Setiap individu punya kemampuan dan cara berbeda dalam memenuhi  kebutuhan hidupnya. Sesuai dengan potensi  diri, pola pikir dan lingkungan sosialnya masing-masing. Masyarakat perkotaan yang cenderung lengket dengan gaya hidup glamor, tidak sama dengan orang desa dalam berupaya memperoleh penghasilan.
Tak percaya? Perhatikan 2 kisah berikut ini!
Baru-baru ini, di salah satu pertigaan di kota Jambi, saya mengamati sesosok makhluk bertelanjang dada  berdiri kaku di panas terik yang memanggang. Tubuhnya berlumur krim warna emas.
Begitu lampu merah menyala, dia bergerak dengan gaya khas pantomim-nya. Terus menghampiri mobil yang berhenti di hadapannya satu persatu seraya menadahkan sebuah kardus kecil. Karena aksennya yang lucu dan ramah, tidak ada pemilik mobil yang menolak memberikannya uang.
Saya sempat menghitung, Â sekali lampu merah menyala dia dapat nyamperin 4 mobil. Jika rata-rata driver ngasih Rp 2 ribu, dikalikan 10 atau 20 mobil perhari, Â hasilnya lumayan.
Sebagian beliau-beliau ini ada pula  yang memungut siput kuning, yang biasa dimanfaatkan untuk pakan ayam dan bebek. Perolehannya akan mereka jual pada peternak.Â
Sekilas terlihat, pekerjaan begini  sangat berisiko. Tertusuk ranjau, digigit lintah sampai dipatuk ular. Belum lagi berkubang dengan tanah kotor  berlumpur yang berpotensi mengandung kuman penyakit.Â
Demi perut anak dan keluarga, mereka tak pernah memikirkan hal terburuk yang mungkin membahayakan keselamatan dirinya. Â Â
Usai menangguk, hari beranjak sore. Saatnya mereka duduk santai sambil menjual hasil tangkapannya di pinggir jalan raya tak jauh dari lokasi. Tepatnya di ujung barat Jembatan Layang Kerinduan Kota Sungai Penuh.
Ternyata selain pandai menangkap ikan, para petarung kehidupan ini pintar juga jadi marketing. Tetapi yang tampak hanya kaum hawanya saja. Golongan adamnya, entah mereka bawa ke mana hasil tangkapannya.