Dikabarkan seorang warga bernama Kadir baru saja meninggal dunia selepas zuhur tadi. Namanya dikumandangkan berkali-kali di masjid Kampung Peletuk. Jasadnya mati mengenaskan dengan bergelantungan melayang-melayang di salah satu pohon mangga yang ia tanam sendiri di kebun miliknya.
Polisi belum datang, garis polisi belum terpasang, sehingga para warga yang berbondong-bondong, berdesak-desakan ingin melihat langsung ke lokasi kejadian, tak ada siapa yang menahan. Â
Di antara mereka ada yang mengabadikan kejadian itu dengan kamera ponsel, ada yang bergosip-gosip ria, dan adapula yang datang hanya untuk sekedar ingin memuaskan rasa keingintahuannya saja.
Warga benar-benar dibuat heran dengan kematian Kadir. Pasalnya selama ini, Kadir terlihat baik-baik saja, tidak ada masalah apapun yang menimpanya. Â
Soal uang, dia punya, bahkan lebih dari cukup. Juga tidak ada tersiar berita murung apapun tentang Kadir. Ibu-ibu arisan juga tidak mendengar ada gosip-gosip buruk tentang keluarganya.Â
Kesepian? Tidak juga, ia malah terlihat sering bermesraan dengan Susi, istrinya, anak juragan tanah di Kampung Peletuk. Bahkan istrinya sendiri saja tidak tahu alasan Kadir mengakhiri hidupnya, yang ia tahu akhir-akhir ini Kadir sering kelayapan malam-malam sendirian. Apa penyebabnya? Tiada siapa yang tahu. Pertanyaan itulah yang terus bermunculan di kepala orang-orang.
 Sementara warga yang dibikin bingung dengan peristiwa itu, Susi dan Karyo --anak pertama Kadir dan Susi-- sedari tadi teriak-teriak histeris memandangi jasad Kadir yang kini sudah terbaring lemah tak bernyawa di hadapan Susi dan Karyo, tiada siapa yang peduli.Â
Warga hanya memandang prihatin, sebab tak tahu harus berbuat apa selain menutupi jasadnya dengan daun pisang. Ambulan yang dinanti-nanti pun tak kunjung datang, sebab lagi terjebak macet di simpang jalan yang sedang ada pembangunan jalan layang. Kasihan.
Kadir adalah cinta sejati Susi sejak SD, yang telah berjanji sehidup semati tinggal bersamanya, kini ia tak tahu harus berbuat apa. Berhari-hari setelah kematian Kadir, hidup Susi terasa hampa. Ia tak bisa mengelak akan kenyataan yang bertebaran di setiap pojokan rumahnya.,Â
Kadir sudah tak ada lagi. Pikirannya hancur berkeping-keping, tak bisa sehari pun ia lewatkan tanpa memikirkan kekasihnya. Ia menemukan dirinya bagai sebatang mawar di padang tandus yang sunyi, hanya ada satu kata yang terus bermunculan di kepalanya. Mati.
Para ibu-ibu yang menjadi tetangga Susi ikut prihatin kepadanya, mereka sering datang ke rumah Susi untuk sekedar menghiburnya. Namun nihil, bukan mereka yang Susi pinta, melainkan suaminya.Â