Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dalam Kepergiannya, Jakob Oetama Mengajarkan Kita Banyak Hal

12 September 2020   21:47 Diperbarui: 13 September 2020   03:49 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jakob Oetama dan Rosihan Anwar/Foto: tribunnews.com

Jakob Oetama meninggal dunia. Indonesia berduka, terutama dunia pers dan perbukuan nusantara.

Terkait wafatnya sang taipan media dan pejuang pers legendaris tersebut, saya teringat sebuah pepatah lawas, "Gajah mati meninggalkan gading; manusia mati meninggalkan nama."

Namun kematian seorang Jakob Oetama tak hanya meninggalkan nama besar dan sederet aset bisnis saja. Ada banyak pelajaran yang ditinggalkan sang mantan guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) tersebut. Bahkan dalam kematiannya sang guru besar itu mengajarkan kita banyak hal.

Pelajaran pertama

Alkisah, seorang sufi dalam doa-doanya khusyuk panjangnya di sepertiga malam memohon kepada Tuhan agar jelang kematiannya kelak ia diberikan tanda-tanda agar ia dapat mempersiapkan kematiannya dengan sebaik-baiknya.

Tahun-tahun berlalu dan sang sufi tak kunjung mendapat tanda-tanda dari Tuhan kapan kematiannya akan tiba.

Hingga suatu ketika datang malaikat maut hendak menjemput nyawa sang sufi.

Ketika sang sufi protes mengapa ia tak diberikan tanda- tanda terlebih dahulu, apa kata sang malaikat maut?

"Bukankah uban-uban di kepalamu sudah merupakan tanda?"

Sang sufi tersentak sadar.

"Bukankah tulang-tulang rentamu juga merupakan tanda?"

Sang sufi kian terhenyak.

"Bukankah kematian orang-orang di sekitarmu sudah cukup sebagai tanda-tanda bagimu?"

Sang sufi akhirnya menangis dan bersujud. Ia memohon ampun kepada Tuhan atas prasangka buruknya kepada sang Khalik. Di akhir kisah, diceritakan kematian sang sufi dalam kondisi husnul khotimah, tenang dan ikhlas.

Ya, segenap tanda-tanda yang disebutkan sang malaikat maut tersebut juga merupakan pesan terakhir bagi kita, para calon penghuni liang kubur yang juga akan bernasib seperti sang sufi, yakni mati.

Dan kematian Jakob Oetama juga merupakan tanda bagi kita yang masih hidup bahwa kematian itu nyata dan dekat. Siapa pun ia, entah pejabat, pengusaha besar, politisi atau bahkan rakyat jelata, semuanya akan berakhir sama. Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Permasalahannya hanyalah kapan, di mana, dan bagaimana.

Pelajaran kedua

Siapa bilang mati itu sederhana?

Persepsi salah inilah yang dianut kebanyakan orang, yang kemudian dianggap sebagai solusi final dan permanen dalam menyelesaikan masalah, yakni dengan bunuh diri.

Padahal mati itu tidak sederhana.

Kematian selalu berwajah ganda, yakni kesederhanaan dan keribetan.

Bagi yang mati, ketika nafas terakhir lepas, habislah perkara. Tinggal ia berurusan dengan Sang Pencipta. Bagi yang ditinggalkan, keribetan kerap menyergap. Sederet formalitas acara adat atau pemakaman, tumpukan tagihan biaya penguburan dll.

Hingga kita semestinya bertanya sebenarnya semua itu untuk siapa dan untuk apa.

Demikian juga bagi siapa saja yang saat ini putus asa, dan memutuskan mengambil solusi yang dianggapnya manjur, yakni bunuh diri. Mereka selayaknya bertanya pada diri sendiri: apa yang sudah diperbuat selama hidup? Untuk apa hidup ini? Dan buat siapa hidup ini?

Menurut lagu rakyat suku Swahili, sebuah suku terbesar di benua Afrika, hidup adalah perjuangan. Kalah menang adalah urusan Tuhan. Sementara, kata almarhum Wahyu Sulaiman Rendra, perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Dan, Pramoedya Ananta Toer menambahkan, kata-kata adalah ibarat tanah lempung, yang bisa dibentuk sesuka hati, bisa mengeras dan melembut.

Kesimpulannya, hidup itu bisa kita bentuk sesuka hati, karena hanya ada empat misteri Ilahi dalam hidup ini: kematian, jodoh, rejeki dan kelahiran. Sisanya bergantung pada upaya aktif manusia sendiri, dengan tidak menafikan peran takdir dari sang Causa Prima dalam semesta ini.

Karena, sebagaimana ditegaskan Bung Karno, yang juga merupakan pesan dalam Al Qur'an, takkan berubah nasib suatu bangsa tanpa bangsa itu mengubah nasibnya sendiri. Jika ingin mengubah nasib sendiri maka mulailah dengan mengubah apa yang ada pada diri sendiri. Karena hukum kausalitas atau sebab akibat itu sesungguhnya adil.

Sesungguhnya, sebagaimana makna sebuah pepatah Minang, alam yang terbentang menjadi guru bagi kita semua. Tinggal saja kita yang harus membacainya dengan saksama dan jujur. Hanya saja terkadang kita terlalu pongah atau bebal untuk memahaminya.

Dan Jakob Oetama dengan sejarah panjangnya, berkat kiprah dan sederet jasanya dalam pelbagai bidang, dengan sendirinya telah menjawab dan membuktikan kepada kita tentang apa yang sudah diperbuatnya dalam hidup, untuk apa kehidupan dijalaninya, dan buat siapa hidupnya diabdikan.

Pelajaran ketiga

Inilah pelajaran terakhir yang penting dan terutama. Tentang dinamika merayakan keberagaman agama di antara kita.

"Jakob Oetama itu Muslim atau Katholik?"

Pertanyaan itu kerap terlontar dalam berbagai kesempatan. Sejak bertahun-tahun lamanya. Terutama selepas berita wafatnya Jakob Oetama beredar.

"Ya, kita tunggu saja saat upacara pemakamannya. Nanti juga ketahuan," jawab saya enteng saat salah seorang kawan menanyakan pertanyaan serupa.

Dan saat upacara pemakaman Jakob Oetama di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, sebagai hak beliau sebagai penerima Bintang Mahaputra Utama, yang didahului misa tutup peti, terjawablah sudah pertanyaan itu.

Namun, pertanyaan itu bukanlah tanpa dasar.

Berbagai kesaksian dan argumen yang bertolak belakang seputar keyakinan yang dianut Jakob Oetama bertebaran di media. Ada yang bilang bahwa JO, panggilan akrab Jakob Oetama, sudah menjadi mualaf dengan bersyahadat di hadapan Nurcholish Madjid alias Cak Nur. 

Versi lainnya, ada yang bilang JO bersyahadat dibimbing Gus Dur atau Abdurrahman Wahid. Di kubu ini, ada yang berpendapat bahwa JO menyembunyikan keislamannya karena menjaga hubungan baik dengan kalangan Katholik dan lebih ingin menonjolkan posisi moderatnya.

Di seberangnya, banyak yang bersaksi bahwa JO tetaplah seorang penganut Katholik yang taat karena tetap aktif mengikuti kebaktian di gereja. Dari kubu ini, ada juga pendapat bahwa JO tetap beragama Katholik namun tidak menampakkannya karena menjaga posisinya di Indonesia yang mayoritas Muslim.

Jika ditilik, pendapat terakhir tersebut justru mengonfirmasikan kecurigaan sebagian kalangan Muslim di Indonesia terhadap Jakob Oetama dan grup bisnis Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang dipimpinnya sebagai momok Katholik yang mengancam supremasi dan eksistensi umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia. Itulah stigma yang terbangun sejak lama dan terutama berpuncak ketika kasus polling Tabloid Monitor pada 1990 yang berujung pada vonis lima tahun penjara bagi Arswendo Atmowiloto, pemimpin redaksi Tabloid Monitor, karena delik penistaan agama.

Arswendo Atmowiloto/Foto: tirto.id
Arswendo Atmowiloto/Foto: tirto.id

Di era 80-an, Tabloid Monitor, yang dikenal menjunjung jurnalisme lher atau esek-esek, adalah tabloid komersial terpopuler di masanya. Dengan bumbu tampilan "panas" para artis Indonesia di halaman mukanya, tiras Monitor sangat melonjak dibandingkan media sejenis di zamannya.

Sebagai bagian dari KKG, tampaknya JO memberikan kebebasan penuh kepada Arswendo, yang juga sastrawan dan penulis skenario, untuk mengelola penuh Monitor dengan gayanya yang nyeleneh dan urakan. Itu memang cerminan sikap JO yang bijak dan kebapakan, namun tak urung menumbuk batu pada akhirnya. Shit happens anytime, kadang kenahasan atau keapesan akan datang juga.

Dan kenahasan itu datang ketika Monitor mengadakan polling tentang tokoh yang dikagumi para pembacanya. Dan, dari ribuan kartu pos yang dikirimkan pembacanya, Monitor menampilkan hasil polling dengan telanjang dan apa adanya. 

Polling, yang tanpa metodologi terukur dan terarah, itu menempatkan Nabi Muhammad di urutan kesebelas sementara Arswendo di urutan kesepuluh. Alhasil, meledaklah kemarahan umat Islam. Bahkan hingga terjadi pengepungan kantor KKG di Palmerah, Jakarta Barat. Gelombang unjuk rasa itu pun terus berlangsung hingga sidang vonis Arswendo yang mengantarkannya mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang, Jakarta Timur.

Polling Tabloid Monitor/Foto:imultidimensi.wordpress.com
Polling Tabloid Monitor/Foto:imultidimensi.wordpress.com

Kendati Arswendo sudah dibui dan kehilangan pekerjaannya serta Tabloid Monitor sudah meminta maaf dan bahkan ditutup, tetap saja stigma Kompas sebagai "Komando Pastur" tetap mengemuka. Dan kabar keislaman JO itu pun berhembus selepas peristiwa tersebut. Itu pun dicurigai sebagai bagian dari taktik JO dan KKG untuk menyelamatkan muka dan menyelamatkan diri.

Permintaan maaf dari Tabloid Monitor/Foto: imultidimensi.wordpress.com
Permintaan maaf dari Tabloid Monitor/Foto: imultidimensi.wordpress.com

Dalam spektrum narasi jurnalisme moderat yang diusung JO, yang disindir Rosihan Anwar sebagai "jurnalisme kepiting" alias kelewat berhati-hati, insiden Monitor jelas merupakan tamparan keras, dan tentu makin membuat JO lebih berhati-hati. 

Dan, seiring waktu, bukti kejelian strategi JO itu terbukti. Karena, kendati Monitor sebagai anak usahanya tutup, namun KKG tetap eksis hingga saat ini dan bahkan beranak pinak dengan merambah berbagai bidang usaha lainnya, seperti perhotelan dll.

Terlepas dari apakah isu keislaman JO itu sekadar embusan angin surga belaka atau hoaks semata, apa pun agamanya, Jakob Oetama itu orang baik. Setidaknya, demikian menurut cerita ayah kawan saya yang seorang Muslim dan pensiunan staf desainer grafis di KKG.

Menurutnya, JO adalah figur bos yang baik hati dan royal. Dengan tanpa ijazah dan hanya bermodal keterampilan saja, karena ayah kawan saya itu putus kuliah desain grafis di sebuah universitas swasta, JO bersedia menerimanya bekerja di KKG bahkan hingga tiba masa pensiunnya.

Petuah Gus Dur/Sumber: facebook.com
Petuah Gus Dur/Sumber: facebook.com

Alhasil, pertanyaan tentang agama sebenarnya dari JO menjadi tidak relevan. Karena, sebagaimana yang dikatakan Gus Dur, yang juga sahabat akrab JO, "Apa pun agamamu, jika kamu berbuat baik, maka orang tidak akan menilai apa agamamu."

Namun, selayaknya sebuah prisma yang mana setiap orang dapat melihat keindahan yang berbeda dari setiap sudutnya, demikianlah Jakob Oetama mencatatkan kisah hidup dan perjuangannya bagi bangsa dan negara yang dicintainya, Indonesia.

Selamat jalan, Pak Jakob Oetama!

Jakarta, 12 September 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun