Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Jangankan "New Normal", Covid-19 pun Ada yang Belum Tahu

3 Juni 2020   06:34 Diperbarui: 4 Juni 2020   22:33 2661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasar Pagi Tanjung Tanah. Di antara sekian banyaknya pengunjung hanya 3 orang yang mengenakan masker. Foto NURSINI RAIS

Sudah 3 bulan lebih Perisiden RI Joko Widodo mengumumkan bahwa 2 warga Indonesia terjangkit Covid-19. Selama itu pula Rakyat Indonesia hidup dibayang-bayangi Virus Corona.

Dampaknya, tatanan sosial porak poranda, perekonomian hancur berantakan, ribuan nyawa melayang, dan kerugian lainnya tak bisa disebutkan satu-persatu.

Untuk mencegah penularannya pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Mulai menggencarkan social distancing, physical distancing, WFH, sampai menerapkan PSBB untuk beberapa daerah.

Biaya yang digelontorkan ratusan triliun rupiah. Petugas lelah, masyarakat susah. Terutama di daerah episentrum. Namun belum ada tanda-tanda makhluk yang mengerikan ini akan berakhir. Bahkan dari hari ke hari jumlah individu yang terpapar selalu meningkat, angka kematian terus bertambah.

Belakangan muncul rencana pemerintah memberlakukan pola hidup normal gaya baru atau new normal, yang katanya beradaptasi dengan kebiasaan baru, di tengah gempuran musuh tak berwujud tersebut.

Apapun istilahnya mau PSBB, mau new normal, buat kami yang tinggal di pedesaan tiada efek apa-apa. Khususnya bagi penduduk wilayah Danau Kerinci dan sekitarnya.

Sebelum dicetuskan ide new normal pun, masyarakatnya sudah beradaptasi duluan. Tetapi adaptasinya cendrung "kembali ke kebiasaan lama". Hal ini terlihat dari tabiat masyarakat tidak begitu peduli lagi dengan isu Covid 19 ini.

Kondisinya jauh beda dengan pertama menghangatnya isu Corona merebak. Sebagaian mereka mematuhi himbauan tinggal #DiRumahAja. 

Anak sekolahan belajar di rumah, karyawan ngantor dari rumah. Kecuali petani dan nelayan. Sehingga jalanan desa tampak sepi. Tanpa ampun, para relawan menutup paksa beberapa pasar tradisional berskala desa.

Sekarang anak-anak sudah mulai berani bermain di luar rumah. Ikut orangtuanya mundar mandir naik motor. Tanpa menggunakan masker. Walaupun tidak terlalu leluasa seperti sebelum Corona.

Sarana prasarana yang disiapkan pemerintah desa untuk memutuskan mata rantai penularan Covid 19 sudah tidak berfungsi lagi.

Galon dan ember air pencuci tangan yang biasanya ditempatkan di depan-depan warung, di rumah pribadi (pada beberapa desa), kini sudah lenyap dari permukaan. Mungkin saat mereka memindahkan peralatan tersebut ada yang berucap, "Cukup sekian. Tengkiyu Corona." He he....

Salat berjamaah 5 waktu di Masjid tak pernah alpa. Pasar pagi dan pasar sore tetap beroperasi. Malahan bertambah ramai.

Pada kedua tempat ini kerumunan manusia berlangsung masif. Tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Singkat kata, seakan-akan masyarakat menganggap bahwa Virus Corona tidak pernah ada.

Terkait situasi ini, rakyat tak bisa disalahkan 100%. Bukan berarti pula tindakan mereka benar. Setahu saya, memasuki bulan ke 4 Covid-19 mewabah di Indonesia, belum terlihat upaya resmi dari pemerintah daerah setempat untuk mengedukasi masyarakat, tentang apa itu Corona, apa pula bahayanya terhadap kesehatan.

Sebagian masyarakat memperoleh informasi dari mulut ke mulut. Lainnya dari media televisi dan internet. Apa iya, seluruh rakyatnya ini melek teknologi? Dan semua daerah memiliki jaringan komunikasi yang memadai?

Jangankan new normal, warga yang belum tahu Virus Corona pun masih ada. Karena hari-hari mereka bergelut dengan urusan suap masing-masing. Pergi pagi pulang sore.

April yang lalu, datang petugas dari desa menyemprot disinfektan ke rumah-rumah penduduk. Begitu pintu dibuka, dia langsung psyiiiit...., semprotannya memancar ke pintu dan lantai sekitarnya. Paling 3 detik, kemudian berlanjut ke rumah berikutnya.

Seminggu kemudian giliran petugas dari RT. Malah lebih kental nuansa "asalannya". Setelah melewati pintu pagar, mereka langsung psyiiiittt ..., pancarannya mengena kursi di teras depan. Durasinya kurang lebih sama dari semburan sebelumnya.

Syukurlah, Kabupaten Kerinci dan provinsi Jambi umumnya, masih termasuk zona aman. Saat artikel ini ditulis, pemerintah daerah yang berada di punggung pulau Sumatera ini mencatat, seminggu terakhir kasus Covid-19 nihil (kumparan.com 1/6/2020). Dengan jumlah terinfeksi 97 orang, sembuh 15, dalam perawatan 82 dengan 0 kematian.

Padahal, Jambi dikepung oleh dua zona lumayan parah dan telah menerapkan PSBB. Dari arah timur dibayang-bayangi oleh Sumatera Selatan (urut ke 6, jumlah kasus positif per hari kemarin 1.019). Bagian barat (Kerinci) berbatasan langsung dengan Sumatera Barat (posisi ke 11, dengan 574 kasus).

Ini adalah Rahmatan lil alamin bagi masyarakat Jambi yang tidak bisa dinilai dengan apapun.

Beginilah kondisi masyarakat di sekitar saya bersosialisasi di tengah isu Corona. Saya yakin, new normal tidak akan ngefek apa-apa terhadap masyarakat Danau Kerinci dan Kabupaten Kerinci umumnya, tanpa dibarengi kerja keras semua pihak.****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun