Essay:Â
UMKMConnect: Solusi Inklusif untuk Pendampingan Digital UMKM Pasca-Pelatihan
Oleh Nurul Jannah
Perkembangan teknologi digital dalam satu dekade terakhir telah mendorong transformasi besar di berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia usaha. Di era Revolusi Industri 4.0 dan masyarakat 5.0, aktivitas bisnis seperti pemasaran, transaksi, dan layanan pelanggan semakin bergeser ke ranah daring. Hal ini menjadikan digitalisasi sebagai prasyarat utama untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing.
Dalam konteks ini, sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia menghadapi tantangan yang signifikan. Sebagai penyumbang lebih dari 60% Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan penopang 97% lapangan kerja (Kemenkop UKM, 2024), UMKM memiliki peran strategis dalam perekonomian nasional. Namun, untuk tetap relevan dan kompetitif, mereka harus mampu beradaptasi dengan ekosistem digital yang terus berkembang.
Data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa hingga Juli 2024, sekitar 25,5 juta UMKM telah bergabung ke ekosistem digital melalui e-commerce, media sosial, dan sistem pembayaran digital. Jumlah ini mencerminkan lebih dari 60% dari total UMKM nasional yang berjumlah 64 juta unit. Meski angka tersebut cukup tinggi, digitalisasi belum sepenuhnya berarti optimalisasi. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa hanya sekitar 12% UMKM yang benar-benar memanfaatkan teknologi digital secara efektif dalam aktivitas usahanya. Ini menandakan adanya kesenjangan antara adopsi teknologi dan pemanfaatan yang berdampak nyata.
Kesenjangan ini tak lepas dari kenyataan bahwa digitalisasi tidak bisa diselesaikan hanya dengan pelatihan satu arah. Pemerintah melalui program UMKM Go Digital, Gernas BBI, hingga Digital Entrepreneurship Academy dari Kominfo telah menyediakan pelatihan yang bersifat praktis dan aplikatif. Sektor swasta seperti Kampus UMKM Shopee, serta program pengabdian digital oleh universitas juga turut memperkuat upaya literasi digital. Namun, pelatihan---meskipun berbobot---tidak selalu cukup menjawab persoalan nyata di lapangan.
Setiap UMKM memiliki karakteristik, target pasar, dan tantangan teknis yang berbeda. Maka, meski sudah mengikuti pelatihan, banyak pelaku usaha masih menghadapi kebingungan dalam menyesuaikan strategi digital dengan konteks usaha mereka. Tantangan seperti menyusun konten yang sesuai dengan audiens, menentukan kanal promosi yang efektif, hingga mengelola analitik penjualan digital tidak bisa diselesaikan secara umum. Mereka membutuhkan bimbingan lanjutan yang personal, relevan, dan kontekstual.
Di sinilah muncul sebuah pertanyaan kritis: Apakah pelatihan digital cukup tanpa pendampingan setelahnya? Jawabannya tampak jelas di lapangan: tidak. Banyak pelaku UMKM membutuhkan bantuan saat mereka mulai menerapkan ilmu yang telah dipelajari. Namun, layanan konsultasi yang tersedia saat ini umumnya berbayar dan sulit dijangkau oleh UMKM kecil dan pemula. Sementara di sisi lain, jutaan UMKM bahkan belum tersentuh digitalisasi karena keterbatasan akses, biaya, maupun literasi. Hal ini diperkuat oleh temuan dalam studi "Strategi Pengembangan Digital Entrepreneurship UMKM dengan Model Pentahelix" (2023), yang menyatakan bahwa:
"Setelah dilakukannya pelatihan oleh para pelaku usaha, masih adanya kesulitan pemasaran yang dihadapi pelaku usaha meliputi... kontrol pada cara produk dan detailnya dipresentasikan kepada pelanggan."
Temuan ini menggarisbawahi bahwa pelaku UMKM masih membutuhkan arahan langsung dan bimbingan kontekstual setelah pelatihan, terutama dalam menghadapi tantangan teknis yang tidak terstandarisasi.
Dengan kondisi tersebut, diperlukan sebuah sistem pendampingan digital yang mampu menjembatani kesenjangan ini secara berkelanjutan, inklusif, dan dapat diakses secara gratis. Sebuah solusi yang tidak hanya menjawab pertanyaan teknis, tetapi juga memperkuat transformasi digital secara merata dan berkeadilan.