Di ujung selatan Jalan Malioboro yang selalu ramai, berdirilah Pasar Beringharjo, sebuah bangunan ikonik yang menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut kehidupan Yogyakarta.
Dengan gaya arsitektur kolonial yang khas, pasar ini tidak hanya menjadi tempat berjual beli, tetapi juga ruang yang menyimpan jejak panjang sejarah dan kebudayaan kota.
Sejak dibangun pada abad ke-18, Pasar Beringharjo telah menjadi saksi perubahan zaman, dari era kerajaan, kolonial, hingga masa kini yang serba digital.
Memasuki pasar, pengunjung akan langsung disambut suasana khas yang tak tergantikan: hiruk-pikuk tawar-menawar, aroma rempah dari kios bumbu, tumpukan kain batik dengan corak tradisional hingga modern, dan senyum ramah para pedagang.
Suasana ini menciptakan pengalaman multisensorik yang membawa kita kembali pada kehidupan masyarakat urban masa lalu, ketika belanja bukan hanya soal transaksi, tetapi juga soal hubungan sosial.
Eksistensi di Tengah Arus Digitalisasi
Era digital membawa banyak perubahan dalam perilaku konsumen. Kini, platform e-commerce seperti Shopee dan Tokopedia menjadi pilihan utama karena kemudahan akses dan variasi harga. Perubahan ini dirasakan langsung oleh para pedagang di pasar tradisional, termasuk Pasar Beringharjo.
Bu Salwa, pemilik Toko Baju Salwa, adalah salah satu dari banyak pedagang yang menghadapi tantangan ini. "Sekarang sering ada yang cuma lihat-lihat, terus bilang, 'Nanti saya cek Shopee dulu, Bu,'" ceritanya sambil tersenyum. Namun ia tidak lantas menyerah. Menurutnya, pasar tradisional masih punya nilai lebih yang tak bisa digantikan oleh belanja online.
Di Beringharjo, pembeli bisa menyentuh langsung barang yang ingin dibeli, mencermati kualitas kain, menawar harga secara langsung, bahkan bertukar cerita dengan pedagang. Interaksi personal ini membangun rasa kepercayaan dan kedekatan sesuatu yang hilang dalam transaksi berbasis aplikasi.