong asrama siswa kelas 3 bersanding dengan gumpalan-gumpalan kertas dan baju-baju bekas siswa kelas 3 yang saat itu sudah diperbolehkan pulang ke rumahnya masing-masing sebab Ujian Nasional sudah selesai dilaksanakan di pagi harinya.

Buku itu terlihat tak bernilai di lantai, tak satupun teman-teman saya yang tertarik untuk menjarah buku tersebut. Tampaknya buku-buku soal SBMPTN lebih dibutuhkan mereka. 

Jujur saja, penulis saat itu tak pernah membaca novel, melainkan hanya sekedar cerita pendek yang terdapat dalam buku Bahasa Indonesia. Tak sedikitpun penulis memiliki ketertarikan pada dunia sastra, namun ketika melihat buku itu tak bernyawa di sana, penulis merasa ada sesuatu yang mengganjal di hati dan itu sulit dideskripsikan, lantas mengambilnya dan membawanya ke kamar.

Singkat cerita, buku itu tak kunjung saya baca, melainkan hanya terpajang di antara buku-buku mata pelajaran SMA. Hingga pada suatu malam penulis terserang insomnia. Teringat pada sebuah saran di artikel-artikel: membaca buku dapat mengundang kantuk. Saat itulah penulis berniat untuk membaca buku itu hingga tertidur. 

Namun tetap saja, kantuk tak kunjung datang. Alih-alih tidur, saya malah kebablasan membaca hingga bab 4 dan berhenti setelah dirasa malam semakin larut dan sebentar lagi subuh menjemput. Buku ini benar-benar meminta saya untuk terus dibaca. 

Saran tersebut saya buktikan kurang tepat, harusnya ditulis, "membaca buku yang 'membosankan' dapat mengundang kantuk."

Di saat itulah penulis sadar, ternyata ini alasan mengapa beberapa orang gemar membaca. Seorang pembaca dapat membangun imajinasinya tersendiri terhadap cerita yang dibacanya. 

Meskipun membaca kata-kata yang sama, tapi imajinasi yang terbangun di kepala orang berbeda-beda. Ini adalah sesuatu yang tak bisa didapat dari menonton film, dan itu adalah fakta yang sangat spesial dari buku fiksi.

Sederhananya, buku Fear and Loathing in Las Vegas ini bercerita tentang seorang jurnalis tak bertanggung jawab bernama Raoul Duke yang ditugaskan untuk meliput sebuah balapan gurun di Las Vegas. 

Dengan ditemani oleh beragam jenis narkoba; acid, ganja, mescaline, amyl, kokain, dan beragam pil multi-warna, serta sebotol rum, tequila, satu pak bir Budweiser, dan Dr. Gonzo (seorang pengacara berdarah Samoan). Mereka pun melakukan petualangan yang cukup menarik dan mengesankan. 

Mulai dari permasalahan yang muncul ketika dalam perjalanannya menuju Las Vegas hingga ia kembali dari kota penuh dosa itu yang selalu dalam pengaruh obat-obatan terlarang tersebut.

Dahulu mungkin saya bertanya-tanya, 'mengapa masih ada saja hingga kini orang-orang yang kecanduan akan narkoba?' dan jawaban itu saya temukan dalam buku ini. 

Dan bila suatu hari pertanyaan itu didatangkan oleh seseorang kepada saya, maka saya akan menganjurkannya untuk membaca buku ini dan mengilhaminya sendiri. 

Tetapi apakah saya tertarik pada obat-obatan tersebut? Tentu saja tidak, jujur saja, psikedelik yang ada di dalam buku ini dijelaskan dengan teramat mengesankan, menyenangkan, menggugah hati untuk ikut mencobanya, sungguh jauh di luar nalar saya membayangkan akan efek narkoba sebelum membaca buku ini. 

Tetapi, ucapan Rocky Gerung yang berbunyi, "wanita itu indah sebagai fiksi dan berbahaya sebagai fakta," tampaknya juga berlaku pada kasus ini. Saya merasa, bila ingin merasakan efek obat-obatan terlarang, cukup dengan membaca buku ini saja, dan pembaca bisa membayangkannya sendiri.

Terlepas dari isinya, buku ini ditulis dengan cukup baik oleh Hunter S. Thompson. Bahasa yang sederhana, meskipun terkadang penulis harus membuka kamus bahasa Inggris hanya untuk memahami beberapa katanya yang tak penulis ketahui.

Tetapi secara keseluruhan, gaya penulisannya cukup menghibur, tidak formal, terlebih adanya bahasa kasar yang dimunculkan dalam beberapa percakapan dan narasi membuat saya  merasa sosok Hunter S. Thompson ingin mendekatkan dirinya kepada pembaca dengan cara penyampaian emosi yang lebih terbuka, dan tak kaku.

Pesan yang cukup terasa dalam buku ini adalah bagaimana Hunter S. Thompson menceritakan kehidupan Amerika di tahun 1960-an (masa di mana Amerika tengah memerangi Vietnam dan narkoba sangat menjamur di Amerika) dengan sarkasme yang cukup kental. 

Ia banyak menyentil banyak ranah di Amerika, bagaimana ruang lingkup sosial yang tertata, sampai setiap individu yang hidup di bawah bayang-bayang kemunafikan.

Diceritakan di akhir cerita, Duke yang terus menerus mabuk dan mabuk narkoba, berulang kali melewati tenggat waktu mengirimkan liputannya. Dia sering tidak tahu cerita apa yang harus dia liput, dan di akhir acara Mint 400, acara balapan gurun yang diliputnya, dia bahkan tidak ingat siapa yang memenangkan perlombaan. 

Duke kehilangan tanggung jawab utamanya, dan dengan penuh ketakutan (fear), ia mencari salinan dari majalah L.A. Times untuk mendapatkan beritanya. "Get the details. Cover myself," kata Duke. "Even on the Run, in the grip of a serious Fear..." Penggambaran sesosok jurnalis dalam Fear and Loathing di Las Vegas oleh Thompson tidak menempatkan jurnalisme dalam cahaya yang menyanjung. 

Melainkan menunjukkan bahwa, jurnalis adalah kelompok yang tidak bertanggung jawab dan tercela, dan pemberitaan mereka yang buruk tercermin dengan jelas dalam berita-berita yang terbit di surat kabar dan yang mengisi siaran televisi nasional.  

Menurut Thompson, jurnalis adalah sekumpulan homo yang kejam, jurnalisme bukanlah suatu pekerjaan atau alat perdagangan, melainkan sebuah tangkapan murah untuk mengatakan kepersetanan dan ketidakcocokan.

"The press is a gang of cruel faggots. Journalism is not a profession or a trade. It is a cheap catch-all for fuckoffs and misfits---a false doorway to the backside of life, a filthy piss-ridden little hole nailed off by the building inspector, but just deep enough for a wino to curl up from the sidewalk and masturbate like a chimp in a zoo-cage."

Dengan isi cerita yang menarik dan sangat menghibur, serta gaya penulisan yang sangat baik dan terbuka, saya dengan cukup bangga mengatakan bahwa buku ini adalah buku favorit saya hingga saat ini, juga buku ini lah yang menginspirasi saya untuk menjadi seorang jurnalis. 

Gara-gara buku ini, pengalaman menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi saya, hingga kini pengalaman menjadi tujuan utama perjalanan-perjalanan hidup selanjutnya, dan saya merasa cukup pantas bila pengalaman di bayar oleh waktu.

Meskipun berpuluh-puluh tahun lamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun