Bagaikan  anak panah mencabik jatungku, saat kau kabarkan hari  bahagiamu. Buliran panas meleleh di pipiku. Sedu sedan tak sanggup kutahan.  Kakiku berat melangkah, ingin berjalan tak tentu arah.
Matamu basah. Kau benamkan tubuhku di pelukanmu. Jemarimu membelai hangat rambutku. Kau ikrarkan untaian janji sakti,
"Jangan menangis. Aku mencintaimu sepenuh jiwa. Setulus hujan menyirami bumi, sejujur langit membirukan laut. Menua bersamamu, mengajarkan anak cucu kita arti sebuah kehidupan dan pengorbanan.
"Pernikahan ini darma baktiku kepada bunda tercinta. Sang pembawa kendi minuman syurgawi,  titipan Ilahi Rabbil Izzati. Tegukan yang mengantarkan aku bertumbuh, dewasa, ditakdirkan  bersamamu belajar mengenal  cinta.
"Bangunlah. Hapus air matamu. Tatap kedua netraku. Dampingi aku menantang gelombang, temani aku melawan badai," pintamu.
Aku tersimpuh layu. Demi kamu, demi benih cinta suci kita yang kau semai di taman rahman  rahimku,  aku rela melakukannya. Menjadi orang ke tiga di samping kursi pelaminanmu. Aku pasrah dalam ketidakberdayaan. Namun, hati ini  meratap pilu kau memadu kasih di pondok mertuamu.
Kini aku menyadari  cinta kita bersemi  dan ranum  di kebun antagonis antara dua kutub. Kau berdarah biru, aku anak kuli angkat batu.
****