Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Inilah Rahasia di Balik Wajah Minimalis yang Belum Banyak Orang Tahu

5 Agustus 2020   07:13 Diperbarui: 6 Agustus 2020   12:07 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alhamdulillah,  saya terlahir dengan organ tubuh lengkap luar dan dalam. Meskipun dalam bentuk dan ukuran yang minimalis alias jauh dari sempurna.

Waktu Sekolah Rakyat, saya sering dibully teman sebaya. Wajah saya alakadarnya, tubuh kurus kering,  kulit hitam,  rambut lurus dan tipis.  Sehingga ada yang memanggil saya “kancil kerdil”.

Sedih? Sudah pasti iya. Malah minder akut. Puncaknya semasa menempuh pendidikan di PGA  4 tahun (setingkat  SMP). 

Masa fubertas yang seharusnya dinikmati dengan ceria, harus  terkoyak oleh  luka bathin yang menyakitkan.

Sering saya berdiri di depan cermin sambil berpikir, hidup ini tidak adil. Dunia hanya milik orang bertubuh normal (baca: tidak kerdil) dan berparas cantik.

Giliran praktik olahraga, service bola voli tak mampu melewati net.  Lempar lembing , tolak peluru, tak pernah sampai sasaran. Lagi-lagi  saya jadi bahan olok-olokan.

Beruntung, perlakuan mereka  terbayar di dalam kelas.  Saya unggul pada mata pelajaran lain yang sulit terkalahkan oleh siswa kebanyakan.

Maaf, bukan pamer kelebihan. Itu dahulu. Kini, menghitung 4x5 saja butuh waktu beberapa menit. Nama sendiri pun hampir luput dari ingatan. He he ...

Yang membesarkan hati, di sekolah saya punya banyak teman perempuan.  Mereka nyaris tak pernah menjahati saya. Sayang,  gadis-gadis rupawan yang mulai mekar tersebut berguguran di sepanjang tahun karena dijemput jodoh. 

Begitu juga anak cowok. Entah alasan menikah, membantu orangtua, atau barangkali mulai belajar nyari duit, saya tak tahu. Yang pasti, satu persatu mereka lenyap  bak ditelan bumi. 

Padahal, awal masuk kelas 1 (PGA 4 tahun)  jumlah kami 60-an (pria/wanita).  Berlanjut dan sampai lulus SLTA kami berempat. Saya satu-satunya perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun