Mohon tunggu...
Nuryahya Aditya Putra
Nuryahya Aditya Putra Mohon Tunggu... Guru di SMKN 2 Blora

Hoby saya menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Blora Aku Merindukanmu yang Dulu

10 Desember 2022   18:00 Diperbarui: 10 Desember 2022   18:01 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Adit, lebih tepatnya Nuryahya Aditya Putra. Aku lahir di Blora pada 21 November 1990..

Beberapa kali kulihat arloji merah muda yang melingkar manis di pergelangan tanganku.Hari ini adalah hari Minggu, hari yang kehadirannya paling dinanti diantara tujuh hari lainnya. Matahari sudah mulai naik hampir diatas kepala. Angkasa terang berselimut awan dengan kicauan burung yang masih terdengar seperti musik dari alam,nyaring namun menyenangkan. Dikota kota besar,kalian akan jarang menumukan hal semacam ini. Sesuatu yang sering dinilai bukan apa-apa namun kehadirannya adalah secercah bahagia bagi umat manusia. Perwujudan dari  Tuhan yang membagi segalanya sama rata untuk makhluknya. Burung diberi bebas terbang ke angkasa luas, Matahari diberi ikhlas, Manusia diberi berbagai kemampuan untuk memanfaatkan apa yang ada di alam. Sekarang lihat!! Darimana, sisi tidak adil yang sering kalian proteskan kepada Tuhan?.

Ini bukan sepenuhnya kisah tentangku, melainkan tentang kota kelahiranku. Kota kecil dengan ragam budaya yang jarang diketahuin orang luar,atau malah ada yang tidak tahu sama sekali. Entahlah....

Sedikit cerita untuk  yang tidak tahu-menahu tentang kota Blora. Blora merupakan kota kecil yang terletak diujung Jawa Tengah,kota dengan ribuan tanaman jati sebagai ciri khas serta komoditas ekspornya. Seperti yang tadi ku katakan, tidak banyak orang yang tahu akan adanya kota kecil ini di bumi Indonesia. Orang-orang yang tidak tahu tersebut mungkin akan beranggapan bahwa Blora tak lebih dari kota kumuh yang penduduknya ketinggalan Zaman. Namun, bagi orang-orang yang suka membaca buku, Khusunya sastra Indonesia, tidakk mungkin tidak mengetahui adanya kota kecil ini. Kota yang juga merupakan tempat kelahiran Pramoedya Ananta Toer, salah satu pengarang legendaris.          

Blora bukanlah sebuah kota dengan anggapan buruk semacam itu. Blora tak kalah indahnya dengan kota berperadaban lebih maju lainnya. Meskipun kecil dan jauh berbeda dengan kota terkenal seperi Jakarta dan Jogja. Ada banyak yang bisa dibanggakan di kota ini, mulai dari orangnya yang ramah, keindahan alamnya sampai kuliner yang tak kalah enaknya dengan makanan mendunia lainnya. Blora juga termasuk salah satu penghasil minyak bumi terbesar di Pulau Jawa,tepatnya di daerah Cepu. Namun, Bukan itu yang mau kubahas dalam cerita ini. Bukan tentang satu daerah saja melainkan keseluruhan kota Blora berikut kebudayaannya,Budaya yang akhir-akhir ini mulai terlupakan.

Terlalu lama melamun, akhirnya aku tidak sadar bahwa jam sudah mununjukan pukul 10.00 WIB.

Lima belas menit lagi aku akan pergi kerumah temanku. Dulu, waktu pertama kali aku masuk ke SMK N 2 BLORA aku sudah pernah berkunjung kesana  untuk mengerjakan tugas negara. Mengapa aku sebut sebagai tugas negara? karena belajar adalah kewajiban seorang siswa dan merupakan perwujudan bela negara bagi seorang siswa. Dan kali ini aku diajak lagi kesana untuk berkunjung yang kedua kalinya, tentu saja aku sangat senang. Aku kesana  bukan untuk belajar bersama melainkan untuk sebuah acara adat, acara yang biasa orang menyebutnya Sedekah Bumi atau bagi orang Blora terkenal dengan sebutan "GASDESO".

Setelah 30 menit perjalanan, Akhirnya aku sampai di rumah temanku. Sampai disana aku sedikit terkejut dengan dengan apa yang aku lihat dihadapanku. Perubahan kecil yang entah mengapa membuat hatiku menangis. Sedekah bumi yang sekarang sudah tak sama lagi seperti dulu. Kalau mau banding-membanding, sedekah bumi yang dulu lebih menyenangkan daripada yang sekarang ini. Dulu masih ramai, banyak orang yang rela berdatangan dari jauh untuk melihat dan membantu memeriahkannya.                                               

Seingatku tahun lalu Sedekah Bumi masih tergolong ramai. Namun sekarang, orang-orang yang dulunya selalu ikut ambil bagian, kini seakan menghilang bak ditelan bumi. Apa yang terjadi?apa semua orang sudah tidak peduli pada tradisi nenek moyang yang sudah turun-temurun ini?sejuta pertanyaan tanpa jawaban berputar dikepalaku.

Kulangkahkan kakiku menuju ke dalam rumah temanku. Bermacam-,macam makan sudah rapi diatata meja seolah berteriak untuk meminta segera dinikmati. Akan tetapi, ada hal yang membuatku kembali tertegun. Makanan-makananyang disediakan bukan lagi jajanan tradisonal khas acara ini. Jajanan yang tersedia tak lain  adalah makanan cepat saji yang dibeli di pasar-pasar, bukan lagi makanan yang dibuat sendiri khusus Sedekah Bumi seperti Dumbeg, Bugis, Pasung atau Corneto Jawa dan makanan tradisional lainnya. Dalam hati aku bertanya "sudah sejauh inikah dunia berkembang?"

Aku memberanikan diri untuk bertanya kepada temanku Rina sang pemilik rumah tentang semua ini. Dan ternyata benar, kata Rina seiring perkembangan zaman, makanan-makanan seperti itu adalah hal yang langka. Orang zaman sekarang cenderung menyukai apa-apa yang instan dan praktis daripada harus membuat makanan tradisional sendiri yang prosesnya tergolong ribet. Tapi pernakah kalian membaca atau mendengar mungkin, bahwa " BUDAYA JIWA BANGSA ". Jika budaya itu menghilang, otomatis Indonesia adalah bangsa yang tak berjiwa bukan? Lalu bagaimana bangsa tanpa jiwa itu berdiri dan menjalankan kehidupan? Tentu saja tidak akan bias!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun