Ini adalah penyihir ke dua puluh satu yang saya datangi, dalam rangka melampiaskan dendam di dada ini. Kalau tak sampai mati minimal dia gila. Demikian misi yang telah terjadwal dalam angan. Saya sudah mengeluarkan banyak uang untuk itu, membayar sejumlah yang diminta dukun. Belum lagi ongkos perjalanan dan beberapa pendamping.
"Permisi. Bakar kemeyannya segera kita mulai," kata sang penyihir.
"Silakan, Kek!"
Sambil menaruh benda yang berasal dari getah gaharu tersebut di atas cawan berisi bara api, mulutnya komat-kamit membaca mantra. Asap wangi membumbung ke angkasa.
Kakek bertubuh pendek berkulit legam tersebut berbaring di atas tikar pandan.
Tanpa diminta, isterinya keluar dari kamar, terus menutup tubuh suaminya itu dengan kain putih. Beberapa menit berselang, jasad hidup tersebut bergetar seperti orang kedinginan. Sekira lima menit kemudian, dia mengericau dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Suaranya beda dengan sebelumnya. Sesekali lemah lembut seperti perempuan, lain kali menggelegar bagaikan raja mengeluarkan perintah. Percakapan berlangsung antara dia dan isterinya saja.Â
Begitu bangun, sang dukun membuka selimutnya sendiri. Kelihatannya dia kecapean. Sambil meletuk-letuk jemari, mulutnya menguap beberapa kali.
Isterinya berujar, "Ini dia obat yang beliau peroleh." Perempuan tengah baya tersebut menunjuk ke bekas alas tidur suaminya barusan.
Sungguh, gila dan luar biasa. Di sana menancap beraneka ragam onak. Meskipun terbiasa membantu ayah bekerja di kebun atau hutan, saya tak hafal persis duri-duri tersebut berasal dari pohon apa. Hanya ranjau salak yang saya kenal,
Perempuan itu memungut benda tersebut satu persatu dan menaruhnya ke dalam piring putih beralas kain hitam. Lalu dia bagi tujuh. Masing-masing diikat dengan benang tujuh warna.Â
Setelah dimantrai, si  kakek menyerahkan benda itu kepada saya. "Bawa ini Pulang! Tanam pada tujuh tempat. Empat ikatan taruh pada setiap sudut pekarangannya. Satu di bawah tangga depan, satu di bawah kamar tidur, dan terakhir di bawah tangga belakang."