Mohon tunggu...
Nurul Intsan
Nurul Intsan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Indonesia

Saya merupakan mahasiswi Prodi Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Neoliberalisme "Menghantui" Perguruan Tinggi di Indonesia?

9 Juli 2023   15:25 Diperbarui: 9 Juli 2023   18:14 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Rektorat Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.  (Foto: koleksi pribadi)

Kenaikan biaya pendidikan di kampus-kampus negeri saat ini menjadi topik yang banyak disoroti oleh publik. Salah satunya, yakni kenaikan biaya pendidikan di Universitas Indonesia yang dinilai berpotensi menghancurkan mimpi anak bangsa. Fenomena yang terjadi ini, berjalan beriringan dengan semakin tunduknya perguruan tinggi terhadap pasar tenaga kerja. Praktek ini sebagai salah satu indikator dari keberadaan neoliberalisme dalam bidang pendidikan. Paham neoliberal dinilai dapat mendorong transformasi dalam berbagai sektor sehingga mampu sejalan dengan modernisasi. 

Melalui neoliberalisme, terjadilah perubahan hubungan antara institusi pendidikan dengan mahasiswa yang hanya dilihat sebagai Business to Consumer (B2C) sehingga berdampak pada memudarnya Tri Dharma Perguruan tinggi. 

Neoliberalisme merupakan lanjutan dari liberalisme yang memberikan otonomi kepada individu untuk melawan intervensi dari komunitas. Prinsip dan nilai yang terdapat dalam neoliberalisme tidak jauh berbeda dari pemikiran liberalisme klasik Adam Smith. Paham liberal maupun neoliberal sama-sama mendukung minimalisasi peran pemerintah dalam perdagangan, deregulasi pasar agar terbebas dari restriksi, menghilangkan tarif perdagangan, dan kebijakan lainnya yang mendukung free trade. Kedua paham ini memandang bahwa persaingan bebas merupakan cara terbaik untuk mewujudkan kemajuan karena memberikan ruang yang besar untuk menggunakan utilitas. 

Oleh karena itu, penerapan paham neoliberal dalam bidang pendidikan dinilai sebagai upaya untuk memenuhi pasar kerja dengan membentuk calon-calon tenaga kerja sesuai kualifikasi yang dibutuhkan. 

Bagaimana penerapan neoliberalisme dalam bidang pendidikan?


Penerapan paham neoliberal dalam bidang pendidikan, secara nyata dapat dilihat dari transformasi pendidikan tinggi di Amerika Serikat. Amerika Serikat sebagai rumah bagi kampus-kampus "top" di dunia telah menetapkan regulasi yang sangat ketat dalam hal pendanaan, jurusan, pasar tenaga kerja, sampai dengan intervensi perusahaan swasta pada tata kelola perguruan tinggi yang semakin mendominasi. Dalam hal pendanaan, proses neoliberal dimulai pada masa pemerintahan Ronald Reagan (Presiden Amerika Serikat ke-40). 

Reagan berhasil membuat kongres untuk pemotongan pajak masyarakat kelas atas. Dampaknya, Reagan saat itu harus memotong banyak pengeluaran agar menutupi kekurangan pendapatan pajak. Kebijakan tersebut mendorong perguruan-perguruan tinggi di Amerika Serikat menetapkan tuition fee dengan sangat mahal untuk menutupi biaya operasional.

Keputusan tersebut telah memberikan dampak buruk terhadap distribusi kesempatan dalam mengenyam pendidikan. Hal ini karena adanya biaya pendidikan yang tinggi, justru semakin membatasi kesempatan setiap orang untuk mengakses dan mendapatkan kualitas pendidikan terbaik. 

Selain itu, biaya pendidikan yang tinggi mendorong terciptanya "transaksi atau jual beli" dalam perguruan tinggi. Hal ini tentu akan berdampak terhadap pergeseran kualitas pendidikan dan reputasi akademik karena bukan lagi kualitas prestasi calon mahasiswa yang menjadi pertimbangan, melainkan kondisi keuangan calon mahasiswa. Persepsi terhadap perguruan tinggi pun berubah, bukan lagi sebagai institusi pendidikan, tetapi sebagai institusi bisnis. 

Saat ini, jurusan-jurusan sosial di Amerika Serikat menjadi sasaran utama dalam pengurangan subsidi atau pendanaan. Jurusan sosial dinilai kurang memberikan kontribusi terhadap pembangunan negara. Oleh karena itu, sejak tahun 2009 anggaran untuk penelitian bidang Sosial dan Humaniora di Amerika Serikat banyak mengalami pemotongan. Salah satu lembaga yang mendapatkan pemotongan anggaran ini adalah National Endowment for the Humanities pada tahun 2014. Selain itu, salah satu perguruan tinggi terbaik di Amerika Serikat dan termasuk dalam Ivy League, yaitu University of Pennsylvania bahkan berencana menutup departemen musik dan bahasa  karena permintaan pasar yang kurang laku.

Secara lambat laun, dari pengurangan subsidi oleh pemerintah akan mendorong skala prioritas jurusan berdasarkan pada segmentasi pasar. Kondisi tersebut, menggambarkan keberadaan paham neoliberal yang telah menyebabkan perubahan pola berpikir dalam tata kelola perguruan tinggi. Dalam paham neoliberal, semuanya mengacu pada permintaan pasar. Oleh karena itu, hal-hal yang sudah tidak lagi laku di pasaran atau tidak menguntungkan, maka akan dihilangkan. Sama halnya seperti jurusan di perguruan tinggi, ketika tidak lagi ada permintaan pasar atau permintaannya kecil, maka dianggap tidak layak dipertahankan.

Manifestasi lain dari paham neoliberal dijelaskan dalam buku Peter Fleming (2021) yang berjudul "Dark Academia: How Universities Die". Peter Fleming menyoroti perubahan manajerial dan mekanisme kerja antara akademisi dengan universitas. Akademisi tidak lagi memiliki kebebasan untuk mendalami spesialisasi keilmuan yang telah dipelajari selama bertahun-tahun karena didorong mengikuti permintaan pasar. 

Misalnya, dalam kegiatan publikasi ilmiah atau riset yang dilakukan oleh akademisi. Hal yang disoroti oleh Fleming adalah topik-topik riset yang dilakukan oleh akademisi seringkali ditetapkan oleh manajer pendidikan dengan berorientasi pada trend dan permintaan pasar untuk meningkatkan engagement rate dari sebuah publikasi. Selain itu, akademisi pun justru dieksploitasi untuk menghasilkan jumlah publikasi ilmiah yang ditetapkan oleh universitas. Oleh karena itu, tidak heran bahwa dalam manajerial pendidikan, perguruan tinggi dilihat sebagai industri kapitalis - edu factory.  

Refleksi neoliberalisme pada perguruan tinggi di Indonesia

Penerapan neoliberalisme dalam bidang pendidikan di Indonesia, sekiranya dimulai dari perubahan status perguruan tinggi. Skema awal status hubungan perguruan tinggi dikenal sebagai PT Negeri Satuan Kerja Pendapatan Negara Bukan Pajak (Satker PNBP), PTN Badan Layanan Umum (PTN BLU), PT Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN), sampai dengan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH).

Artinya, telah terjadi privatisasi perguruan tinggi di Indonesia didukung oleh beberapa regulasi, yakni PP Nomor 60 Tahun 1999, UU Nomor 22 Tahun 1999, sampai dengan UU Nomor 12 Tahun 2002 yang telah memfasilitasi kemandirian atau otonomi pengelolaan perguruan tinggi. Di samping regulasi tersebut, jelas terdapat regulasi lain yang turut mendukung penerapan otonomi universitas. Diantaranya, Permendiknas Nomor 55 Tahun 2013 dan PP Nomor 26 Tahun 2015. 

Melalui status PTN-BH, perguruan tinggi diberikan kebebasan untuk mengatur keuangan. Hal ini tertuang dalam PP Nomor 26 Tahun 2015 pasal 2 dikatakan bahwa pendanaan PTN-BH dapat berasal dari dua sumber: 1) APBN; dan 2) selain APBN. Pendanaan PTN-BH yang bersumber dari APBN sebagai realisasi atas kewajiban 20% APBN dianggarkan untuk pendidikan, sedangkan dana non-APBN salah satunya dapat berasal dari masyarakat. Diksi "masyarakat" pada pasal 11 diperjelas dalam pasal 12 bahwa dana dari masyarakat dapat berupa hibah, zakat, wakaf, sumbangan perusahaan, dana abadi, dan bentuk lainnya.

Oleh karena itu, tidak heran apabila saat ini perguruan tinggi di Indonesia banyak bergantung pada pihak-pihak perusahaan dan bersaing mendapatkan banyak sponsorship untuk menunjang biaya operasional. 

Status PTN-BH yang diberikan kepada beberapa universitas di Indonesia merupakan bagian dari praktek neoliberal dalam sistem pendidikan. Melalui status ini, maka pihak universitas dapat melakukan peningkatan biaya pendidikan secara sepihak. Pihak universitas pun diberikan kebebasan untuk menambah komponen-komponen dalam biaya pendidikan, misalnya uang pembangunan atau familiar dikenal dengan istilah "uang pangkal". 

Selain itu, universitas di Indonesia pun menambah program-program layanan pendidikan dengan variasi biaya. Contohnya, di Universitas Indonesia menerima Kelas Khusus Internasional (KKI) dan Kelas Paralel yang dipatok dengan biaya pendidikan mahal. Akibatnya, inklusivitas dalam pendidikan dan istilah "access to all" tidak dapat direalisasikan. 

Status PTN-BH pun telah mengizinkan pihak universitas menerima dana eksternal dari pihak perusahaan. Hubungan ini memberikan ruang bagi pihak-pihak eksternal untuk melakukan intervensi terhadap manajerial pendidikan. Salah satunya, yakni turut mendesain kurikulum yang berlaku di suatu perguruan tinggi atas dasar kerja sama atau MoU. 

Dalam praktek neoliberal, kondisi ini dapat mengantarkan pada orientasi pendidikan tinggi yang ditujukkan untuk memenuhi pasar tenaga kerja. Oleh karena itu, perguruan tinggi telah berubah menjadi "tempat kursus" untuk memberikan pelatihan kepada calon karyawan (future employees) yang merupakan mahasiswa agar dapat survive di dunia kerja. Ditambah lagi, kondisi saat ini pemerintah menyediakan program Kampus Merdeka yang semakin menyadarkan bahwa orientasi pendidikan hari ini hanyalah diarahkan untuk mengisi pasar tenaga kerja.

Dari beberapa aspek yang telah disebutkan, maka penulis memandang bahwa pendidikan di Indonesia sudah mengadopsi sistem neoliberal. Penulis berharap tulisan ini dapat merefleksikan kembali sistem pendidikan di Indonesia agar dapat kembali pada Tri Dharma perguruan tinggi yang terdiri dari: pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat. Perubahan orientasi pendidikan dan privatisasi pendidikan hari ini merupakan salah satu indikator adaptasi paham neoliberal pada perguruan tinggi di Indonesia. 

Oleh karena itu, kenaikan biaya pendidikan, program kelas internasional, kampus merdeka, dan lain sebagainya yang ditujukkan untuk melatih calon pekerja masa depan agar sesuai permintaan pasar adalah manifestasi dari paham neoliberal. Fenomena kenaikan biaya pendidikan di Universitas Indonesia dan universitas lainnya pun merupakan dampak dari otonomi yang diberikan oleh pemerintah dalam pengelolaan perguruan tinggi. Hal ini menyebabkan tertutupnya aspek inklusivitas dalam mengenyam pendidikan tinggi dan memudarkan nilai-nilai dalam Tri Dharma perguruan tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun