Mohon tunggu...
Nurul Fuadah
Nurul Fuadah Mohon Tunggu... -

Emak-emak yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kuncup-kuncup Maahari

11 September 2013   11:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:03 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Rasa ini tak bertepi. Sungguh cinta ini tak bertepi. Tak mampu kuungkapkan dalam kalimat-kalimat indah, meski itu seindah puisi. Cukup getar hati ini menjadi bukti, karena tak ada ungkapan verbal yang sempat terucap. Malu.

Usiaku menginjak 17 tahun kala itu. Cewek canggung yang pemalu. Dan cowok tampan dan pintar itu begitu spesial bagiku, meski kami bersapa sekedarnya. Aku hanyalah pengagum rahasia, dengan segala keterbatasan yang kumiliki, kusimpan rapat-rapat isi hatiku. Hingga waktu membentang teramat jauh. Bahkan ingatanku sudah tersekat dengan beribu peristiwa, tetapi ingatan akan cinta pertama itu tetap terpatri.

*

“Piye Fan? Gak dapat ijin nih…”

“Gak dapat ijin apa gak ada duit?” bantahku.

“Ya, gak ada ijin karena gak ada duitkan?” Udin lagi.

“Kita tetep jalan.” Wiwik tegas.

“Yup, aku sepakat. Kita tetep jalan” aku menimpali.

“Kita keduluan OSIS. Kemarin Rizal ngajuin proposal untuk up grade calon pengurus.” Udin menyebut nama salah satu pengurus OSIS. Kecewa tak bisa disembunyikannya.

“Ah, keduluan atau tidak, kita memang sudah di takdirkan untuk mandiri. Tul gak ?”

“Hemm” aku mengangguk.

“Sebenarnya Rizal tahu kok, kita mo ngajuin proposal juga. Tapi ya, kalian tahu sendiri kekuatan mereka.”

“Rizal, Rizal yang mana sih? Dia pegang apa di OSIS?” aku tak begitu tahu satu persatu pengurus OSIS.

“Kabid SDM. Pake kacamata, putih, tinggi, masa gak kenal, salah satu cover boy yang cool abis…” jelas Wiwik.

Udin dan aku tersenyum.

“Wik, kalo kuper urusan cowok cakep, itu memang Fani orangnya. Mau tak kenalin Fan?” Udin konyol.

“Buat apa? Numpang keren karena udah kenal sama anak OSIS?” sinisku.

Entah apakah sebuah mitos yang benar, bahwa OSIS dan PALA gak pernah bisa akur. Bersaing meraih perhatian kepsek dan wakasek kesiswaan. Kegiatan rasanya hampir pasti bentur, atau lebih tepatnya, dibentur-benturkan. Dana yang lancar terkucur bagi mereka dan alot kalo keluar untuk kami. OSIS memang harum di kalangan siswa dan guru, identik dengan orang pinter, cakep dan terkenal.

Obrolan kami di depan kelasku itu berakhir dan menghasilkan kesepakatan bahwa pendakian akan tetap kami lakukan. Pendakian dalam rangka pengukuhan anggota baru. Program terakhir periode kepengurusan kami. Sebelum Kongres pergantian pengurus bulan depan.

Kami sudah kelas tiga, hingga saat ini, seangkatan kami yang eksis tinggal berlima. Aku, Wiwik, Udin, Robi dan Niko. Yang lainnya sudah pamit satu persatu tanpa berpikir regenerasi periode berikutnya. Seperti biasanya, alasan studi. Sudah kelas tiga, dengan bejibun jadwal les, pendalaman materi dan segala beban berat untuk anak kelas tiga SMA.

SMA kami SMA favorit, persaingan prestasi akademik sangat kental. Apakah ini juga mitos, bahwa anak IPA menjadi anak emas sekolah, sementara aku yang anak IPS menjadi kelas second. Apalagi julukan-julukan tertentu yang sering kami sandang karena ulah kami yang agak beda dengan siswa kelas tiga pada lazimnya.

Kelas tiga yang serius belajar, kelas tiga yang sudah berhenti guyon dan sekedar main kesana kemari. Semua itu tak berlaku bagi kelasku, IPS1. Dua pekan kemarin, kami sukses lompat jendela. Tak tersisa satu anakpun di kelas. Padahal masih ada dua jam terakhir. Jam milik guru ekonomi tercinta. Bapak Sarjono dengan kacamata tebalnya. Kami memilih menghambur ke twenty one. Ada Keanu reave dengan film terbarunya Speed. Resiko tanggung belakangan. Film menarik dengan aktor berkelas menjadi agenda yang lebih penting bagi kami.

Benar saja, esoknya, ketua kelas dipanggil wali kelas. Bapak Sapto yang sangat kami sayangi, tubuh ringkih yang berjalan lemah karena asma yang dideritanya. Kemarahan Pak Sapto bukan yang pertama, tapi kesabarannya bagi kami adalah bukti sayang beliau. Tidak ada vonis jelek dari mulutnya. Hanya nasehat diantara nafas pendek yang terengah, kalimat yang tak berintonasi tinggi. Kalau sudah begitu kami tunduk dan patuh. Sekelas mendatangi bapak Sarjono dan meminta maaf dengan selembar surat pernyataan, bahwa kami tak akan mengulangi lagi.

Kasus lain yaitu saat kegaduhan menjadi ‘jinggle’ tetap kelasku. Kali ini yang menjadi korban adalah bapak Hari, pengajar antropologi yang bertubuh kecil dan gendut. Cerita dan penjelasan lucunya sering membuat kami terbahak tanpa batas.

Saat itulah tanpa kami duga beliau tidak berkenan, mulut kami tak ada yang diam sampai waktu yang lama. Ribut sendiri. Lalu beliau mengambil penggaris segitiga dan memukulkan ke meja, untuk memberi perintah, bahwa kami harus diam.

Naasnya penggaris rapuh itu patah menjadi tiga bagian. Dan bisa ditebak apa yang terjadi, kami semua tertawa terbahak-bahak dengan apa yang kami lihat. Sejak itu beliau tak bersedia masuk ke kelas kami lagi. Lagi-lagi kami harus menandatangani surat pernyataan, kali ini harus dengan nama dan tanda tangan orangtua. Tapi dasar Bengal, nama dan tanda tangan orangtua hanya kami palsukan.

Tapi aku suka dengan kelasku. Kompak, solidaritasnya sangat tinggi. Dan yang membanggakan adalah, di kelas kami berkumpulrang-orang pinternya IPS, mereka masuk jurusan IPS bukan karena tak lulus seleksi ke kelas IPA, tapi karena memang IPS manded. Aku adalah salah satunya. Lebih tepatnya, IPS satu adalah IPS unggulan.

Ada Lulu teman semejaku yang juga rivalku merebut rangking satu. Nilai-nilai kami tak jauh berbeda. Bangku di belakangku ada Andi dan Tio, bahasa inggris mereka TOP BGT!! Ana dan Pita yang jago hitungan ekonometri. Gank pojok belakang yang hobi ngeband. Satria kacamata, hobi gambar dan sang bassis yang sekelas sama aku sejak kelas dua. Arif gendut sang penggebug drum, dilengkapiVenta, vokaliskriting yang bertubuh kecil.

“Duit kas masih berapa Fan?” Satria memburuku begitu aku masuk kembali ke kelas.

“Heh, dengerin ya. Sudah tidak ada anggaran untuk gambar! Duit yang ada buat konsumsi dan taman. Ok?”

Sekolah kami pekan depan Dies. Ada lomba dekorasi kelas dan taman plus syukuran.

“Nanggung Fan, naganya belum jadi. Belum bisa dilihat. Masa baru sayap sama kepalanya tok. Kayak naga habis diamputasi dong!” Satria mencoba melucu.

Salah siapa, kelas lain dekor kelas dengan kaligrafi, dengan pemandangan atau banyak yang memasang rumus-rumus fisika kebanggaan mereka. Tapi Satria?

Melukisi kelas kami dengan dominan warna merah hitam. Yaitu gambar hewan buas asal India bernama Naga!

“Bodo amat. “ ujarku cuek, membenahi buku-buku yang berserak di meja.

Bel pulang sudah sejak tadi, masih ada teknikal meeting di aula SMA buat pendakian sabtu besok.

“Met, gimana nih, Fani gak kasih?” senjata terakhir Satria, ngadu ke Memet sang ketua kelas.

“Kasih aja deh Fan, semua toh buat kelas kita.”

“Kamu tuh ya, konsisten dong! Kalo terus-terusan begini, bisa bangkrut.”

“Ya, ntar gampang lah. Cari lagi…”

“Oh gitu. Ya udah, Tak kasih semua ke kamu. Terserah, males aku.” Ku buka tas ranselku mencari dompetku.

“Jangan marah dong Bu bendahara…” Memet.

“Gak, ngapain marah? Tapi kalo kurang, kamu yang tanggungjawab ke temen-temen. Besok aku ndaki. Senen baru ke sekolah. Jadi sekalian aja, kasihin Ana yang ngurus konsumsi. Ok?” jelasku seraya mengangsurkan amplop putih dan buku catatan anggaran.

“Fan, thanks ya…” Satria berteriak riang.

“Hemm.” Dengusku sembari berjalan keluar kelas.

“Fan!” Satria berteriak lagi.

“Apa?”

“Boleh ikut naik gak?”

“Kamu? Gak salah?”

“Emang napa?”

“Kita naiknya malam, jalan setapaknya gelap, kanan kiri jurang. Dan gak mungkin kan, kamu jalan pake tongkat, trus aku yang nuntun tongkatmu?” ledekku atas minus empatnya.

Satria ngakak.

Kalo lagi ketawa begitu, biasanya matanya merem. So aku berjalan cepat meninggalkan dia. Kalo matanya membuka nanti, kupastikan aku sudah jauh dari tempatnya berdiri.

He…he…

“Hei Fan.” Nah, sudah sadar dia sekarang. Hik!

“Mataku tidak seburuk itu. Apalagi kalo kamu jalan di depanku, pasti lebih terang jalanku nanti” Seru Satria.

“Gombal!” balasku kejam, melanjutkan jalanku dan tak lagi pedulikan dia.

Satria memang begitu. Kami akrab sejak kelas dua.

Menyusuri koridor diantara taman rumput hijau. Berdiri pohon-pohon akasia yang berbunga kuning. Manusia berseragam abu-abu hampir habis. Hanya beberapa yang masih menyapu kelas, berjalan menuju gerbang keluar atau menuju parkir kendaraan.

Aula terletak tepat di depan lapangan basket. Dua orang anak sedang berebut bola warna merah itu. Aula tak terlalu besar, tapi multi fungsi. Anak-anak tari memanfaatkan untuk latihan. Kadang pelajaran olahraga juga menggunakan ruangan ini.

Kubuka gerendel pintunya. Sepi. Tak ada satupun orang di dalamnya. Pada ke mana anak-anak? Ada 42 peserta pendakian besok. Pasukan besar memang. Tapi ini bukan yang pertama, kami sudah terbiasa membawa anak-anak baru untuk mencintai alam. Kubuka daun jendela Aula lebar-lebar, mengusir hawa lembab. Di belakang Aula adalah areal parkir sekolah. Hanya tinggal beberapa motor terparkir di sana.

“Mau pake Aula?”

“Hmm? Apa?” reflek kubalikkan badan menuju sumber suara.

“Mau pake Aula?” ulangnya.

Seorang cowok tinggi, putih, berkacamata minus, apakah dia yang bernama Rizal? Dia berdiri di ambang pintu.

“Ya. Kenapa? OSIS mau pake?”

“Gak papa. Kita bisa di ruang kelas.” ada senyum datar di wajahnya. Pergi begitu saja dari hadapku.

Aneh. Benar-benar manusia aneh. Dia tahu aku anak PALA? Tanpa menyapa atau sekedar say hello? Karena kami tak saling kenal. Hanya satu kalimat pendek yang keluar dari mulutnya, tanpa basa basi apapun.

Hem…

Sekolah kami sekolah besar. Seangkatanku saja ada sepuluh kelas, kalau tiga angkatan, berarti 30 kelas. Masing-masing kelas tidak kurang dari empatpuluh siswa. Kurang lebih 1200 jumlah siswa di SMA ini.

Kurasa wajar jika aku tak mengenali satu persatu teman seangkatanku. Apalagi aku tak begitu suka bergosip tentang manusia-manusia cakep seantero SMA.

Dan Rizal? Cover boy yang cool abis?

Hemmm… diakah itu?

“Dueerrr!!!”

“Hek” aku terlonjak kaget.

“Hayoooo…? Terpesona ya? Ha..ha..ha..” Wiwik ngakak. Diam-diam dia datang dari belakangku.

“Apaan sih?”

“Namanya Muhammad Rizal Putrantama. Kelas 3 IPA 3. orangnya baik kok Fan, belum punya pacar loh, kayaknya belum pernah pacaran malah. Tapi kamu akan berkompetisi dengan banyak orang karena…”

”Hus! Kamu itu kenapa sih?”

“Sah-sah aja kok Fan, kamu suka sama dia. Gak ada yang nglarang, tapi Rizalnya itu loh, cool abis…”

“Emang kenapa?”

“Nah tertarikkan?” Wiwik menyedakku.

“Lah kamu cerita, mau kalo aku cuekkin?” pintar aku berapologi. Tapi jujur, ada rasa ingin tahu yang tanpa permisi menyebul ke otakku.

“Dia baik sama semua orang. Dua tahun aku sekelas dia. Beberapa kali sempat dekat sama cewek, tapi just friend. Tuh cewek pada patah hati deh…, gimana Fan?”

“Gimana apanya?”

“Yeah, sekali-kali Fan, kamu jatuh cinta. Biar normal! Ha…ha…”

“Ngawur! Aku ab normal gitu?” cercaku.

“Yah kalo usia remaja, kamu adem ayem terus. Apa dong namanya? Kayaknya kamu cocok sama dia, sama-sama cool abis! He..he…”

“Hem?”

“Mau aku salamin?”

“Ih, crazy!”

“Gak papa lagi Fan!”

“Udah, stop! Anak-anak pada kemana?”

*

“Jam berapa sekarang?”

“Hem? Ngomong sama saya?” tanyaku kaget.

Cowok cool itu lagi. Menyapaku? Di halte bis depan sekolah kami. Aku baru saja menemani adik-adik PALA sharing tentang PALA ke depan.

“Iya. Sekarang jam berapa?” senyum datar itu lagi.

Tak ada oranglain di sekitar kami.

Kulihat jam di pergelangan tanganku.

“Jam 5 lewat lima.” Sudah sore kan? Kamu dari mana? Nunggu siapa?

Ah andai aku bisa mengeluarkan kalimat-kalimat itu. Tapi mulut ini rapat terkunci. Dia masih berdiri di sebelahku, sesekali melihat jalan. Aku berharap bus yang kutunggu tak datang cepat, aku ingin disini. Aku ingin sekedar bersapa atau….

Aiih aku kenapa sih?

Gak! Aku gak mau kampungan!

Yup. Bis yang kutunggu datang. Kuhentikan dengan tangan kiriku.

“Duluan…” hanya itu yang keluar dari mulutku saat kakiku hendak melompat ke bis.

Sekali lagi dia berikan senyum datarnya.

Tak berkata apapun. Apakah kau mengenalku? Kita belum pernah berkenalan kan? Tapi seperti kata Wiwik, dia benar-benar cool. Dialah Rizal.

*

“Namanya juga accident, siapa yang mau?” kujajari langkah Wiwik, berjalan pelan menuju gerbang sekolah. Koridor penuh manusia berseragam abu-abu.

“Iya. Tapi kita kan yang berTGJB, wajarlah Kepsek negurnya kita.” Sahut Wiwik.

“Tapi ya gak adil, yang namanya accident itu out of control. Gak bisa dong, nyalahin gitu. Nanti berefek jelek untuk pengurus yang akan datang, perijinannya pasti lebih dipersulit. Kasihan mereka…” gumanku.

Kepala sekolah memanggil Wiwik dan Udin. Menganggap kami lancang, mengadakan acara tanpa ijin. Acara kemarin ada anak yang kemasukan jin. Sempat kejang lama, ditambah asmanya kambuh. Sampai sekarang tuh anak opname di Rumah sakit. Kalau semua itu tak terjadi aku yakin tak ada teguran.

“Aku juga ma Udin nebaknya itu bakal terjadi, kalo bener begitu, habislah PALA.” Wiwik menimpali.

”Bargaining posisi kita tidak sekuat OSIS.” Gumanku lagi.

“Kulihat, anak-anak pengurus PALA besok, kayaknya mau dibidik pengurus OSIS juga…”

“Iya? Baguslah…”

“Bagus?” Wiwik menghentikan langkah, tak percaya dengan kalimatku.

“Sebenarnya bisa kok, PALA dimasukkan salah satu bidang di OSIS. Lebih save juga.”

“Fan? Sejak kapan kamu berubah pikiran? Sejak ketemu Rizal?!” Wiwik tegas.

“Ha?! Apa hubungannya? Kamu tuh dari kemaren pikirannya Rizal melulu, sebel!” aku tak kalah tegas.

Semoga aktingku sempurna, aku tak ingin Wiwik tahu resah hatiku jika namanya kudengar.

“Aku Cuma ngrasa, PALA sekarang gak punya tempat di depan Kepsek. Mungkin PALA akan lebih save kalo di bawah OSIS. Asal sama-sama jalan, gitu!” jelasku lagi.

“Belum tentu juga. Kalau semua anak OSIS berpikiran kayak Rizal, mungkin harapan kamu bisa terjadi. Tapi di OSIS Cuma ada satu Rizal!”

“Kok Rizal lagi?! Gak Nyambung deh!” Aku mulai kesal.

“Kamu itu yang gak nyambung, semua orang ngakuin, Rizal itu gak sok, open sama ekstra diluar OSIS, jadi kalo usul kamu sampai ke dia, pasti dia menyambut baik, tapi gak jamin kalo sama anak OSIS yang lain, begitu loh maksudku. So, kamu jangan GR non, eh sekedar info, Rizal akhirnya jadian sama Dhanis!”

What? Dhanis?

Wiwik menangkap keterkejutanku.

“Ya kenapa emangnya kalo jadian?” pura-puraku.

“Yeah… boong lagi. Kamu tuh gengsian amat sih. Kamu kagetkan? Kalo gak percaya, ngaca deh!”

Ah Wiwik… dia terlalu pintar membaca hatiku…

“Aku kaget karena dulu kamu bilang, dia cool sama cewek, akhirnya Dhanis yang meluluhkan dia?” semoga wiwik percaya dengan alasanku.

Aku tahu Dhanis, cantik, tinggi, model local dan high class. Itukah pilihanmu Rizal?

“Sebenarnya Dhanisnya aja yang keganjenan, kamu tahu Dhanis kan? Aku sih nebaknya, Rizal nrima tembakan Dhanis karena gak ingin nyakitin hatinya.”

Jadi bukan Rizal yang memulaikan? Ada lega dilorong hatiku. Lega? Lega Kenapa? Karena belum tentu Rizal memiliki perasaan istimewa pada Dhanis? Kurasa Dhanis bukan pilihan tepat untuk Rizal.

Olala… apa peduliku?

Kenapa aku jadi kacau begini?

“Ssst… panjang umur ya…” Wiwik setengah berbisik. Kepalanya menengok ke depan kami. Cukup jauh di depan kami.

Mereka berjalan bersama, tertawa dan bercanda. Ya… Rizal dan Dhanis. Tiba-tiba kurasa remuk. Ingin segera terbang tinggi, jauh dan jauh. Tak ingin melihat mereka, sangat tak ingin. Cemburu Fan…?!

“Fani Aku sayang kamuuuu…..!”

Gleg. Aku dan Wiwik reflek menghentikan langkah.

Menoleh ke sumber suara.Seketika mukaku merah padam. Mungkin mulutku nganga dan bulat terbengong. Teriakan itu…?

“Fan… Satria…?! Ha…ha…ha” Wiwik ngakak.

Adukan rasa jengkel, malu dan ingin menelan Satria bulat-bulat. Ngapain coba dia berulah begitu? Dalam lunglaiku, aku sempat menangkap wajah Satria jauh di belakangku. Nyengir kuda, tanpa rasa bersalah. Teriakannya yang kuyakin di dengar semua orang yang tengah berjalan keluar dari gerbang sekolah.

“Dasar gila!” kecamku.

“Hebat ya…?” ujar Wiwik masih menahan tawa.

Semua orang melihat kearah kami. Sempurna sudah gado-gado rasa di hatiku. Sedih, luka, malu, jengkel.

Blam!

Ingin rasanya tenggelam!!  (TO BE CONTINUE)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun