Juallah ide dalam bentuk menuliskannya.
"Ikatlah ilmu dengan menuliskannya," demikian pesan Ali bin Abi Thalib, yang kerap diusung tokoh motivator menulis Hernowo dalam berbagai bukunya.
Jika tidak mampu menuliskannya, ide tersebut dapat dijual ke seorang teman yang menuliskannya. Soal hitung-hitungan finansial itu bisa jadi kesepakatan.
Dalam dunia sinetron sudah lazim seorang penulis menjual ide dan soal eksekusi penggarapan diserahkan kepada tim penulis skenario. Si penulis sendiri mungkin hanya sekadar mensupervisi atau menjadi head writer. Itu sekadar contoh. Namun kita tentu layak dan amat berhak menerima kehormatan untuk menuliskannya sendiri. Tentu jika kita berani memanen setelah susah-payah menebar benih dan merawatnya.
Nah, nikmatilah hasil beternak ide. Namun pertanyaan pertama, sudahkah kita punya nyali untuk beternak ide?
Langkah 3: Berbukalah Dengan Tiga Kata
Menulis adalah makanan jiwa. Ia merupakan bentuk ekspresi diri, yang menurut Abraham Maslow, merupakan bentuk keparipurnaan psikologi seorang individu.
Jika Anda ingin sekali mencurahkan isi hati, mendamba sangat untuk menuangkan isi otak namun tangan kaku atau, dalam istilah Taufik Ismail, lumpuh menulis, hmm, barangkali secara tak sadar Anda sedang "berpuasa". Otak Anda sedang rehat, menunggu waktu berbuka. Jiwa Anda menggelegak namun tangan kelu beku di depan keyboard komputer atau pena terkulai loyo di atas kertas. Jadi, marilah berbuka!
"Kak, gimana caranya?" mungkin demikian pertanyaan Anda.
Banyak orang yang lupa bahwa ide harus dikejar, bukan dinanti seperti pasifnya menanti kereta komuter yang kerap telat.
Mereka abai bahwa seorang Sean Connery, yang berperan sebagai seorang penulis penulis dalam film Finding Forrester, mendidik keras anak didiknya untuk "menuliskan apa yang terlintas, bukan memikirkan apa yang hendak ditulis". Namun, jika konsep itu kelewat mewah, maka awalilah dengan yang ringan. Jika berbuka puasa disunnahkan dengan mengudap kurma, maka berbukalah dari puasa menulis dengan hanya tiga kata.