Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anarko Dibekuk, Buku Tere Liye Terpuruk?

20 April 2020   07:52 Diperbarui: 20 April 2020   07:59 1842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel terbitan Gramedia karya Tere Liye yang disita sebagai barbuk vandalisme Anarko Sindikalis/Sumber: goodreads.com

Genap sepekan sudah para anggota kelompok yang dinamakan Anarko Sindikalis yang melakukan aksi vandalisme di Tangerang (Banten) dan Banjar (Jawa Barat) dibekuk pihak kepolisian.

Berdasarkan jumpa pers virtual yang digelar Polres Banjar pada Ahad, 12 April 2020, selain barang bukti foto coretan vandalis mereka yang bernada agitasi dan provokasi, seperti "Kill The Rich" dan "Saat Krisis, Saatnya Membakar", juga dihadirkan tujuh buku sebagai barang bukti aksi vandalisme kelompok Anarko Sindikalis tersebut. Antara lain berjudul Muhammad Mark Marhaen, Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat, Bertuhan Tanpa Beragama, Sex dan Revolusi, Syekh Siti Jenar, Nietzsche Sabda Zarathustra, dan Negeri Para Bedebah.

Judul buku yang terakhir itu adalah sebuah novel karya novelis muda Tere Liye yang telah menerbitkan sekitar 40-an judul novel yang laris manis dan populer. Sontak para penggemar Tere Liye serta pemerhati buku dan literasi lantas mempertanyakan penyitaan sekaligus penetapan novel populer tersebut sebagai barang bukti atau barbuk tindak vandalisme.

Kalangan netizen alias warganet bahkan menganggapnya sebagai dagelan yang tidak logis. Itu terungkap dalam berbagai ekspresi cuitan, postingan status serta meme kritis nan jenaka di Twitter dan platform media sosial lainnya.

Terlepas dari kemunculan (kembali) kelompok Anarko Sindikalis, yang pernah berulah pada May Day 2019 di Jakarta dan Bandung, yang konon disebut-sebut sebagai "tumbal" prakondisi Darurat Sipil dalam upaya penunggangan isu wabah COVID-19, sebagaimana perkataan Joseph Brodsky (1940-1996), seorang penyair Rusia yang mengasingkan diri ke Amerika Serikat karena tekanan rezim penguasa Komunis, sejatinya polisi juga telah melakukan suatu "tindak kejahatan".

Menurut Brodsky, "There are worse crimes than burning books. One of them is not reading them." Ada banyak kejahatan yang lebih buruk daripada pembakaran buku. Salah satunya adalah tidak membacanya. 

Nah, sudahlah tidak membacanya, menyitanya pula! Sungguh kejahatan berganda!

Namun saya berhusnuzon bahwa para bapak polisi yang intelek dan terhormat itu tentulah sudah membaca buku-buku sitaannya. Barangkali bahkan mereka berpegang pada perkataan Cassandra Clare, seorang novelis Amerika Serikat kelahiran Iran yang mengatakan supaya berhati-hati kepada buku, karena kata-kata memiliki kekuatan untuk mengubah diri kita.

"One must always be careful of books...for words have the power to change us," demikian kutipan perkataan sang novelis muda kelahiran 1973 itu.

Baca Juga: Anarko Sindikalis, Vandal atau Tumbal?

Negeri Para Bedebah

Negeri Para Bedebah (NPB), yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada 2012, adalah dwilogi yang terdiri dari Negeri Para Bedebah dan Negeri di Ujung Tanduk. 

NPB sendiri adalah novel yang berkisah perihal sepak terjang seorang konsultan keuangan dalam upayanya menyelamatkan Bank Semesta di tengah konspirasi para elite di dunia bisnis dan ekonomi.

Jika kita membaca NPB, kita serasa membaca gabungan kisah penelusuran skandal Bank Century di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan sebuah buku populer pada era 2000-an, yakni The Confession of An Economic Hitman karya John Perkins (2004) yang berkisah tentang aksi seorang economic hitman alias bandit ekonomi yang ditugaskan CIA untuk merusak perekonomian negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Mengingat vak Tere Liye (yang bernama asli Darwis dan alumnus FE-UI) di bidang ekonomi, rajutan penggabungan kedua kisah legendaris tersebut terasa mulus, detail, dan menawan.

Sementara versi terjemahan bahasa Indonesia atas The Confession berjudul Pengakuan Seorang Ekonom Perusak diterbikan oleh penerbit Abdi Tandur pada 2005 (penerjemah: Herman Tirtaatmaja dan Dwi Karyani; editor:  Michael AR. Tosin).

Jika pun NPB sebagai suatu bacaan populer dibaca para pemuda radikalis tersebut, dan juga buku-buku lainnya, entah sebagai bacaan pengisi waktu luang atau sebagai bahan pemerkaya wawasan mereka dalam kerangka ideologi Anarkisme yang diyakini, apakah layak buku-buku itu harus dibuat terpuruk muruahnya dan didakwa sebagai barang bukti tindak kejahatan?

Andai pertanyaan di atas tidak berjawab atau dijawab secara normatif oleh pihak kepolisian, dan juga para pembela atau pendengung (buzzer) pro-rezim, sebagai suatu hal "yang sudah sesuai prosedur pengamanan", kita pun sudah mafhum perihal aneka kekonyolan serupa.

Salah satunya ketika Tim Densus 88, suatu satuan kepolisian khusus anti-terorisme, meringkus para terduga pelaku terorisme beserta barang bukti buku pelajaran bahasa Arab tingkat dasar, yang sama sekali tidak mengandung materi terorisme atau muatan yang bertentangan dengan ideologi negara dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Versi tangkapan layar (screenshot) komentar Tere Liye atas penyitaan novelnya dalam kasus vandalisme Anarko Sindikalis/Sumber: Facebook Tere Liye
Versi tangkapan layar (screenshot) komentar Tere Liye atas penyitaan novelnya dalam kasus vandalisme Anarko Sindikalis/Sumber: Facebook Tere Liye

Tere Liye sendiri, dalam postingan di akun media sosialnya, menanggapi santai tentang kontroversi penyitaan novel karyanya tersebut. Menurutnya, itu hanya kesalahpahaman.

Bahkan dengan berkelakar, penggemar film Bollywood tersebut (konon nama pena "Tere Liye" diambil dari salah satu judul film India terkemuka) berharap pihak kepolisian ketagihan membaca NPB sehingga memburu puluhan novelnya yang lain untuk dibaca.

Terlepas dari sikap santuy Tere Liye, persoalan "pengadilan buku" sesungguhnya memang masalah serius dan kronis sejak dahulu kala.

Bibliofobia dan bibliosida

"Pengadilan buku" dengan prasangka berdasarkan bibliofobia (fobia terhadap buku) sejak era Sumeria kuno kerap melahirkan pelarangan buku serta pemusnahan dan pembakaran buku yang dianggap berbahaya atau setidaknya tidak sejalan dengan pemikiran atau kebijakan para rezim penguasa atau otoritas yang dianggap berwenang.

Bibliosida (bibliocyde, dari kata "bibliography" dan "genocide"), yakni pemusnahan buku, juga dialami para intelektual reformis Eropa di Abad Kegelapan (Dark Ages), seperti Nicolaus Copernicus dan Galileo Galilei, yang pemikiran mereka dianggap bertentangan dengan konsep sains yang diusung pihak Gereja sebagai otoritas yang berwenang atas segala hal saat itu.

Jangan dilupakan juga genosida buku besar-besaran yang dilakukan bala tentara Tartar dari Mongolia yang menginvasi khilafah Islam di Irak pada akhir masa kejayaannya. Pasukan Kuning yang dipimpin oleh Panglima Timur Leng itu memusnahkan jutaan buku dari berbagai perpustakaan publik yang banyak tersebar di negeri itu, terutama di kota-kota pusat intelektualisme, seperti Baghdad dan Basrah.

Konon air Sungai Tigris dan Eufrat di Irak yang kala itu jernih berubah menjadi berwarna hitam legam akibat tinta jutaan buku yang dilarung ke sungai.

Di Indonesia pun, dalam skala yang berbeda, sampai sekarang masih kerap terjadi pelarangan dan pembakaran buku, terutama buku-buku yang dianggap beraliran kiri atau sosialisme dan komunisme.

Padahal Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010 telah menyatakan bahwa kewenangan pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung sesuai pasal 1 ayat (1) UU No. 4/PNPS/1963 adalah bertentangan dengan konstitusi negara.

Hal ini berarti siapa pun boleh menerbitkan buku apa saja, sejauh itu didasari pada informasi yang sahih. Dan merupakan hak asasi manusia bagi siapa saja untuk boleh membaca buku apa saja sesuai keinginan dan kebutuhannya.

Tapi memang fakta hukum tidak senantiasa sejalan dengan kemauan rezim penguasa. Terlebih lagi jika rezim penguasa cenderung paranoid atau alergi terhadap ide-ide kritis serta perubahan, termasuk yang ada di media dan buku.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Sayyid Quthb (1906-1966), sang sastrawan Mesir seangkatan Naghuib Machfoudz,  yang juga penulis tafsir Al-Qur'an berjudul Fi Zilalil Qur'an (Di Bawah Naungan Al-Qur'an), bahwa "Satu peluru hanya mampu menembusi satu kepala namun satu tulisan bisa menembusi beribu kepala, malah jutaan."

Itulah yang menjadi momok bagi rezim penguasa bebal di mana pun, dan siapa pun.

Alhasil, dalam konteks penyitaan buku NPB dalam kasus vandalisme Anarko Sindikalis, saya teringat apa yang ditulis Stephen King dalam memoar Stephen King On Writing (Qanita, Bandung, 2005) bahwa "Buku adalah sihir unik yang bisa dibawa-bawa". Termasuk dibawa-bawa ke dalam urusan vandalisme segerombolan anak muda.

Jakarta, 19-20 April 2020

Referensi: [1] [2] [3]

Baca Juga: Patahnya Teori Orang Baik dalam Politik dan 5 Jurus Menulis ala Stephen King

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun