Ada seorang tani, bangun pagi-pagi. Makan rebus ubi, seteguk air kopi
Lirik lagu yang biasa dinyanyikan anak SD  ini  menggambarkan kehidupan masyarakat tani di pedesaan, yang selalu identik dengan kekumalan.
Hujan dan panas, mencangkul dan memanggul, peluh bercucuran di sekujur tubuh, sudah merupakan air mandi mereka sehari-hari. Tak mungkin mampu dilakukan oleh orang yang lahir dan dibesarkan di perkotaan. Â
Namun, menjadi petani dan bersahabat dengan alam pedesaan, memberikan nuansa tersendiri bagi penduduknya. Dari lahir mereka ditempa manjadi pribadi tegar dan tahan banting.
Pertengahan Maret lalu, saya pernah memaparkan bagaimana sebagian warga desa mamanfaatkan sumber daya alam pada musim kemarau. Detailnya klik di sini.
Kali ini saya mengajak kompasianers dan pembaca semua mengintip kegiatan salah satu keluarga petani di Desa Simpang Empat Danau Kerinci, Â pada musim panen. Â
Habis jalan pagi, saya sering ketemu  mereka buru-buru menyeret motor butut keluar dari pekarangan rumahnya, terus berangkat ke sawah dengan pakain kerja. Kadang-kadang  satu motor berdua,  sesekali  pakai kendaraan masing-masing.
Pagi kemarin, SI keluar dari pintu pagarnya terus berpapasan dengan saya. Lagi-lagi dia tergesa-gesa. Â Saya bertanya, "Suamimu mana?"
"Pergi duluaan Bu. Saya berangkat diam-diam. Selagi si kecil (3) belum bangun. Biar dia tidak nangis minta ikut. Supaya tidak bising, menyalakan  motor  terpaksa  saya dorong agak jauh," bisiknya sambil menyeret motor bebek miliknya.
Saya bergumam,"Ternyata itu alasannya mereka selalu tergopoh-gopoh  seperti  ada yang mengejar."Â
"Diajak saja. Kan bisa tuh, naik honda,"
Saya ikuti dia menuju warung penjual bensin. Di sela-sela itu saya mengajaknya berbincang tentang suka-dukanya  sebagai tukang panen.
"Enaknya, memanen  upahnya sistem borongan. Dihitung per karung. Prosesnya, nyabit, ngmpeh (merontok manual), dan ngantar. Pokoknya pemilik sawah terima gabah sampai di rumah,"  jelasnya.
"Dukanya?"
"Ya, seperti sekarang.  Kerja di tengah paneh ahak (panas terik). Hangatnya minta ampun. Kulit serasa hangus  terpanggang," tambahnya.
 "Tak puasakah."
"Daripada nganggur  menjelang padi kami masak. Ibu tengok sendiri, tanggung jawab kami berat. Si sulung yang cewek itu  kelas 1 SMK. Sekarang enak, lagi libur corona.
"Hari biasa setiap ke sekolah butuh bensin dan uang  ala kadarnya. Tetapi dia bawa bekal, jarang jajan. Duit  ditabungnya  untuk keperluan sekolah. Buat ongkos praktik dan lain-lain. Bahkan dengan sisa tabungannya dia bisa beli sepatu sendiri.
 "Adiknya yang cowok itu kelas 2 SMP  belum banyak belanja. Ke sekolah jalan kaki. Pagi saya kasih dia makan nasi," jelasnya.
 Ibu 3 anak itu mengaku, dari hasil dia dan suaminya memanen, rata-rata  per hari  dapat Rp 400 ribu. "Gawe lain gajinya kecil. Tergantung jumlah jam kerja." katanya.
Saya tak sanggup membayangkan, betapa tersiksanya  beraktivitas di sawah, berpuasa, di tengah panas yang memanggang.  Yang paling menguras energi,  memanggul padi  dari lokasi ke pinggir jalan raya. Kemudian diantar ke alamat  pakai motor.  Tetapi demi perut anak keluarga, pahlawan pangan tersebut menjalaninya dengan ikhlas.
Saya salut dengan pasangan ini. Walaupun penghasilannya tidak pasti, pendidikan anak-anaknya lancar, rumah tangganya kelihatan damai-damai saja.Â
Selama kami bertetangga, sepengetahuan saya suaminya jarang  nganggur. Habis  musim sawah, minimal ke danau mencari ikan, nangkap belut di sawah. Sesekali bongkar muat ayam potong milik tetangga.
Demikian sekilas gambaran kehidupan masyarakat pedesaan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Saya yakin tak akan ada kompasianers yang sanggup menjalaninya.
Salam dari Pinggir Danau Kerinci. Â
****