Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Siapakah Pesaing Terkuat Ahok untuk Pemimpin Ibu Kota Baru?

10 Maret 2020   11:49 Diperbarui: 10 Maret 2020   13:23 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
4 kandidat Kepala BO IKN/Sumber: tribunnews.com

Dari keempat kandidat untuk posisi Kepala Otoritas Badan Ibu Kota Negara (BO IKN), yang disebut Jokowi sebagai "CEO", Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dengan nama besar dan popularitasnya dianggap sebagai kandidat terkuat untuk posisi anyar nan prestisius tersebut.

Dengan rekam jejak sebagai mantan Bupati Belitung Timur, anggota DPR dan wakil gubernur serta gubernur DKI Jakarta, portofolio Ahok yang juga putera saudagar Kristen Tionghoa asal Bangka Belitung kelahiran 29 Juni 1966 (53 tahun) tersebut memang sangat mentereng. 

Ditambah lagi dengan modal kedekatan Ahok secara personal dengan Presiden Jokowi, mantan pasangan duetnya di Pilkada DKI 2012, yang tampaknya tetap mempercayainya hingga belum lama ini menunjuknya sebagai Komisaris Utama Pertamina, suatu BUMN migas vital di negeri ini.

Namun, benarkah Ahok benar-benar kandidat tak tertandingi dan langkahnya akan mulus begitu saja untuk menjadi Kepala BO IKN?

Di atas kertas, prediksi dan harapan Ahoker (sebutan untuk kubu pendukung Ahok sejak era pilgub DKI 2012) dan banyak pengamat politik tampaknya demikian.

Bagi sebagian kalangan pendukung militan, bahkan profil dan latar belakang alumnus Universitas Trisakti dan Magister Manajemen Universitas Prasetya Mulya itu tak perlu disigi lagi dan tak perlu diperbandingkan lagi untuk posisi BO IKN 1 tersebut, karena rekam jejak serta popularitas yang luar biasa tersebut dari mantan kader partai PPIB (Partai Perhimpunan Indonesia Baru), Golkar, dan Gerindra tersebut.

Meskipun, sejujurnya, popularitas politik toh tidak lahir di ruang vakum, karena ada kontribusi spin doctor (lembaga survei, pakar pencitraan, dan tim think tank politik, dll) dan atribut sebagai media darling yang turut berperan dalam proses pembentukannya.

Kubu Ahoker tampaknya alpa bahwa antara prediksi politik dan realitas politik serta fakta lapangan tidak selalu berjalan linear, kadang sering mengejutkan. Terlebih belakangan ini terjadi peningkatan tensi serangan politik kepada Ahok dari berbagai kubu penentangnya, salah satunya kubu Persatuan Alumni 212 (PA 212) dan kalangan intelektual oposan, antara lain Rizal Ramli dan Said Didu.

Serangan tersebut terentang mulai dari alasan "dosa masa lalu" Ahok  terkait isu agama (pelecehan ayat Al-Qur'an dan isu pemurtadan istri mudanya), isu rumah tangga (perseteruan dengan mantan istri dan anak kandungnya) maupun isu korupsi RS Sumber Waras dan pengadaan bus Trans Jakarta dan juga klaim "tak ada kisah keberhasilan" (success story) yang ditorehkan oleh mantan suami Veronica Tan tersebut. Sehingga penunjukan Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina dianggap lebih sebagai buah perkawanan dengan Jokowi alih-alih bukti prestasi atau kapasitas kepemimpinan.

Ahok juga sering dianggap mendramatisasi kesulitan politiknya (antara lain melalui penerbitan buku dan serangkaian seminar jumpa penggemar serta pertemuan dengan media) menjadi kisah melankolis kaum minoritas dengan romatisme perjuangan zero to hero yang acap mengundang simpati publik yang lihai dikapitalisasinya sebagai modal sosial politik. Terlebih lagi dengan kemampuan komunikasi publiknya yang piawai dan tentu saja dukungan dana dari para taipan yang tak tanggung-tanggung.

Nah, jika secara fair dibandingkan dengan Anies yang kerap dianggap sebagai rival abadi Ahok, sejatinya keduanya sama-sama piawai berkomunikasi publik dan mahir menata kata. Bedanya, Anies bergaya persuasif argumentatif sementara Ahok cenderung agresif argumentatif.

Jadi, jika Anies lebih dicitrakan "hanya pintar menata kata" ketimbang Ahok atau Jokowi yang dicitrakan "figur pekerja tanpa banyak kata", sebetulnya itu hanya persoalan kemahiran framing atau pembingkaian citra oleh media saja. Lebih-lebih Ahok, yang tidak seotentik Jokowi.

Belum lagi jika Ahok kembali ditunjuk oleh Jokowi sebagai Kepala BO IKN, padahal pada 22 November 2019 atau baru empat bulan sebelumnya ditunjuk sebagai Komut Pertamina, maka citra Ahok sebagai kutu loncat (yang sering berpindah-pindah parpol dan tak tuntas menjalani jabatan politik) dan pengejar jabatan akan terkonfirmasikan dengan kuat.

Alhasil, jalan Ahok ke posisi nomor satu di BO IKN takkan semulus bayangan para pencinta, die-hard fans (penggemar garis keras), serta pendengung politik (buzzer) sang mantan aktivis pemuda gereja tersebut.

Di samping itu usulan-usulan nama yang masuk ke pihak Jokowi untuk ketiga kandidat lainnya, tentu saja bukan usulan sembarangan atau main-main. Para tokoh sekaliber Bambang Brodjonegoro (Menristek/Ketua BRIN), Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi dua periode), dan Tumiyana (Dirut PT WIKA), dengan segenap kisah keberhasilan mereka, jelas tak layak dinafikan begitu saja.

Presiden Jokowi, sebagai pihak yang akan menunjuk langsung kepala BO IKN, pastilah akan mempertimbangkan banyak hal. Setidaknya agar figur Kepala BO IKN terpilih kelak tidak menjadi beban baginya semasa periode jabatan terakhirnya hingga 2024.

Jokowi tentu mendambakan husnul khotimah (akhir yang baik) untuk periode terakhirnya ini, setidaknya tanpa catatan kegagalan atau resistensi publik, atau bahkan tidak diturunkan di tengah jalan. Terlebih lagi proyek ibu kota baru atau Ibu Kota Negara (IKN) ini adalah legacy (warisan) sekaligus pertaruhan Jokowi di periode akhir jabatan kepresidenannya.

Nah, seperti apa profil ketiga kandidat lainnya yang bakal bersaing dengan Zhong Wanxue (nama Tionghoa dari BTP) untuk memikul amanat legacy tersebut?

Pertama, Ir. Tumiyana, MBA. Sebagai Direktur Utama PT Wijaya Karya (WIKA), Tbk, Warga Negara Indonesia (WNI) kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 10 Februari 1965 (55 tahun) ini adalah alumnus Fakultas Teknik Sipil Universitas Borobudur Jakarta tahun 1994 dan Magister Manajemen dari Jakarta Institute of Management Studies (IPWI) tahun 1997. 

Sebelum bergabung dengan WIKA pada 2018, Tumiyana pernah menjabat sebagai Direktur Keuangan dan Direktur Utama PT PP (Persero) Tbk. Dan saat ini selain menjabat sebagai Dirut WIKA, Tumiyana juga menduduki posisi Komisaris PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sejak 2018 sebagai bagian dari perwakilan konsorsium RI untuk proyek kereta cepat Indonesia dan RRC.

Dalam proyek kerja sama tersebut, Jokowi memberikan mandat kepada para perusahaan BUMN yakni WIKA, Jasa Marga, PT KAI, dan PTPN VIII untuk membentuk konsorsium perwakilan Indonesia sebagai pemegang saham bersama dengan BUMN RRC.

Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang banyak dituding bermasalah serta dihentikan sementara oleh Kementerian PUPR antara lain karena kasus pekerja WNA China ilegal dan dianggap sebagai penyebab masalah banjir di jalur tol inilah yang tampaknya bakal menjadi batu sandungan bagi Tumiyana, sang insinyur yang dikenal sebagai eksekutor teknis lapangan yang andal, untuk menduduki posisi Kepala BO IKN.

Hambatan lainnya adalah, dikarenakan latar belakang Tumiyana sebagai teknolog murni dan bukan kader partai politik atau representasi parpol, dikhawatirkan tak ada dukungan atau backup politik (kecuali jika digaransi presiden atau anggota kabinet yang lain) yang dapat menopang atau membekingi Tumiyana jika dirongrong isu politik tertentu. 

Karena jelas proyek pembangunan suatu ibu kota baru sebagai proyek multi-dimensi tidak hanya terkait aspek teknis yang memang vaknya Tumiyana. Dalam hal ini, tentu saja faktor dukungan kekuatan politik adalah prasyarat keberhasilan tugasnya sebagai Kepala BO IKN.

Terkecuali jika Tumiyana dapat bertransformasi dari waktu singkat dari sekadar teknolog menjadi teknolog plus, sekaliber BJ Habibie, yang tak hanya pakar teknik atau teknologi tapi juga mahir bersiasat politik untuk mengonsolidasikan basis politik dan menggaet dukungan publik demi kelanggengan jabatannya kelak, seandainya nanti dipilih Presiden Jokowi sebagai Kepala BO IKN.

Kedua, Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, S.E., M.U.P., Ph.D. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI) ini lahir di Jakarta, 3 Oktober 1966 (53 tahun) dan menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) dan Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) pada Kabinet Indonesia Maju yang dilantik Presiden Joko Widodo sejak 23 Oktober 2019.

Sebelumnya, Bambang Brodjonegoro pernah menjabat sebagai Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Menteri Keuangan pada periode awal kepresidenan Jokowi dan menjabat sebagai wakil menteri keuangan di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Sebagai putera Prof. Soemantri Brodjonegoro (yang namanya diabadikan sebagai nama perpustakaan dan kompleks olahraga di Jakarta) yang mantan Rektor UI, Menteri Pertambangan dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era rezim Orde Baru, Bambang Brodjonegoro lahir dan dibesarkan di lingkungan akademisi serta tumbuh dan berkembang di dunia akademik sebagai dosen dan konsultan ekonomi.

Sama halnya seperti figur kandidat lainnya yakni Ir. Tumiyana yang teknolog, inilah faktor hambatan (handicap) yang harus diatasi oleh Bambang Brodjonegoro jika kelak dipilih Jokowi sebagai Kepala BO IKN. Karena jika sekadar figur akademisi atau birokrat murni tanpa didukung kemampuan politik atau dukungan politik yang memadai jelas bebannya akan lebih berat dibandingkan dengan dua kandidat yang lain, yakni Ahok dan Abdullah Azwar Anas, yang sama-sama kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan kenyang makan asam garam dunia perpolitikan karena telah lama berkecimpung sebagai anggota parlemen.

Hal ini terbukti,  kendati dalam skup yang lebih kecil, dari fakta kekalahan Bambang Brodjonegoro dalam ajang pemilihan ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) periode 2019-2022 pada Agustus 2019. 

Bang Bro, sebutan untuk Bambang Brodjonegoro dalam ajang kampanye ketua ILUNI UI tersebut, yang semula digadang-gadang sebagai kandidat terkuat dan diperkirakan akan menang mudah, ternyata kalah telak dari Andre Rahadian, seorang advokat muda lulusan FHUI 1991 dan mantan Sekjen ILUNI UI pada periode sebelumnya. Dengan selisih sekitar 1500 suara, Bang Bro hanya menduduki peringkat kedua dari keseluruhan tiga kandidat ketua ILUNI UI.

Ternyata nama besar Bambang Brodjonegoro di dunia akademik serta portofolionya sebagai menteri dan pakar ekonomi pembangunan tidak linear dengan kemampuan dan kelihaian lobby serta siasat politiknya untuk merengkuh dukungan dari para alumni UI yang nota bene merupakan representasi Indonesia mini yang beragam dengan segala afiliasi politik dan ideologinya.

Oleh karena itu, kendati keberadaan proyek IKN ini tidak terlepas dari kontribusi Bambang Brodjonegoro sebagai ketua Bappenas pada periode kabinet sebelumnya, tidak lantas langkah mantan Dekan FE-UI ini akan mulus baik sebelum maupun saat terpilih nanti sebagai Kepala BO IKN. Dunia eksekusi atau implementasi jelas jauh berbeda daripada ruang perancangan atau perencanaan.

Ketiga, Abdullah Azwar Anas, S.Pd., S.S., M.Si. Anak pesantren yang tumbuh di lingkungan jam'iyyah Nahdlatul Ulama (NU) dan dilahirkan di Banyuwangi, 6 Agustus 1973 (46 tahun) adalah alumnus S-1 Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) dan S-1 Fakultas Teknologi Pendidikan Institut Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP Jakarta), yang sekarang berganti nama menjadi Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pemegang gelar S-2 FISIP UI ini menjabat sebagai Bupati Banyuwangi selama dua periode sejak 21 Oktober 2010.

Sebelum menjadi bupati, Abdullah Azwar Anas pernah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yakni partai yang didirikan oleh mantan ketua umum PB-NU dan tokoh reformasi Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan merupakan wadah aspirasi para ulama NU pasca-Reformasi 1998.

Berbeda dengan Ahok yang gagal menjadi gubernur di kampung halamannya di Bangka Belitung karena kalah di pilgub Babel 2007, Anas yang kelahiran Banyuwangi sukses menjadi Bupati Banyuwangi melalui kendaraan politik PKB, sebelum kemudian berpindah ke PDIP pada 2015.

Pada pilgub Jatim 2018, Anas sempat dipasangkan dengan Saifullah Yusuf sebagai cawagub melawan pasangan Khofifah Indarparawansa dan Emil Dardak, namun kemudian Anas mengundurkan diri karena serangan masif kampanye hitam (black campaign) foto mesum yang memfitnah dirinya. Hingga kemudian paslon Khofifah-Emil berhasil mengalahkan Syaifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarnoputri (pengganti Abdullah Azwar Anas) dan menjadi pasangan gubernur dan wakil gubernur Jatim terpilih periode 2019-2024.

Sama halnya seperti Ahok yang terus didera kasus penistaan agama, Anas juga sejak periode awal kebupatiannya diserang dengan isu perselingkuhan dengan seorang artis ibu kota dan foto mesum, yang sampai kini tak pernah terbukti kebenarannya dan tidak ada proses hukumnya.

Inilah yang menjadi catatan khusus bagi Abdullah Azwar Anas sebagai kandidat Kepala Badan Otoritas Ibu Kota Negara (IKN). Karena sewaktu-waktu isu lama tersebut dapat muncul kembali dan digoreng lagi baik oleh para seteru politik maupun para pesaingnya.

Namun, berdasarkan profil dan peta kekuatan yang ada, patut diakui bahwa, dari ketiga kandidat kompetitor Ahok untuk jabatan Kepala BO IKN, Abdullah Azwar yang terbukti berhasil memajukan Banyuwangi menjadi kota modern dan destinasi wisata utama di Indonesia adalah figur kandidat pesaing terkuat bagi Ahok.

Ia muda, berpendidikan, kenyang pengalaman politik serta punya dukungan politik memadai, dan berpengalaman sebagai kepala daerah dan birokrat.

"Cacat" atau hambatan yang dimiliki Abdullah Azwar Anas sebagai manusia dan politisi tentu ada, toh tak ada gading yang tak retak.

Namun, jika dibandingkan dengan kompetitor terdekatnya yakni Ahok, jelas Abdullah Azwar Anas tidak punya beban "dosa masa lalu" seperti Ahok dengan cap "penista agama" yang dapat membebani Presiden Jokowi sebagai pihak yang menunjuknya sebagai Kepala BO IKN.

Terlebih lagi, selain faktor status minoritas ganda, penunjukan Ahok sebagai Kepala BO IKN akan mengonfirmasi tuduhan yang kuat beredar di publik, dengan mempertimbangkan letak IKN yang berdekatan dengan laut dan konon disebut-sebut sebagai titik yang bersinggungan dengan Jalur Sutera Modern (One Belt One Road/OBOR) yang digagas China, bahwa rezim Jokowi cenderung takluk pada RRC dengan membuka akses strategis bagi ekspansi pengaruh politik dan ekonomi (yang dikuatirkan berujung pada ekspansi populasi dan militer) China ke Indonesia dengan menempatkan Ahok yang notabene keturunan Cina sebagai pemimpin ibu kota baru tersebut.

Terlepas dari validitasnya, tuduhan serius tersebut tetap layak dipertimbangkan demi kemaslahatan dan kelanggengan jalannya pemerintahan Jokowi dan tentu demi keutuhan NKRI.

Nah, terkait faktor keutuhan NKRI tersebut, latar belakang kultural Abdullah Azwar Anas sebagai anak NU setidaknya akan memperkuat social and political positioning Jokowi di mata umat Islam, setidaknya di kalangan Nahdliyyin, sebagai umat mayoritas di Indonesia.

Ormas NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia dengan jejaringnya yang luas yang sejak pilpres 2019 relatif loyal pada pemerintahan Jokowi dapat dipastikan mendukung Anas dan tentu saja Jokowi. Dalam hal ini, totalitas dukungan PBNU dan warga NU beserta Bansernya untuk Jokowi-Amin pada kampanye pilpres 2019 tentu tak dapat diragukan lagi berperan besar untuk kemenangan paslon Jokowi-Amin.

Di samping itu, penunjukan Anas yang nota bene anak NU sebagai Kepala BO IKN dapat dianggap sebagai pelipur lara bagi kalangan NU yang tempo hari merasa ditinggalkan Jokowi karena posisi Menteri Agama yang secara tradisi biasanya dipegang NU justru ditempati oleh kalangan militer (Purnawirawan Jenderal Fachrul Razi).

Dalam konteks yang lebih mikro, faktor kedekatan sebagai anak pesantren NU, dan juga faktor usia muda, akan mempermudah koordinasi secara personal dan kultural antara Anas kelak sebagai Kepala BO IKN dengan Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas'ud yang masih berusia muda (32 tahun) dan juga lulusan pesantren afiliasi NU (Darunnajah Jakarta).

Faktor tersebut juga akan memudahkan kerja Anas sebagai Kepala BO IKN untuk menyiasati demografi sosial budaya di wilayah bakal ibu kota baru di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara yang berpopulasi mayoritas Muslim religius dan banyak terdapat lembaga Islam dan pondok pesantren yang cukup berpengaruh.

Dari sisi ini, Anas sudah unggul satu poin dari Ahok dalam hal perekatan kesatuan bangsa.

Di samping faktor keunggulan latar belakang sosial kultural tersebut, Abdullah Azwar Anas selama satu dasawarsa menjabat Bupati Banyuwangi juga dikenal dengan visi pembangunannya yang menekankan pada eco-tourism atau ekowisata yang berbasis lingkungan hidup dan pembangunan kota secara komprehensif, dengan tidak hanya meningkatkan kualitas aspek fisik atau infrastruktur melalui pembangunan bandara internasional Banyuwangi tetapi juga aspek sosial budaya atau kultural, seperti melalui penyelenggaraan program Siswa Asuh Sebaya (SAS) dan ajang olahraga internasional balap sepeda Tour de Ijen, serta Banyuwangi Jazzz Festival dan Banyuwangi Ethno Carnival.

Visi dan pendekatan pembangunan yang ramah lingkungan dan holistik inilah yang tentunya diharapkan dapat meredam terpaan isu kritis dari para aktivis lingkungan hidup (WALHI dll) yang sedari awal menyoal bakal lenyapnya sekitar 146-256 ribu hektar hutan lindung di Kalimantan yang diperuntukkan lokasi ibu kota baru. Karena jelas membangun kota tidak hanya berurusan dengan benda mati, tetapi juga berurusan dengan manusia dan entitas sosial budaya yang berada di sekitarnya dan yang melingkupinya.

Dengan segenap keunggulan tersebut, Abdullah Azwar Anas jelas berpotensi besar sebagai pesaing terkuat Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang digadang-gadang dan difavoritkan sebagai kandidat terkuat untuk jabatan Kepala BO IKN.

Bahkan, Insya Allah, Anas amat layak ditunjuk oleh Presiden Jokowi sebagai pemimpin badan otoritas ibu kota baru tersebut. Apalagi Anas adalah kader PDIP (partai pengusung dan pendukung Jokowi pada pilpres 2014 dan 2019) dan Jokowi yang nota bene juga "petugas partai" juga berasal dari PDIP, sehingga mereka berada dalam frekuensi komunikasi politik yang sama.

Namun, keputusan akhir tentang siapakah figur yang bakal dipilih sebagai Kepala Badan Otoritas Ibu Kota Negara tetap berada di tangan Jokowi sebagai Presiden RI, yang diharapkan juga mempertimbangkan rekam jejak, kapasitas, akseptabilitas, dan terutama kemaslahatan bangsa dan keutuhan NKRI. Tidak hanya berdasarkan faktor pesan titipan, balas budi, perkoncoan, atau bisikan dari para pembisik.

Jakarta, 9 Maret 2020

Referensi

www.wikipedia.com
okezone.com
idntimes.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun