Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah

Penerjemah, editor, konsultan partikelir dan peminat sastra, psikologi & politik. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan Kepala Divisi Komunikasi Badan Pengurus Himpunan Penerjemah Indonesia (BP HPI Pusat) (2025-2027). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan "Dongeng Kampung Kecil". Blog: https://nursalam.wordpress.com. Instagram: @bungsalamofficial.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Menulis Itu Mudah, Hanya Perlu 7 Langkah!

14 Mei 2025   17:10 Diperbarui: 20 Mei 2025   11:03 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kutipan perkataan Mark Twain, penulis legendaris Amerika Serikat (Sumber: AZ Quotes).

Dalam Sastra dan Tekniknya (1997), menurut Mochtar Lubis, tiga perangkat wajib seorang pengarang atau penulis adalah observasi, imajinasi dan logika. Dan ASI bagi sang "bayi" penulis adalah buku. Seperti ucapan Mark Twain,"The man who does not read good books has no advantage over the man who cannot read them." Orang yang tidak membaca buku-buku bagus tak ada bedanya dengan orang yang tidak bisa membaca. Sementara Samuel Johnson (1709-1784), seorang penulis berkebangsaan Inggris mengatakan,"Sebagian besar waktu seorang penulis dihabiskan untuk membaca agar bisa menulis. Ia perlu membuka halaman separuh isi perpustakaan untuk menciptakan sebuah buku."

Sebagai "bayi", meniru atau mengimitasi adalah perlu. Tak perlu malu menuruti George Orwell, seorang penulis Inggris yang bernama asli Eric Arthur Blair dan populer dengan novel 1984 dan Animal Farm, yang menyarankan agar kata-kata dalam tulisan kita hendaknya pendek-pendek dan lugas agar pembaca terang dengan maksudnya.

Karena, lanjutnya, musuh besar bahasa yang jernih adalah ketidaktulusan. Ketika ada jurang antara maksud sesungguhnya dan apa yang diungkapkannya, secara naluriah orang berpaling pada kata-kata panjang dan ungkapan yang lemah, bagaikan cumi-cumi menyemburkan tintanya. Intinya, kalimat-kalimat panjang sebenarnya menandakan sang penulis tidak terbuka dalam menyampaikan maksudnya. Juga tak perlu sungkan membeo wejangan Ernest Hemmingway---yang piawai dengan diksi yang sederhana namun kuat dan dialog-dialog yang tajam seperti dalam beberapa karyanya yakni For Whom The Bells Toll dan The Oldman dan The Sea---bahwa cara terbaik untuk mengetahui apa sesungguhnya perasaan kita adalah dengan menuliskan perasaan tersebut.

Namun hidup manusia tak sekadar dan tak layak terhenti pada masa bayi atau kanak-kanak. Kisah manusia yang selamanya kanak-kanak hanya ada dalam dongeng Peter Pan dengan peri Tinker Bell-nya.

Bayi butuh menjadi dewasa. Ia butuh menjadi diri sendiri. Para penulis atau pengarang besar meraksasa karena mereka kreatif membebaskan diri dari meniru gaya para penulis terdahulu yang dikagumi. Karena, ujar Mochtar Lubis, imitasi bagaimanapun juga baiknya akan tetap tinggal imitasi. Dan gaya pengarang tergantung sebagian besar dari watak pengarang itu sendiri. Ia haruslah menumbuhkan gaya mengarang sendiri, yang sesuai dengan watak, emosi dan dengan pertimbangan serta apresiasi bahasanya sendiri. Atau dalam bahasa John Cowper Powys, "Yang penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri; apa yang dimilikinya dalam kepalanya, dalam alat-alat panca inderanya, dalam watak dan pribadinya, dalam darah dan temperamennya." Alhasil, tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah yang merupakan salah satu roman dalam Tetralogi Pulau Buru, sesederhana apa pun cerita yang dibuat, ia mewakili pribadi individu atau bahkan bangsanya.

Itulah yang menjadi keunikan setiap pengarang atau penulis. Karenanya gaya menulis tidak bisa diajarkan. Ia hanya bisa dipelajari dan ditiru. Dan tiada jalan pintas untuk mendapatkan gaya menulis tersebut. Persis seperti yang diungkapkan William Faulkner dalam sebuah wawancara bahwa tidak ada jalan mekanis untuk mengarang. "Pengarang muda akan bodoh untuk mengikuti suatu teori. Ajar dirimu dengan kesalahan-kesalahan yang engkau buat sendiri. Orang hanya belajar dengan membuat kesalahan."

Jadi, salahkah menjadi epigon?

Maybe yes, maybe no.

Ya, menjadi epigon adalah salah apabila kita melakukan kesalahan sebagaimana salahnya bayi yang menolak menjadi dewasa. Ia selamanya kerdil dalam bayang-bayang orang-orang besar. Seperti kata Mochtar Lubis, lagi-lagi dalam Sastra dan Tekniknya, bahwa orang hanya menulis apabila ada sesuatu dalam jiwanya yang mendesak-desak, memaksanya mengambil alat tulis dan menulis. Jika orang mengarang karena ikut-ikutan atau sekadar meniru karena ingin terkenal atau masyhur maka orang yang demikian pastilah dari semula tidak akan berhasil menjadi pengarang. Sang epigon primitif ini tak akan pernah mengungguli para pengarang aslinya.

Tidak, menjadi epigon tidak salah apabila kita memperlakukan masa peniruan yang entah sekian tahun lamanya itu sekadar sebagai masa pendadaran, masa awal pembelajaran yang tentu saja waktunya pun tidak mungkin selamanya. Anggap saja fase menjadi epigon itu sekadar fase ketika kita mulai menaiki bahu-bahu raksasa agar kita dapat melihat dunia dengan sudut pandang yang lebih luas. Hingga akhirnya tibalah saatnya tumbuh sayap-sayap keberanian kita untuk melompat dan terbang lebih tinggi. Dan bebaslah kita, seperti bebasnya ekor cecak yang masih sanggup bergerak-gerak sendiri ketika terputus dari tubuh inangnya. Jika kita berani mandiri seperti---sebuah contoh yang sangat minimalis--ekor cecak maka kita adalah para epigon kreatif yang berhak punya sayap-sayap keberanian sebagaimana berhaknya bayi tumbuh gigi sebagai tanda berjalannya proses kedewasaan yang lumrah.

Sayap-sayap keberanian itu sendiri tak mungkin tumbuh tanpa--dalam formula untuk menjadi pengarang atau penulis yang baik menurut William Faulkner---99% disiplin dan 99% kerja. "Jangan sibuk berusaha menjadi lebih baik dari para pengarang yang lebih dahulu tapi cobalah menjadi lebih baik dari dirimu sendiri," pesan sang sastrawan nobelis Sastra dari Prancis ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun