Mohon tunggu...
Nurrachmat Rangga
Nurrachmat Rangga Mohon Tunggu... Universitas Negeri Jakarta

“Live for yourself and you will live in vain; Live for others, and you will live again.” -Bob Marley

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sikap Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sebagai CSO dalam Kasus Pelanggaran HAM di Intan Jaya, Papua

6 Juli 2025   05:08 Diperbarui: 6 Juli 2025   05:08 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Intan Jaya, Papua, menjadi persoalan serius yang memperlihatkan situasi konflik berkepanjangan yang tidak hanya dalam dunia politik, tetapi juga ekonomi. Dalam situasi ini, peran organisasi masyarakat sipil (CSO) menjadi sangat penting, terutama dalam membela kepentingan masyarakat sipil dan mendorong tanggung jawab negara. Salah satu aktor dalam upaya tersebut adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) merupakan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang bantuan hukum, pembelaan hak asasi manusia, dan keadilan sosial di Indonesia yang didirikan sejak tahun 1970. Dalam kasus ini, YLBHI berperan sebagai pengawas, penyeimbang, dan mengadvokasi masyarakat yang melibatkan negara, korporasi dan militer papua.

Latar Belakang Konfik dan Kekerasan HAM di Intan Jaya

Kabupaten Intan Jaya terletak di wilayah Pegunungan Tengah Papua, yang selama beberapa tahun terakhir menjadi pusat konflik bersenjata antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Namun, operasi militer yang masif justru memperburuk situasi karena sering kali dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas dan berdampak langsung pada masyarakat sipil. Dalam hal ini Satgas Gabungan TNI Koops Habema bentukan KOGABWILHAN III diduga melakukan tindak pidana pelanggaran HAM berat. YLBHI menyatakan bahwa tindakan Satgas TNI Koops Habema dalam insiden ini berpotensi melanggar Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang mendefinisikan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai perbuatan dalam serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada penduduk sipil.

Salah satu temuan penting dalam laporan YLBHI dan jaringan CSO lainnya adalah adanya keterkaitan antara pengerahan militer dan kepentingan bisnis pertambangan. Intan Jaya merupakan lokasi Blok Wabu, sebuah wilayah yang memiliki cadangan emas dalam jumlah besar dan semula berada di bawah konsesi PT Freeport Indonesia. Kini wilayah tersebut direncanakan untuk dikelola oleh PT ANTAM, anak usaha dari MIND ID (Holding BUMN Tambang).

Beberapa perusahaan lain seperti PT Madinah Qurrata 'Ain juga disebut dalam laporan karena kedekatannya dengan pos-pos militer. Bahkan ditemukan bahwa sejumlah purnawirawan dan tokoh militer aktif duduk sebagai komisaris dan pemegang saham di perusahaan tambang tersebut. Hal ini menguatkan dugaan bahwa proyek-proyek ekonomi di Papua berjalan seiring dengan militerisasi, dan justru memperparah kondisi sosial masyarakat adat yang tinggal di wilayah tersebut.

Proyek ini memicu kecurigaan dan penolakan dari masyarakat adat karena berlangsung tanpa keterlibatan mereka secara sah dan berisiko menggusur ruang hidup mereka. Ketimpangan ekonomi, diskriminasi,marjinalisasi orang Papua, dan pendekatan militeristik menjadi faktor utama yang memperparah konflik di Papua. Pemerintah dinilai gagal dalam membangun kesejahteraan yang adil dan berkelanjutan. Manajemen Konflik yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dinilai masih belum memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat Papua, sehingga konflik akhirnya belum terselesaikan dan meluas ke aspek lain.

Berbagai insiden kekerasan dilaporkan, termasuk penembakan terhadap warga sipil, pendeta, guru jemaat, dan bahkan anak-anak. BBC Indonesia melaporkan bahwa sedikitnya 12 orang menjadi korban, termasuk kepala desa, dan terdapat tujuh lainnya yang masih belum dievakuasi. Selain itu pelanggaran HAM di Papua bukan hanya berupa kekerasan fisik, tetapi juga terjadi penyiksaan, penculikan, dan pemindahan paksa penduduk yang dilakukan aparat negara selama operasi militer. Banyak dari pelanggaran ini tidak pernah ditindak secara hukum secara adil. 

YLBHI mengkritik keras praktik militer yang menggunakan rumah warga, gereja, bahkan sekolah sebagai pos militer, yang mengakibatkan warga kehilangan ruang hidup dan kebebasan.  Keberadaan aparat bersenjata di wilayah sipil menciptakan ketakutan serta membuat warga sipil mudah dicurigai sebagai simpatisan OPM, serta memicu pengungsian. Koalisi sipil mencatat bahwa lebih dari 1.200 warga di Intan Jaya telah mengungsi, sebagian besar perempuan dan anak-anak, akibat ketakutan menjadi korban salah sasaran dari baku tembak. YLBHI melihat ini sebagai tindakan represif dan intimidatif, yang bukan hanya melanggar hak-hak sipil dan politik, tetapi juga menutup ruang partisipasi masyarakat adat dalam menentukan nasib wilayahnya sendiri.

Menurut laporan Tempo, Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, menuding TNI "merekayasa identitas korban tewas di Intan Jaya" sebagai upaya menutupi pelanggaran HAM yang dilakukan aparat. Tuduhan ini menambah dimensi baru pada konflik, yakni manipulasi fakta dan upaya kontrol narasi oleh negara.

YLBHI sebagai Pengawas HAM

Dalam situasi ini, YLBHI menjalankan fungsi sebagai pengawas yang melakukan investigasi, mengumpulkan data, dan mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran dari sudut hukum dan HAM. YLBHI  mendorong transparansi informasi publik, mengkritisi kebijakan militerisasi tanpa dasar hukum yang sah (ilegal), serta mengangkat suara warga sipil yang selama ini dibungkam. Salah satu sikap tegas yang diambil YLBHI adalah menuntut agar setiap operasi militer di Papua dilaksanakan berdasarkan hukum, termasuk mendapatkan persetujuan DPR sebagaimana diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Tanpa dasar hukum yang sah, pengerahan militer di Papua dapat dikategorikan sebagai tindakan ilegal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun