Mohon tunggu...
Lateefa Noor
Lateefa Noor Mohon Tunggu... Penulis

Penulis amatir yang selalu haus ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Romantisme Semangkuk Sup Tahu

14 Agustus 2023   10:18 Diperbarui: 14 Agustus 2023   10:20 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam suatu perjalanan, ada serba-serbi kejadian yang mewarnai kehidupan. Terkadang kebahagiaan menghiasi genggam. Terkadang pula kepedihan mengambil alih peran. Selain Tuhan, tidak ada yang memahami rumus pasti yang akan menghampiri episode hidup setiap insan. Begitu juga denganku, yang seolah buta perihal takdir yang bersiap menghadang di ujung jalan.

Inilah aku. Seorang ibu rumah tangga yang mempunyai seorang suami sebagai seorang tenaga pendidik di sekolah swasta yang berada di suatu desa kecil, tepatnya dekat dengan kediaman kami. Kalau dari segi materi, profesi ini memang tidak cukup menjanjikan. Untuk kebutuhan sehari-hari, kami sering kelabakan. Nominal yang jauh dari standar, hingga membuat kami sering menahan diri untuk menyantap menu yang layak sebagai hidangan.

Saat ini, aku sedang hamil 5 bulan. Trisemester kedua yang seharusnya mendapatkan asupan yang lebih ekstra. Namun, hal itu sulit diwujudkan karena faktor ekonomi yang menjadi beban. Mengingat Si Jabang Bayi sudah makin berkembang, aku menghela nafas dengan kasar.

“Jangankan untuk kebutuhan gizi yang seimbang, sekadar pengganjal perut yang sedari tadi keroncongan saja … masih tidak ada gambaran.”

Sayup-sayup kudengar ada suara yang memanggil dari arah luar. Segera kuhampiri sumber suara tersebut untuk memastikan. Setelah mengetahui dengan pasti, aku masuk kembali ke rumah untuk memberitahukan kepada suamiku perihal tamu yang bertandang.

“Sayang, ada pelanggan setia datang,” ujarku pada suami.

Pelanggan setia yang kumaksud adalah seseorang yang rutin meminta sedekah. Ia memang sering berkunjung. Kebiasaan suami memang seperti itu, selalu mendermakan sedikit harta yang dimiliki, termasuk untuk makhluk Tuhan istimewa satu ini.

“Kasih aja kayak waktu itu, Sayang!” perintah suamiku.

Sontak aku terkejut mendengar penuturan suamiku, mengingat budget yang dimiliki makin menipis.

“Stok sayur-mayur kita habis, Sayang. Kita nanti makan apa?” protesku pada suami.

Lalu, kuambil dompet usang yang sudah bertahun-tahun menemani. Kuintip perlahan. Isi di dalamnya membuatku tercengang. Ternyata, hanya tersisa dua lembar. Aku hanya tidak habis pikir. Kalau semua ini dikasihkan orang, kami tidak memegang sepeser pun untuk berbelanja kebutuhan satu minggu selanjutnya.

“Tinggal segini saja, Sayang.” Kusodorkan dua lembar lima ribuan yang telah berhasil kukeluarkan dari dompet kesayangan dengan hati gamang.

“Nggak masalah, Sayang. Barangkali, itu adalah rezekinya yang dititipkanNya pada kita. Percaya, deh! Ada Allah yang akan mencukupkan,” ucap suamiku dengan mantap.

Aku pun segera berlalu dengan langkah gontai. Pikiranku menerawang jauh ke angkasa. Rasanya campur aduk.

“Sayang, sini!” Suamiku meyuruhku duduk di sampingnya. Lantas, aku menurut saja. 

Dengan perlahan, kurebahkan diri tepat di sebelahnya. Setelah itu, ia menuntunku untuk bersandar di bahunya. Diusap pucuk kepalaku dengan penuh cinta. Aku terbuai. Pikiranku yang sedang berkecamuk sedikit berkurang. Ia biarkan diriku menumpahkan bulir bening yang sedari tadi tertahan. Rona mukaku sudah tak beraturan. Sebenarnya, aku malu. Namun, aku hanya ingin meluapkan segenap resah yang harus segera dimusnahkan.

Setelah tangisku reda, suamiku itu menggeser posisinya. Ia duduk di depanku sembari menatap lekat netraku, “Sayang yakin sama Allah?” tanyanya yang hanya kubalas dengan anggukan.

“Jika rasa percaya kita pada Allah sudah menggunung. Maka, Dia yang akan menguatkan. Dia pula yang akan memudahkan segala kesusahan,” ujar suamiku, berusaha lebih menenangkan.

Kurenungi setiap kata yang baru saja keluar dari lisan suamiku. Sejuk. Air pegunungan seolah-olah mengalir deras membasahi sanubari. Airmataku kembali pecah. Kali ini bukan tangis kesedihan yang menyapa. Namun, ungkapan kebahagiaan yang berhasil luruh seketika. Aku bangga sekaligus bahagia. Diriku yang masih jauh dari sempurna ini merasa beruntung memiliki seorang pasangan hidup seperti lelaki di hadapanku ini. Ia mampu menenangkan kala gundah menguasai pikiran.

Aku ingat sekali saat aku memutuskan untuk memilihnya. Banyak anggota keluarga yang meragukan kesanggupannya menjadi pemimpin rumah tangga. Pengetahuan agamanya dibilang masih kurang mumpuni dan masih banyak lagi perumpamaan penolakan lainnya. Menurutku, alasan semacam itu tidak berdasar. Itu hanya penilaian subjektif dari mereka. Aku pun masih tetap pada pendirianku. Aku yakin ia mampu membuktikan kemampuannya seiring berjalannya waktu.

Pernah suatu ketika ia bertanya,”Bagaimana kalau mereka benar, aku tidak mampu menjadi imam yang baik bagimu?”

“Aku memang tidak mencari imam. Kalau imam itu … nanti bakal banyak makmumnya, kan? Aku nggak mau,” jawabku dengan enteng.

“Tuh, kan! Malah bercanda,” tuturnya lagi.

“Aku serius. Aku memang bukan sedang mencari imam. Aku hanya ingin mencari partner hidup, yang nantinya akan saling mengingatkan jika ada kesalahan dan saling menguatkan jika ada permasalahan.”

Kuucapkan itu dengan penuh keyakinan. Sebab, menurutku, suatu pernikahan itu tidak akan lengkap jika tanpa ada kesalingan di dalamnya. Dalam suatu ikatan suci memang butuh pemimpin, tetapi seorang wanita sejati hanya menginginkan kedamaian. Ia tidak menghendaki seorang pemimpin yang hobinya memerintah. Menurutnya, hal seperti itu akan mengurangi keharmonisan.

Sekarang terbukti bahwa pilihanku tepat. Kutemui lelaki idaman yang patut diandalkan. Kupandangi ia dengan saksama. Aku bangga sama kamu, Mas, bisikku dalam hati.

Senyumku sudah kembali seperti sedia kala. Gurat bahagia terpancar pada suamiku juga. Ia tampak lega. Pandanganku beralih di bagian tubuhku yang lain. Kulihat suamiku mengusap lembut perutku yang sudah tampak tidak simetris lagi. 

“Maaf, ya, Sayang, jika sampai detik ini masih belum mampu menjadi suami dan calon bapak yang baik buat kalian,” ucapnya lirih yang tentu saja masih mampu tertangkap indra pendengaranku dengan jelas. Kulihat mendung mewarnai netranya. Aku terenyuh melihatnya. Segera kupeluk ia dengan mesra. Kupastikan tidak ada lagi hujan yang akan merampas aura bahagia yang baru saja tercipta.

“Assalamualaikum.” Tiba-tiba saja kami dikagetkan dengan suara dari luar.

“Waalaikumussalam,” jawab kami bersamaan.

Suamiku segera meluncur ke depan. Kudengar suara bisik-bisik dari dalam. Aku tidak dapat mendengarnya. Hanya selentingan kata-kata yang berhasil kucerna. Sehingga, aku hanya perlu menunggunya dengan sabar untuk meminta penjelasan.

“Sayang, Pisang Raja di depan rumah itu ditawar orang,” kata suamiku.

“Kan mau dibuat keripik, Sayang.” Memang benar. Kami sudah menantinya cukup lama untuk menikmati olahan dari pisang itu. Bayangan kriuk-kriuk dari renyahnya keripik semakin kuat. Namun, di sisi lain, kami sangat membutuhkan isi dompet yang sudah kosong melompong. Setelah berpikir panjang, aku pun mengajak suami untuk menemui orang yang akan membeli pisang itu.

“Yuk, kita temui orangnya dulu!” ajakku pada suami.

Tanpa basa-basi orang itu langsung menodongkan kata-kata padaku, “Yu, pisangnya tak beli saja, ya! daripada harus dibikin keripik kan prosesnya lama. Mending dijual saja, langsung dapat duit.”

Enak saja, memang aku mata duitan, Pak? umpatku dalam hati. 

Memang, sih. Logis juga alasannya. Rasanya ingin tertawa, tetapi kuurungkan. Jangan salah paham, aku hanya ingin menertawakan diriku yang sok jual mahal.

“Aku benar-benar sedang butuh, Yu. Ini penting. Nyarinya susah. Tadi ada di seberang jembatan sana, tapi masih muda banget. Jadi, nggak kuambil,” jelasnya.

Melihatku masih berpikir, orang tersebut langsung menawar dengan harga yang lumayan tinggi, “Satu tundun ini kubeli 35.000 ya, Yu? Jadi per sisir harganya 5.000.”

Sepertinya aku kalah dengan rayuan maut Si Bapak ini. Aku menyesal pada diriku sendiri. Dasar wanita. Mudah sekali goyah, pikirku.

“Ya, sudah, Pak. Monggo! Ditebang sendiri, ya!” Kataku.

Kulihat suamiku senyum-senyum sejak tadi, mengamati perdebatan singkatku dengan Bapak itu. Aku sangat memahami maksudnya. Dia sengaja menertawakanku atas sikap anehku, yang pura-pura tidak mau, padahal kenyataannya sangat mau.

Setelah Si Bapak Pembeli itu pergi. Suamiku langsung menghampiriku. Dia menyerahkan sejumlah uang hasil penjualan pisang itu padaku. Senyumku mengembang. Aku sangat bersyukur pada kuasa Tuhan. Tidak ada yang tidak mungkin bagiNya untuk memperbaiki keadaan seorang hamba yang yakin padaNya.

“Dibalas kontan, kan, Sayang,” kata suamiku.

Aku pun mengangguk seraya tersenyum. Perkataan suamiku memang benar. “Jikalau kita berbuat baik karena Allah, maka Dia akan membalasnya dengan sesuatu hal yang tak terduga.”

Setelah pikiran kembali nyaman. Aku bergegas mengajak suamiku untuk berbelanja ke warung tetangga. Tentu saja untuk membeli bumbu dapur dan stok sayuran yang sudah tak tersisa.

“Kita mampir dulu tempat Pak Lek , Sayang!” kata suamiku yang langsung kusetujui.

Sesampainya di sana, kami berdua mengucapkan salam, lalu disambut sang penghuni rumah dengan ramah.

“Oalah, akhirnya,” kata Bulek. “Tak tunggu-tunggu nggak ke sini. Pak Lek sama Bulek habis dari pasar. Banyak sayuran ini. Mau antar ke sana belum sempat.”

Hatiku berdetak tak beraturan. Bukan karena jatuh cinta, tetapi karena terlalu bahagia. Kini, Tuhan kembali menunjukkan kuasaNya.

Kemudian, kami berbincang cukup lama. Dirasa waktu berkunjung sudah cukup. Kami pun segera berpamitan. Sebelum itu, kami juga menyampaikan rasa terima kasih pada Pak Lek dan Bulek atas kebaikan hatinya.

Alhamdulillah.

Sepanjang perjalanan pulang, rasa syukur tak henti terucap. Kami tak perlu lagi pergi ke warung untuk berbelanja. Sebab, sekantong plastik yang kami bawa sudah ada sayur-mayur dan bumbu dapur yang kami butuhkan.

Setelah tiba di rumah, aku dan suami memutuskan untuk langsung memasak.

“Mau dimasakin apa?” tanyaku pada suami.

Jawabannya selalu saja sama, “Apa aja aku suka. Masakanmu selalu lezat.”

“Ah, gombal,” bisikku yang hanya dibalas dengan senyuman.

Aku pun segera bergegas ke dapur. Kusiapkan berbagai bumbunya; ada bawang putih, bawang merah, sedikit jahe, garam, dan bumbu pendukung lainnya. Kuramu dengan saksama masakan ternikmat dengan bumbu-bumbu cinta di dalamnya.

“Udah siap. Makan, yuk!” Kupanggil suamiku seusai menu yang kumasak tadi sudah tersaji di meja.

“Baiklah, Sayang,” sahutnya.

Biasanya, suamiku kerap membantu di dapur. Namun, kali ini aku sengaja ingin meracik menu baru ini sendirian.

“Aromanya menggugah selera. Apa ini?” Suamiku bertanya.

“Sup tahu,” ujarku.

Kami langsung menyantap makanannya hingga tak ada sedikit pun yang tersisa. Suamiku tampak begitu lahap. Aku bahagia melihat ekspresi puasnya.

“Terima kasih, Sayang. Enak banget. Ini bakal jadi menu favorit, deh,” tutur suamiku sembari ditempelkan bibir indahnya ke dahiku. Aku tersipu.

Ternyata, romantis itu tak harus yang serba mewah, sekadar menikmati semangkuk sup tahu juga bisa.

“Terima kasih, Tuhan. Nikmatmu sungguh tak terukur.”

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun