Pemerintah juga mendorong wajib belajar 13 tahun, dengan PAUD minimal satu tahun sebagai pondasi. Tapi ada yang lebih penting: penekanan bahwa learning tidak sama dengan schooling.
Belajar bisa terjadi di ruang kelas, di rumah, di perpustakaan, bahkan di jalanan. Dengan akses pendidikan yang merata, anak di pelosok desa pun berhak mendapat pengalaman belajar yang sama berkualitasnya dengan anak di kota besar. Pendidikan bermutu berarti tak ada lagi batasan ruang dan waktu. Belajar ada di mana-mana.
Talkshow dalam acara ini selain menghadirkan staffsus Kemendikdasmen, juga menghadirkan ibu Susi Sukaesih (founder komunitas Sidina--- yang mewakili suara orang tua murid), ibu Yuli Nestiarum (Guru SMA Negeri Yogyakarta---mewakili para guru), Alfredo Eka (Duta siswa Bali 2024---mewakili suara siswa).
Talkshow yang dimoderatori oleh Mas Heru Margianto selaku CEO Kompasiana ini, membuka perspektif lain tentang apa itu pendidikan bermutu.
Menurut Bapak Ma'ruf, pendidikan bermutu adalah pendidikan yang bisa diakses dan merata.
Menurut orang tua, pendidikan bermutu adalah yang relevan dengan kebutuhan anak, dan membekali life skill.
Menurut guru, pendidikan bermutu harus relevan, efektif, dan berkualitas.
Menurut siswa, pendidikan bermutu adalah kurikulum yang tepat sasaran, relevan, dan tidak terlalu banyak teori.
Mendengar pendapat-pendapat itu, saya sadar: pendidikan bermutu adalah mozaik. Ia lahir dari suara semua pihak : pemerintah, guru, orang tua, dan tentu saja siswa.
Namun, ada catatan serius yang juga diangkat: tiga dosa besar pendidikan---perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi.
Masalah ini bukan sekadar teori. Hampir setiap bulan, kita bisa membaca berita tentang siswa yang mengalami bullying, baik fisik maupun verbal. Ada yang dikucilkan karena berbeda, ada yang ditekan oleh senior, bahkan ada yang memilih mengakhiri hidup karena tidak tahan dengan tekanan. Ini adalah alarm keras: sekolah seharusnya menjadi ruang aman, bukan ruang yang menakutkan.