Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Pencari Sihir

14 September 2018   21:39 Diperbarui: 15 September 2018   04:26 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: iyakan.com

Ini adalah penyihir ke dua puluh satu yang saya datangi, dalam rangka melampiaskan dendam di dada ini. Kalau tak sampai mati minimal dia gila. Demikian misi yang telah terjadwal dalam angan. Saya sudah mengeluarkan banyak uang untuk itu, membayar sejumlah yang diminta dukun. Belum lagi ongkos perjalanan dan beberapa pendamping.

"Permisi. Bakar kemeyannya segera kita mulai," kata sang penyihir.

"Silakan, Kek!"

Sambil menaruh benda yang berasal dari getah gaharu tersebut di atas cawan berisi bara api, mulutnya komat-kamit membaca mantra. Asap wangi membumbung ke angkasa.

Kakek bertubuh pendek berkulit legam tersebut berbaring di atas tikar pandan.

Tanpa diminta, isterinya keluar dari kamar, terus menutup tubuh suaminya itu dengan kain putih. Beberapa menit berselang, jasad hidup tersebut bergetar seperti orang kedinginan. Sekira lima menit kemudian, dia mengericau dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Suaranya beda dengan sebelumnya. Sesekali lemah lembut seperti perempuan, lain kali menggelegar bagaikan raja mengeluarkan perintah. Percakapan berlangsung antara dia dan isterinya saja. 

Begitu bangun, sang dukun membuka selimutnya sendiri. Kelihatannya dia kecapean. Sambil meletuk-letuk jemari, mulutnya menguap beberapa kali.

Isterinya berujar, "Ini dia obat yang beliau peroleh." Perempuan tengah baya tersebut menunjuk ke bekas alas tidur suaminya barusan.

Sungguh, gila dan luar biasa. Di sana menancap beraneka ragam onak. Meskipun terbiasa membantu ayah bekerja di kebun atau hutan, saya tak hafal persis duri-duri tersebut berasal dari pohon apa. Hanya ranjau salak yang saya kenal,

Perempuan itu memungut benda tersebut satu persatu dan menaruhnya ke dalam piring putih beralas kain hitam. Lalu dia bagi tujuh. Masing-masing diikat dengan benang tujuh warna. 

Setelah dimantrai, si  kakek menyerahkan benda itu kepada saya. "Bawa ini Pulang! Tanam pada tujuh tempat. Empat ikatan taruh pada setiap sudut pekarangannya. Satu di bawah tangga depan, satu di bawah kamar tidur, dan terakhir di bawah tangga belakang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun