Alhamdulillah, saya terlahir dengan organ tubuh lengkap luar dan dalam. Meskipun dalam bentuk dan ukuran yang minimalis alias jauh dari sempurna.
Waktu Sekolah Rakyat, saya sering dibully teman sebaya. Wajah saya alakadarnya, tubuh kurus kering, kulit hitam, rambut lurus dan tipis. Sehingga ada yang memanggil saya “kancil kerdil”.
Sedih? Sudah pasti iya. Malah minder akut. Puncaknya semasa menempuh pendidikan di PGA 4 tahun (setingkat SMP).
Masa fubertas yang seharusnya dinikmati dengan ceria, harus terkoyak oleh luka bathin yang menyakitkan.
Sering saya berdiri di depan cermin sambil berpikir, hidup ini tidak adil. Dunia hanya milik orang bertubuh normal (baca: tidak kerdil) dan berparas cantik.
Giliran praktik olahraga, service bola voli tak mampu melewati net. Lempar lembing , tolak peluru, tak pernah sampai sasaran. Lagi-lagi saya jadi bahan olok-olokan.
Beruntung, perlakuan mereka terbayar di dalam kelas. Saya unggul pada mata pelajaran lain yang sulit terkalahkan oleh siswa kebanyakan.
Maaf, bukan pamer kelebihan. Itu dahulu. Kini, menghitung 4x5 saja butuh waktu beberapa menit. Nama sendiri pun hampir luput dari ingatan. He he ...
Yang membesarkan hati, di sekolah saya punya banyak teman perempuan. Mereka nyaris tak pernah menjahati saya. Sayang, gadis-gadis rupawan yang mulai mekar tersebut berguguran di sepanjang tahun karena dijemput jodoh.
Begitu juga anak cowok. Entah alasan menikah, membantu orangtua, atau barangkali mulai belajar nyari duit, saya tak tahu. Yang pasti, satu persatu mereka lenyap bak ditelan bumi.
Padahal, awal masuk kelas 1 (PGA 4 tahun) jumlah kami 60-an (pria/wanita). Berlanjut dan sampai lulus SLTA kami berempat. Saya satu-satunya perempuan.