Angin pagi menyapu dedaunan di desa kecil di pinggir hutan. Aroma tanah basah setelah hujan semalam masih tersisa, menenangkan hati yang gelisah. Namun, ketenangan itu segera lenyap saat suara derap kaki penjajah Belanda mengguncang jalan berbatu. Â
Di depan balai desa, seorang pemuda dengan pakaian sederhana berdiri tegap. Namanya Suryo, seorang lelaki yang dikenal pemberani dan memiliki semangat untuk mengusir penjajah. Hari itu, ia dipanggil untuk menghadap kepala desa yang dipaksa bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Â
"Suryo, bukankah kamu sudah tau apa yang akan terjadi jika kita melawan Belanda?" Kepala desa, Pak Katmijo, berbicara dengan nada berat. "Mereka tidak akan segan-segan menghukum siapapun, mereka kejam." Â
"Saya tidak takut, Pak. Kalau kita terus diam dan menunduk, tanah ini akan mereka rebut, ini tanah kita. Apa, bapak mau terus menjadi budak di tanah sendiri?" Â
Pak Katmijo menarik napas panjang. Ia tahu semangat pemuda itu, tapi ia juga tahu bahaya yang menanti. "Hati-hati, jangan biarkan emosimu membawamu ke sesuatu yang tidak benar." Â
Namun, nasihat itu tak mampu meredam keberanian Suryo. Dalam beberapa bulan terakhir, ia diam-diam bekerja sama dengan para pemuda desa untuk menolak pengambilan paksa hasil panen dan menentang kerja rodi di jalan raya yang sedang dibangun. Perlawanan kecil itu lambat laun menarik perhatian pemerintah kolonial. Â
Di tengah heningnya malam, saat bulan mengintip di balik awan, suara ketukan keras di pintu rumah Suryo membangunkan keluarganya. Empat tentara Belanda berdiri di depan pintu, berseragam dan membawa senjata. Â
"we hebben de rebellen gevonden!" seru salah satu dari mereka sambil menarik Suryo keluar dengan kasar. Â
Ibu Suryo menangis, memohon agar anaknya dilepaskan. "Tolong, dia tidak bersalah! Dia hanya ingin kebebasan di tanah miliknya!" Â
Namun, permohonannya tak digubris. Suryo dibawa dengan kereta menuju penjara kota, sebuah bangunan kokoh yang dikelilingi pagar besi. Â
Di dalam penjara, Suryo bertemu dengan puluhan tahanan lain. Beberapa adalah petani yang menolak menyerahkan hasil panen, sementara yang lain adalah guru dan tokoh masyarakat yang dianggap menghasut. Mereka semua memiliki satu kesamaan, yaitu semangat untuk merdeka. Â