Mohon tunggu...
Nur Kholidah
Nur Kholidah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Zakat Perusahaan

19 Juni 2015   10:35 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:40 3317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh : Nur Kholidah, Mahasiswi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Keuangan dan Perbankan Syariah

Zakat perusahaan (Corporate zakat) adalah sebuah fenomena baru, sehingga hampir dipastikan tidak ditemukan dalam kitab fiqih klasik. Ulama kontemporer melakukan dasar hukum zakat perusahaan melalui upaya qiyas, yaitu zakat perusahaan kepada zakat perdagangan. Zakat perusahaan hampir sama dengan zakat perdagangan dan investasi. Bedanya zakat perusahaan bersifat kolektif. Gejala ini dimulai dengan prakarsa para pengusaha dan manajer muslim modern untuk mengeluarkan zakat perusahaan. Kaum cendekiawan muslim ikut mengembangkan sistem ini, dan akhirnya BAZ (Badan Amil Zakat) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) juga ikut memperkokoh pelaksanaannya. Para ulama peserta muktamar internasional menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat perdagangan, karena dipandang dan aspek legal dan ekonomi kegiatan sebuah perusahaan intinya adalah berpijak pada kegiatan trading atau perdagangan. Oleh karena itu, nishabnya adalah sama dengan nishab zakat perdagangan yaitu 85 gram emas.

Zakat merupakan ibadah amaliyah dan ijtima’iyah, yakni ibadah sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia. Sesuai dengan perkembangan kegiatan ekonomi dan mata pencaharian masyarakat yang terus berkembang, maka jenis-jenis harta yang dizakati juga mengalami perkembangan. Al-Qur’an sebagai kitab suci yang universal dan eternal (abadi), tidak mengajarkan doktrin yang kaku, tetapi memiliki ajaran yang elastis untuk dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Perkembangan itu terlihat pada jenis-jenis harta yang dizakati. Oleh karena itu, ulama kontemporer memperluas harta benda yang dizakati dengan menggunakan ijtihad kreatif yang berada dalam batasan-batasan syari’ah.

Prof.Dr.Yusuf Qardhawi adalah salah seorang ulama kaliber dunia yang mewakili ulama kontemporer itu. Qardhawi membagi al-amwal az-zakawiyah kepada 9 katagori: 1. Zakat binatang ternak, 2. Zakat emas dan perak, 3. Zakat kekayaan dagang, 4. Zakat hasil pertanian, meliputi tanah pertanian, 5. Zakat madu dan produksi hewani, 6. Zakat barang tambang dan hasil laut, 7. Zakat investasi pabrik, gedung, dll. 8. Zakat pencarian jasa dan profesi, 9. Zakat saham dan obligasi.[1]

Dasar Hukum Zakat Perusahaan

Perusahaan wajib mengeluarkan zakat, karena keberadaan perusahaan adalah sebagai badan hukum atau yang dianggap orang. Oleh karena itu diantara individu itu kemudian timbul transaksi meminjam, menjual, berhubungan dengan pihak luar, dan juga menjalin kerjasama. Segala kewajiban dan hasil akhirnya pun dinikmati secara bersama-sama, termasuknya di dalamnya ada kewajiban kepada Allah SWT dalam bentuk zakat.

Perusahaan yang menghasilkan produk-produk tertentu. Jika dikaitkan dengan kewajiban zakat, maka produk yang dihasilkan harus halal dan dan dimiliki oleh orang-orang yang beragama islam.

Dasar hukum kewajiban zakat perusahaan ialah dalil yang bersifat umum sebagaimana terdapat dalam (Q.S. Al-Baqarah:267 dan Q.S. At-Taubah:103). “Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usaha-usahamu yang baik-baik………..”

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, bab IV pasal 11 ayat (2) bagian (b) dikemukakan bahwa diantara obyek zakat yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah perdagangan dan perusahaan. Muktamar Internasional Pertama tentang Zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H) menyatakan kewajiban zakat sangat terkait dengan Perusahaan. Perusahaan, menurut hasil muktamar dikategorikan sebagai badan hukum yang dianggap orang karenanya perusahaan termasuk muzakki atau subyek zakat. Bahkan di Indonesia sendiri sudah ada Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mewajibkan zakat perusahaan.[2]

Pandangan Ulama Tentang Zakat Perusahaan

Pendapat pertama yang dikemukakan oleh Syeikh Abdurrahman isa dalam kitabnya “al-Mu’âmalah al-Hadîtsah Wa Ahkâmuha ”, mengatakan bahwa yang harus diperhatikan sebelum pengeluaran zakat adalah status perusahaannya, untuk lebih jelasnya sebagai berikut:

  1. Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan yang bergerak dibidang layanan jasa semata, misalnya biro perjalanan, biro iklan, perusahaan jasa angkutan (darat, laut, udara), perusahaan hotel, maka sahamnya tidak wajib dizakati. Hal ini dikarenakan saham–saham itu terletak pada alat–alat, perlengkapan, gedung–gedung, sarana dan prasarana lainnya. Namun keuntungan yang diperoleh dimasukkan ke dalam harta para pemilik saham tersebut, lalu zakatnya dikeluarkan bersama harta lainnya jika telah mencapai nisab dan haul.
  2. Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan dagang murni yang melakukan transaksi jual beli barang tanpa melakukan proses pengolahan, seperti perusahaan yang menjual hasil–hasil industri, perusahaan dagang Internasional, perusahaan ekspor-impor, dan lain lain, maka saham–saham perusahaan tersebut wajib dikeluarkan zakatnya disamping zakat dari keuntungan yang diperoleh. Caranya adalah dengan menghitung kembali jumlah keseluruhan saham kemudian dikurangi harga alat-alat, barang-barang ataupun inventaris lainnya, baru kemudian dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. Hal ini dapat dilakukan setiap akhir tahun.
  3. Jika perusahaan tersebut bergerak dibidang industri dan perdagangan, artinya melakukan pengolahan suatu komoditi dan kemudian menjual kembali hasil produksinya, seperti perusahaan Minyak dan Gas (MIGAS), perusahaan pengolahan mebel, marmer dan sebagainya, maka sahamnya wajib dizakatkan. Cara penghitungan dan pengeluaran zakatnya adalah sama dengan cara penghitungan zakat perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun