Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mau Tinggal di Kota atau di Desa? Pahami Dulu Problem Ini!

14 Maret 2020   07:18 Diperbarui: 14 Maret 2020   11:36 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantomimer menghampiri mobil. Dokumentasi pribadi

Setiap individu punya kemampuan dan cara berbeda dalam memenuhi  kebutuhan hidupnya. Sesuai dengan potensi  diri, pola pikir dan lingkungan sosialnya masing-masing. Masyarakat perkotaan yang cenderung lengket dengan gaya hidup glamor, tidak sama dengan orang desa dalam berupaya memperoleh penghasilan.

Tak percaya? Perhatikan 2 kisah berikut ini!

Baru-baru ini, di salah satu pertigaan di kota Jambi, saya mengamati sesosok makhluk bertelanjang dada  berdiri kaku di panas terik yang memanggang. Tubuhnya berlumur krim warna emas.

Begitu lampu merah menyala, dia bergerak dengan gaya khas pantomim-nya. Terus menghampiri mobil yang berhenti di hadapannya satu persatu seraya menadahkan sebuah kardus kecil. Karena aksennya yang lucu dan ramah, tidak ada pemilik mobil yang menolak memberikannya uang.

Saya sempat menghitung,  sekali lampu merah menyala dia dapat nyamperin 4 mobil. Jika rata-rata driver ngasih Rp 2 ribu, dikalikan 10 atau 20 mobil perhari,  hasilnya lumayan.

Pantomimer sedang beraksi di Kota Jambi. Dokumentasi pribadi.
Pantomimer sedang beraksi di Kota Jambi. Dokumentasi pribadi.
Pada kesempatan lain sering pula saya temui pemandangan menarik di desa X. Musim kemarau, air sungai, dan rawa banyak yang kering. Momen tersebut dimanfaatkan oleh warga  setempat untuk menangkap ikan. Bapak-bapak menggunakan jaring, kaum ibu pakai tangguk.

Sebagian beliau-beliau ini ada pula  yang memungut siput kuning, yang biasa dimanfaatkan untuk pakan ayam dan bebek. Perolehannya akan mereka jual pada peternak. 

Sekilas terlihat, pekerjaan begini  sangat berisiko. Tertusuk ranjau, digigit lintah sampai dipatuk ular. Belum lagi berkubang dengan tanah kotor  berlumpur yang berpotensi mengandung kuman penyakit. 

Demi perut anak dan keluarga, mereka tak pernah memikirkan hal terburuk yang mungkin membahayakan keselamatan dirinya.   

Usai menangguk, hari beranjak sore. Saatnya mereka duduk santai sambil menjual hasil tangkapannya di pinggir jalan raya tak jauh dari lokasi. Tepatnya di ujung barat Jembatan Layang Kerinduan Kota Sungai Penuh.

Ternyata selain pandai menangkap ikan, para petarung kehidupan ini pintar juga jadi marketing. Tetapi yang tampak hanya kaum hawanya saja. Golongan adamnya, entah mereka bawa ke mana hasil tangkapannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun