Mohon tunggu...
NUSANTARA KITA
NUSANTARA KITA Mohon Tunggu... Pelajar Ilmu Bermanfaat

Hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketahanan Keluarga antara Miskin dan Merasa Miskin

27 Juni 2025   14:46 Diperbarui: 27 Juni 2025   14:46 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Harta yang paling berharga adalah keluarga

"Istana yang paling indah adalah keluarga"

Bagi generasi 90 an tentu tak asing dengan penggalan lirik lagu soundtrack sinetron Keluarga Cemara. Sajian yang terkenal dan tayang di TV tahun 1996 hingga 2005. Menceritakan sebuah kisah tentang keluarga Abah yang pindah dari kota ke desa karena mengalami kesulitan ekonomi. Tetapi mereka tetap menjaga keharmonisan meski hidup dalam kesederhanan. Realitasnya, keluarga sangat berperan dalam membentuk nilai-nilai dan karakter individu. Rasa aman, nyaman, kasih sayang sangat penting dalam mendukung perkembangan emosional setiap anggota keluarga. Keluarga juga menjadi pijakan awal untuk memperkuat kepercayaan diri sekaligus sebagai tempat pertama berbagi suka dan duka. Saling memberikan dukungan dikala anggota keluarga menghadapi permasalahan atau tantangan. Meski seseorang dalam kondisi terpuruk sekalipun, keluarga akan menjadi tujuan utama untuk berlindung.

Beberapa dekade yang lalu kita masih menemukan banyak keluarga yang tinggal seatap dengan kakek, nenek, paman atau kerabat lain. Hubungan antar generasi dalam satu keluarga masih terjalin dengan intens. Ikatan antar individu dalam keluargapun cenderung masih kuat dan berkontribusi dalam mewariskan nilai-nilai, norma sosial terhadap generasi berikutnya. Namun, ditengah perubahan dan kondisi sosial masyarakat saat ini, kehidupan keluarga menghadapi banyak tantangan. Masyarakat yang semakin materialis, penggunaan internet, perkembangan teknologi, kecerdasan buatan menuntut adaptasi keluarga. Penyesuaian keluarga dengan keadaan saat ini berpengaruh terhadap ketahanan keluarga. Kemudahan akses informasi melalui teknologi gadget semakin mengancam runtuhnya pondasi nilai-nilai, struktur, peran dan fungsi, serta ikatan keluarga.

Extended family (keluarga besar) berubah menjadi nuclear family, keluarga tidak lagi terikat pada sebidang tanah. Namun lebih memilih sesuai dengan tempat mencari sumber penghidupan. Bahkan suami dan istri pun banyak yang berjarak, karena tuntutan pekerjaan serta pengaruh meningkatnya emansipasi wanita yang bisa bekerja di luar rumah. Interaksi dengan orang tua, kakek nenek karena terpisah jarak yang jauh, dengan mudahnya dapat dilakukan melalui handphone. Hanya saat liburan sekolah, hari raya atau moment tertentu keluarga besar dapat berkumpul. Masing-masing individu juga semakin sibuk dengan dunianya sendiri. Sang ayah atau ibu sibuk dengan pekerjaan, anak-anak seringkali menghabiskan banyak waktu bermain gadget. Meski tinggal serumah tidak menjamin interaksi antar individu terjalin dengan baik.

Tak heran jika semakin banyak anak-anak yang kehilangan identitas bahasa, budaya, perilaku kesopanan, gaya komunikasi yang serba digital, hilangnya permainan tradisional hingga sikap individualistik. Banyak persoalan yang dihadapi oleh keluarga yang merasa tidak lagi mampu menemukan solusi dan lebih memilih jalur pemecahan masalah di luar keluarga, melalui jalur hukum, institusi pemerintah atau lembaga masyarakat. Musyawarah yang mengutamakan mediasi antar anggota keluarga sering ditinggalkan.

Pemerintah menjadi salah satu tumpuan masyarakat untuk ikut menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi keluarga. Perubahan sosial berdampak besar bagi ketahanan keluarga. Tidak hanya rehabilitatif namun peran pemerintah juga harus terus didorong dalam upaya preventif. Situasi ekonomi dunia yang belum sepenuhya pulih akibat pandemi Covid, perang di Timur Tengah, perang dagang antar negara besar, PHK, perkembangan teknologi AI, kasus korupsi yang tak habis-habisnya, dan situasi lain saat ini menjadi tantangan bagi keluarga sebagai kesatuan masyarakat terkecil dari sebuah bangsa. Keluarga seyogyanya menjadi basis pendekatan dalam penanganan masalah sosial disamping pendekatan individu dan kelompok / comunity.

Pemberdayaan berbasis keluarga secara masif dan berkelanjutan menjadi salah satu alternatif dalam penguatan nilai-nilai dan struktur keluarga. Beberapa waktu lalu kita dihebohkan dengan langkah provinsi Jawa Barat dalam menangani anak-anak yang terlibat tawuran, miras, narkoba dan penyimpangan perilaku yang mengarah pada tindak pidana. Anak-anak dididik di barak militer dengan harapan memiliki kedisiplinan, kesadaran dan perubahan perilaku positif lainnya. Pada dasarnya program Gubernur Dedi Mulyadi tersebut bagus. Terlepas dari pro dan kontra gagasan  KDM, anak adalah produk keluarga. Semestinya juga didukung dengan upaya penyadaran orang tua atau keluarga yang mungkin selama ini kurang memberikan perhatian bagi anak-anaknya. Atau ada yang salah dalam pola asuh di lingkungan keluarga sehingga anak-anak cenderung berperilaku menyimpang.

Dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar, pemerintah pusat mengeluarkan program makan bergizi gratis / MBG. Di bidang kesehatan melalui BPJS Kesehatan yang dibiayai pemerintah baik pusat maupun daerah. Dari sisi pendidikan ada Program Indonesia Pintar. Bantuan sosial untuk kelompok rentan dan fakir miskin serta berbagai program bansos lainnya. Entah karena efisiensi atau karena pertimbangan jangka panjang pemerintahan Prabowo bergeser pada optimalisasi pemberdayaan daripada bantuan sosial atau program yang bersifat charity. Yang menjadi persoalan apakah perubahan arah kebijakan Prabowo dapat dipahami dengan baik oleh rakyat, mengingat masyarakat sudah terlanjur "dininabobokkan" dengan bantuan sosial. Masyarakat masih menggantungkan uluran tangan dari pemerintah melalui bansos. Ironisnya bansos yang diterima oleh sebagian masyarakat selama bertahun tahun seolah dianggap sebagai "gaji" bagi sebagian penerima manfaat. Carut marut persoalan data base masih mewarnai mekanisme kelayakan seseorang mendapatkan bansos yang mengakibatkan tidak tepat sasaran.  

Persoalan mendasar lain adalah mentalitas sebagian masyarakat yang masih merasa miskin. Banyak warga yang faktanya mampu, justru berbondong bondong menyatakan dirinya sebagai warga miskin. Sikap tidak peduli dengan keluarga lain yang sebenarnya lebih berhak mendapatkan bansos seharusnya menjadi perhatian serius. Meski sistem aplikasi bansos membuka ruang terhadap mekanisme sanggahan untuk memfilter, namun masyarakat cenderung enggan memberikan informasi fakta yang ada. Persoalan kemiskinan tidak hanya menjadi tugas pemerintah. Namun kesadaran, kepedulian sosial masyarakat sangat diperlukan untuk mendukung upaya bersama secara gotong royong dalam mengentaskan kemiskinan.

Dari sudut pandang psikologis keluarga, kondisi kemiskinan tanpa disadari akan cenderung "diwariskan" kepada anak-anaknya. Pemenuhan gizi, akses pendidikan yang lebih tinggi, hingga pola asuh keluarga yang kondisi sosial ekonominya rendah seolah menjadi lingkaran setan. Seorang anak dari keluarga miskin cenderung tidak memiliki kepercayaan diri. Bahkan mimpi anak keluarga miskin untuk merubah nasib yang lebih baik seringkali terpatahkan oleh orang tua atau lingkungan keluarga sendiri. Secara psikologis, dalam alam bawah sadar anak dari keluarga miskin sudah tertanam bahwa mereka kaum fakir yang merasa tidak "pantas" setara atau mendapatkan yang lebih baik. Untuk memutus mata rantai kemiskinan, pemberdayaan berbasis keluarga menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun