Di tengah hiruk-pikuk Kota Bogor yang terus tumbuh sebagai pusat pendidikan, perdagangan, dan pergerakan sosial, terselip satu titik sejuk bernama Masjid Alumni IPB. Berdiri strategis dekat stasiun dan menjadi titik temu berbagai kalangan, masjid ini tidak hanya menjadi tempat ibadah, namun juga pusat pemberdayaan sosial berbasis zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Ziswaf).
Menghidupkan Zakat dan Sedekah di Lingkar Terdekat
Sejak lama, masjid ini menjadi rujukan bantuan sosial oleh lembaga-lembaga resmi seperti Baznas, terutama bagi masyarakat sekitar yang membutuhkan, seperti mualaf, korban kehilangan, hingga dhuafa. Namun, kendala justru muncul ketika banyak lembaga pusat hanya menyalurkan sebagian kecil dana ke masjid ini, padahal kebutuhan di lapangan sangat besar. Di bulan Ramadan, misalnya, antrian penerima zakat membludak. Dengan keterbatasan dana dan sumber daya, distribusi zakat hanya mampu menjangkau desa-desa terdekat.
Meski begitu, masjid ini tidak tinggal diam. Melalui Baitul Maal, lembaga ini merancang program sosial berkelanjutan yang lahir dari empati dan semangat gotong royong. Salah satunya adalah pembinaan terhadap warga RT di daerah Tamansari, yang awalnya dikenal lewat berita pilu tentang warga yang mencuri tabung gas karena kelaparan. Sejak itu, bantuan dari alumni IPB dan donatur rutin disalurkan setiap Jumat. Namun hal yang paling membanggakan adalah, ketika kondisi mereka mulai membaik, warga dengan penuh harga diri memilih untuk berhenti menerima bantuan dan mulai mandiri.
Kredit Mikro Berbasis Qardhul Hasan
Dari inspirasi itulah, Baitul Maal mulai memberikan pembiayaan mikro tanpa bunga (qardhul hasan) untuk ibu-ibu yang ingin berjualan kue, hingga bantuan modal kepada pengemudi ojek daring komunitas "Speed" untuk reparasi motor. Bahkan seorang penjual sayur pun diberi sepeda untuk menopang usahanya. Program ini dijalankan dengan prinsip tanggung jawab bersama: misalnya, dalam pinjaman kepada komunitas ojol, ketua komunitas bertindak sebagai penjamin yang mengumpulkan angsuran dari anggotanya secara kolektif.
Dari yang awalnya hanya mengelola dana sebesar Rp15 juta, kini Baitul Maal telah menyalurkan hampir Rp300 juta untuk berbagai kebutuhan sosial dan pemberdayaan. Donasi masyarakat pun terus meningkat, dari Rp200 ribu per bulan menjadi Rp2 juta per bulan, menjadi sebuah bukti kepercayaan yang tumbuh subur di akar masyarakat.
Wakaf: Antara Harapan dan Keterbatasan
Berbeda dengan zakat dan sedekah yang sudah berjalan baik, program wakaf di masjid ini masih menghadapi tantangan. Hingga kini, wakaf yang diterima hanya terbatas pada mushaf dan buku-buku islami, yang langsung disalurkan tanpa dokumentasi administratif. Wakaf dalam bentuk tanah, uang, atau aset produktif masih menjadi cita-cita yang belum terwujud.
Salah satu hambatannya adalah ketiadaan nazhir bersertifikat yang bisa fokus mengelola wakaf secara profesional. Harapan besar agar pengelola berasal dari alumni IPB menambah tantangan tersendiri, mengingat sebagian besar alumni masih aktif bekerja dan belum bisa terlibat penuh waktu. Padahal, visi besar telah disusun: membentuk wakaf produktif dalam bentuk lahan pertanian, ternak, atau pangan yang dikelola bersama fakultas dan alumni IPB.
Meski demikian, langkah kecil telah dimulai. Bibit cabai disedekahkan sebagai bentuk sedekah produktif, dan kolaborasi dengan Fakultas Peternakan untuk program kurban juga menunjukkan arah yang jelas untuk pengembangan wakaf produktif di masa mendatang.