Mohon tunggu...
Nurmawan Pakaja
Nurmawan Pakaja Mohon Tunggu... Pekerja swasta

Pekerja kantoran swasta. Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

BUKU, PERANG, Dan TUHAN

22 Juni 2025   20:13 Diperbarui: 22 Juni 2025   20:13 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini, saya sengaja memutuskan untuk tidak ke mana-mana. Saya lebih memilih tinggal di kontrakan, membereskan tumpukan-tumpukan yang terlalu lama saya biarkan.Toh kardus-kardus yang sejak saya pindahan tidak pernah benar-benar dibongkar. Bahkan pakaian yang tertumpuk seperti guguran minggu lalu terbaikan begitu saja. Dan buku-buku, ya, buku-buku yang terlanjur berdebu itu sudah lama tidak mendapatkan tempatnya. Kasihan sekali mereka.

Hari ini rak buku baru akhirnya tiba. Rak itu tidak besar, tapi cukup untuk memanggil ulang nama-nama yang sempat mengendap di sudut ingatan: Camus, Sartre, Arendt dan masih banyak lainnya. Satu demi satu nama-nama itu saya susun kembali, dan di antara sekian banyaknya, mata saya terhenti pada Arendt: "On Violence" - Tentang Kekerasan.

Ingatan saya kembali saat pertama kali buku itu mendarat. Sejauh yang saya ingat, buku itu dibelikan oleh seseorang. Seorang kawan lama, perempuan. Ia tahu saya tertarik pada pemikiran Arendt, saat ia sedang memegang bukunya dengan niat membelikannya untuk saya, ia berkata, "Kamu butuh ini, bukan karena kamu suka berteori, tapi karena kamu terlalu sering menunda marah." seketika tatwa saya memecah kala itu. Alhasil saya masih tertawa hingga hari ini. Tapi ini bukan soal dia. Hahaha... sungguh, bukan. Ini tentang buku yang akhirnya kembali saya buka di hari yang tenang dan agak berantakan ini.

Buku itu tidak tebal, tapi berat. Berat karena isinya mengajak kita berpikir ulang tentang hal yang paling mudah kita anggap biasa: kekerasan. Di hari yang sunyi ini, ketika saya hanya mendengar suara deru AC dan kereta lewat dari kejauhan, saya membuka kembali halaman-halaman Arendt. Lalu di saat yang bersamaan, notifikasi berita masuk di ponsel saya; Amerika berhasil melakukan serangannya kepada Iran. Rasa-rasanya Amerika memang tidak pernah absen dalam medan apa pun.

Dan lihat hasilnya - dunia sedang terbakar. Dan kita menyaksikannya dari ruang sepi kita masing-masing. Lantas saya berpikir: apakah ini semua benar-benar tentang kekuasaan? Atau justru, seperti kata Arendt, ini adalah tanda bahwa kekuasaan itu telah hilang---dan yang tersisa hanyalah kekerasan yang mengambil alih?

Dalam catatannya, Arendt mengingatkan kita bahwa kekuasaan bukanlah kekerasan, dan kekerasan bukanlah bentuk paling kuat dari kekuasaan. Sebaliknya bahwa kekuasaan lahir dari tindakan kolektif, dari konsensus bersama, dab dari partisipasi manusia dalam ruang politik. Sedangkan kekerasan itu sendiri, menurutnya, muncul ketika ruang itu roboh. Ketika tidak ada lagi kesepahaman, ketika otoritas kehilangan daya ikatnya, dan ketika yang tersisa hanyalah senjata.

Perang antara Iran dan Israel-Amerika hari ini adalah gambaran nyata dari ruang politik yang lumpuh itu. Ketika diplomasi digantikan oleh serangan udara, dan ketika identitas agama serta sejarah luka dijadikan bahan bakar untuk membenarkan kekerasan, maka sesungguhnya kita tidak sedang menyaksikan kekuasaan dalam arti Arendtian. Melainkan kita sedang menyaksikan upaya mempertahankan ilusi kekuasaan dengan cara yang justru menghancurkannya dari dalam.

Toh bukankah hari ini Amerika tidak lagi dipandang sebagai pemimpin dunia yang memiliki otoritas moral?, melainkan sebagai kekuatan dominan yang mencoba mempertahankan status quo dengan sanksi dan kekuatan militernya. Sementara itu, Iran dari sisi yabg lain bukan sebagai aktor alternatif yang membangun kekuasaan baru, melainkan respon terhadap kekerasan itu sendiri, yang akhirnya melahirkan kekerasan baru. Israel kemudian berada di posisi paling rumit. Mereka memiliki kekuatan destruktif yang luar biasa, tapi sayang mereka justeru kehilangan legitimasi moral secara perlahan di mata dunia internasional.

Dalam lanskap semacam itu, semua pihak merasa benar, tapi tidak ada yang benar-benar punya otoritas. Dan dalam pandangan Arendt, kekuasaan tanpa otoritas adalah kekuasaan yang rapuh. Ia membutuhkan kekerasan terus-menerus agar tetap terlihat hidup, tapi di saat yang sama pula kekerasan itu justru mempercepat kehancurannya.

Tidak sedikit  yang mulai menyebut ini sebagai awal dari Perang Dunia Ketiga. Dan kita tentu bisa berandai-andai: bagaimana jika negara A ikut menyerang, bagaimana jika sekutu-sekutu tertentu membalas, bagaimana jika nuklir menjadi pilihan terakhir? Semua analisa itu sah. Namun, seperti Arendt juga tahu, analisa manusia selalu berada dalam keterbatasannya.

Toh sejarah itu tidak selalu berjalan sesuai nalar, dan perang tidak selalu meledak ketika diperkirakan. Artinya di balik semua kemungkinan itu, ada ruang yang tidak bisa disentuh oleh prediksi dan itu adalah ruang takdir. Jika ada sesuatu yang mampu melampaui batas-batas logika geopolitik, maka itu bukan strategi jenderal atau kalkulasi pakar, melainkan keputusan yang datang dari Sang Pemilik Wewenang atas dunia ini---Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun