Diakui atau tidak, cucuran keringat TKI Malaysia telah membawa perbaikan dalam perekonomian sebagian rakyat pedesaan. Khususnya masyarakat desa-desa di sekitar saya berdomisili sekarang.
Saya masuk ke rantau ini November 1977. Saat itu kehidupan rakyat hanya mengandalkan turun ke sawah sekali  setahun. Maklum, petani kampung belum mengenal pupuk dan bibit unggul.
Tahun 1979, satu persatu warga setempat mengadu peruntungan ke Malaysia. Dari anak gadis, anak bujang, sampai ke duda, janda muda dan tua. Banyak juga suami meninggalkan keluarga. Yang memboyong anak isteri pun tidak sedikit.
Untuk sampai ke Malaysia para imigran tersebut menempuh perjuangan berat yang luar biasa. Umumnya mereka tidak dilengkapi dokumen yang syah.
Dengan membayar sejumlah uang, para petualang tersebut dibawa ke daerah Riau melalui oknum yang disebut tekong.
Berikut kisah dari pelaku dan saksi hidup yang saya wawancarai dua  hari lalu. Beliau adalah Ibu Nurlela, mantan TKI ilegal yang sekarang menetap di kampung karena sudah unzur.
 "Pertama saya ke Malysia tahun 1993.  Dari Pekanbaru kami 28 0rang numpang kapal sayur ke Tanjung Samak, Kepulauan Meranti Riau," katanya membuka pembicaraan. "Di sana rombongan ditampung di rumah bos, (tekong ke dua, red). Bergabung dengan puluhan calon penyelundup dari berbagai daerah, menunggu situasi aman dari mata-mata petugas," tambahnya. Â
"Sebulan kemudian baru diberangkatkan. Ini perjuangan hidup-hidup mati, Bu," kata nenek 74 tahun itu. Â "Habis Maghrib naik kapal dari Tanjung Samak. Saya kira langsung diantar ke Malaysia. Ternyata tidak. Â
"Pukul 03 dini hari kami disinggahkan di sebuah pulau kecil tak berpenghuni. Tetapi seluruh penumpang turun jauh sebelum sampai ke daratan. Kemudian ramai-ramai berenang dengan pakain di badan. Barang bawaan dijujung di kepala. Anak kecil digendong orangtuanya. Entah berapa puluh meter jaraknya dari bibir pantai saya tak ingat lagi. Kedalaman airnya sebatas dada," kenangnya.
 "Pagi temaram, kami dijemput  dengan speed boat. Sampai di sebuah pantai, jalan kaki lagi kira-kira 2 km melewati semak-semak, menuju rumah tekong ke 3.

"Entahlah. Saya tidak ingat lagi nama kampungnya. Pemilik rumah ngomongnya Bahasa Melayu Malaysia. Disana kami nginap lagi dua minggu, sebelum akhirnya diantar ke Kajang. Naik truk penuh sesak. Â
"Syukur kami selamat sampai ke alamat. Tak jarang setelah membayar pada tekong, terjaring razia. Terus dipulangkan ke kampung halaman. Kalau tak mau kepalang basah, jalan satu-satunya berunding dengan petugas.
"Zaman saya dulu, kalau ditangkap aparat dalam negeri insyaallah bisa berdamai. Tergantung  pintar tidaknya tekong  melobi. Tapi jika sampai di tangan polis Malaysia, jangan harap bisa lepas."  Nenek bertubuh tambun itu menutup kisahnya.
Kini kehidupan Ibu Nurlela seratus persen lebih baik dari sebelumnya. Empat anaknya menetap di Malaysia dan menikah dengan orang Melayu. Tiga lainnya tinggal di Indonesia.
Nasib mujur berpihak pada penyelundup  sebelum tahun sembilan puluh berakhir. Waktu itu, imigran yang tadinya pendatang haram, sampai di Malaysia statusnya bisa dilegalkan menjadi pengunjung resmi. Berlanjut ke penduduk tetap dan warga negara Malaysia. Ada yang memperolehnya melalui program pengampunan (pemutihan) ada juga pengurusannya secara individu.
Selepas itu peraturan keimigrasian Malaysia mulai agak  ketat. Tiada lagi ruang bagi pendatang tanpa dokumen untuk bekerja di sana. Walaupun masih banyak juga yang berani  nekad.
Para pejuang kehidupan itu tak kehabisan akal. Masuk menggunakan pasport melancong. Sampai di sana mereka bekerja.
Kapan tertangkap dan dideportasi,  KTP ganda solusinya.  Kemudian pergi lagi dengan dokumen  identitas baru. Waktu itu data diri bisa dimanipulasi. Wajah lama namanya baru. Rukayah jadi Soimah. Romlah jadi Khodijah, dan seterusnya.  Â
Di Era digital ini, tiada satupun yang lolos masuk ke Malaysia tanpa melewati jalur resmi. Nama bisa digonta ganti. Sidik jari tak bisa dipreteli.
Demikian sekilas gambaran, betapa pedihnya penderitaan yang dialami oleh Para TKI ilegal pada zamannya, demi meraih lembaran ringgit. Semoga bermanfaat. Salam Dari Pinggir Danau Kerinci.Â
****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI