Perceraian adalah momok yang menakutkan  dalam sebuah pernikahan. Baik oleh isteri maupun suami. Berapa banyak wanita sampai senewen dan mati kering gara-gara stress pasca bercerai.
Kaum pria pun demikian. Tidak sedikit pula mereka yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, karena digugat cerai oleh isterinya. Belum lagi dampak negatifnya terhadap anak-anak.Â
Anehnya, perceraian tetap  saja menjadi pilihan bagi sebagian suami isteri yang sedang berkonflik. Kadang-kadang hanya gara-gara masalah sepele.Â
Banyak sumber mewartakan, selama pandemi Covid-19, total perceraian di seluruh Indonesia mengalami peningkatan. Rata-rata pemicunya masalah ekonomi.
Kasian. Kesulitan hidup yang seharusnya digotong bersama, mereka malah bercerai.
Begitu rapuhnya cinta dan kasih sayang dalam sebuah pernikahan. Hanya tersebab kesulitan ekonomi, rumah tangga yang telah dibina dengan susah payah, tiba-tiba ambruk.
Menikah itu tidak hanya sekadar berikrar untuk sehidup semati. Lebih penting adalah menyatukan komitmen antara dua insan berlainan jenis. Senang dan susah  akan ditanggung bersama.
Problem ekonomi itu sekecil rambut dibelah tujuh. Asalkan mau berusaha, Â rezeji sudah ada yang ngatur. Ketika lahir, manusia juga tiada membawa apa-apa. Kasian pihak yang belum siap bercerai (tergugat).
Kecuali alasan konflik berkepanjangan. Pisah ranjang sudah, mediasi  telah berulang kali. Namun benang kusut tak kunjung ketemu ujung pangkalnya. Hingga membuat salah satu pihak menderita puluhan tahun.
Dalam kasus seperti ini yang sering tersakiti adalah pihak perempuan. Laki-laki, apabila merasa tidak cocok dia segera banting setir.
Bu Jamilah bukan nama sebenarnya. Perempuan 60 tahun ini mengikhlaskan biduk rumah tangganya karam setelah bertahan selama 41 tahun.