Di salah satu desa kecil di Karang, Sleman, Yogyakarta, terdapat sosok luar biasa bernama Bu Elis. Seorang ibu rumah tangga yang tak hanya mengurusi keluarga, tetapi juga menjadi guru ngaji bagi anak-anak desa. Di usianya yang kini menginjak 53 tahun, semangatnya dalam mendidik generasi muda tak pernah luntur. Bu Elis bukan sekedar pengajar, tapi juga pejuang dakwah yang konsisten di jalan ilmu, meski tanpa imbalan yang sepadan.
Sebelum menetap di Yogyakarta, Bu Elis pernah menjadi guru di sebuah madrasah di Jakarta Timur. Ia mengajar di Madrasah Diniyah Awaliyah An-Nur sejak tahun 1993. Saat itu, ia membimbing sekitar 30 murid selama dua tahun. Selain menjadi guru madrasah, beliau juga diberi amanah untuk mengajar Taman Pendidikan Al-Qur'an An-Nur (TPA) yang baru saja didirikan. Metode pembelajaran yang digunakan Bu Elis adalah metode Iqro', yang dinilai sangat efektif dalam mempercepat proses belajar membaca Al-Qur'an.
Kegiatan belajar mengajar di TPA dilakukan setiap pagi hari dari pukul 07.00-09.00 WIB pagi dan dilanjutkan lagi pada sore hari pukul 14.00-16.00 WIB. Meskipun waktu belajar cukup padat, anak-anak yang diajar oleh Bu Elis dapat membaca dan menulis Al-Qur'an dengan baik. Hal ini menjadi bekal yang cukup bagi mereka untuk melanjutkan ke jenjang sekolah dasar. Anak-anak bisa membaca dengan lancar karena dibimbing langsung oleh Bu Elis.
Namun, dibalik dedikasi semua itu, honor yang diterima Bu Elis sangat minim. Ia hanya mendapatkan Rp.30.000 per bulan. Sebuah angka yang jelas tidak sebanding dengan kerja keras dan pengorbanan beliau. Meskipun begitu, hal itu tidak pernah menjadi alasan bagi Bu Elis untuk mengeluh dan berhenti mengajar. Ia justru menegaskan bahwa tujuan mengajarnya bukanlah untuk mencari uang, melaikan untuk mencetak generasi Qur'ani.
"Walaupun di bayar hanya Rp.30.000, bahkan tidak sepeserpun, itu tidak menjadi hambatan bagi saya dalam mengajar. Karena tujuan saya adalah mencetak generasi penerus yang bisa membaca Al-Qur'an. Itu saja sudah menjadi kepuasan batin dan kebanggaan tersendiri bagi saya," ucap Bu Elis sambil terseyum.
Tak berhenti sampai situ, sepulang dari mengajar di madrasah, Bu Elis tetap mengajar ngaji di rumah pribadinya setiap sore pukul 16.30-17.30. Ia mengajar tanpa kenal lelah.
"Saya tidak pernah merasa capek untuk memberikan ilmu agama kepada anak-anak. Yang terpenting mereka mau istiqamah dalam belajar, itu sudah cukup menjadi penyemangat saya untuk terus mengajar," ungkapnya dengan penuh ketulusan.
Pada tahun 2011, Bu Elis memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta demi merawat kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia. Padahal, saat itu ia mendapatkan tawaran menjadi guru TK di kota dengan gaji yang lebih besar. Namun, dengan penuh keteguhan hati, Bu Elis memilih kembal ke kampung halamannya. Keputusan itu diambil karena panggilan hati, bukan karena materi.
Di Jogja, Bu Elis tetap melanjutkan perjuangannya. Ia, mendirikan TPA di rumahnya sendiri dan mengajar setiap hari Senin, Rabu, Kamis, dan Jumat pukul 14.00-16.00 WIB. Dukungan dari anak-anak dan orang tua di sekitarnya semakin menguatkan tekad beliau. Beberapa tahun kemudian, Bu Elis kembali mendapat Amanah untuk mendirikan TPA Nurul Hikmah bersama pengurus mushala. Melihat semangat anak-anak yang tinggi dalam mengaji, beliau merasa perlu menyediakan ruang belajar yang lebih layak untuk mereka.
Metode yang digunakan di TPA Nurul Hikmah masi sama, yaitu Iqro', tapi kini ditambah dengan lalu-lagu Islami agar anak-anak tidak cepat merasa bosan. Bu Elis mengajar setiap pukul 16.00-17.00 WIB setiap hari Selasa dan Sabtu dengan penuh semangat dan keikhlasan. Tidak hanya anak-anak, para ibu-ibu juga tertarik belajar mengaji karena melihat semangat anak-anak mereka. Ibu-ibu desa pun diajarkan mengaji oleh Bu Elis. Kini, mereka sudah mampu membaca Al-Qur'an meski dulunya buta huruf hijaiyah.
Karena keistimewaannya dalam membaca Al-Qur'an dan bershalawat, Bu Elis juga ditunjuk sebagai Ketua Majelis Pengajian di lingkungannya. Ia sering memberikan tausiah singkat dan memimpin shalawat dalam berbagai kegiatan pengajian ibu-ibu. Semua dilakukan dengan hati tulus, bukan dengan ambisi dunia.
Menariknya, meskipun sudah tidak tinggal di Jakarta, para murid Bu Elis yang sudah lulus sekolah di sana masih sering menghubungi beliau untuk menanyakan kabar. Mereka tidak pernah melupakan jasa-jasa gurunya. Bahkan, sebelum mengambil Keputusan penting dalam hidup seperti mendaftar TNI, Polri, atu sekolah kebidanan, mereka selalu meminta doa restu dari Bu Elis. Saat ada kesempatan ke Yogyakarta, mereka menyempatkan diri untuk bersilaturahmi ke rumah Bu Elis.
"Mengajar ngaji itu seperti kita yang menanam pohon, tapi tidak pernah merasakan buahnya. Namun, generasi setelah kitalah yang yang akan merasakan manfaatnya di kemudian hari," tutur Bu Elis, menyampaikan refleksi yang begitu dalam.
Bu Elis adalah simbol dedikasi tanpa batas di tengah dunia yang semakin materialistik ini, yang menjelaskan bahwa keberkahan tidak selalu datang dari materi, tetapi dari ketulusan hati yang mengabdi. Ketika banyak orang yang mengejar karena profesi, beliau mengajar kerena misi. Misinya bukan hanya untuk mencerdaskan, tetapi juga mencahayai. Cahaya dari Al-Qur'an yang ia tanamkan, suatu saat akan tumbuh menjadi cahaya penerang bagi masa depan anak-anak didiknya.
Bu Elis mungkin tidak akan pernah viral di media sosial. Tapi di surga nanti, pahala dari ilmu yang beliau ajarkan akan terus mengalir sepanjang hayat murid-muridnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI