Mohon tunggu...
Nur Khabibah
Nur Khabibah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi, Universitas Trunojoyo Madura

Program Studi Sosiologi Universitas Trunojoyo Madura

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Covid-19 dan Tingginya Angka Putus Sekolah

15 Juni 2021   20:44 Diperbarui: 15 Juni 2021   22:30 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

               Pandemi Covid-19 telah banyak merubah wajah pendidikan Indonesia. Perubahannya dapat dilihat dari model pelaksanaan dan perubahan kebiasaan siswa atau guru, mahasiswa atau dosen. Tanpa melihat kesiapan masyarakat pinggiran, Pemerintah mengeluarkan kebijakan kegiatan belajar mengajar secara daring.

               Model pembelajaran Daring ibarat dua mata pisau. Bisa berdampak positif. Tetapi ada sisi negatifnya juga terhadap siswa. Dengan daring, siswa wajib memiliki Hand Phone. Hal ini dapat merubah kebiasaan anak. Salah satunya, kegemaran main game online, perubahan intensitas waktu belajar, penurunan semangat belajar pada anak, dan ketergantungan pada gadget.

               Selain anak, orang tua siswa juga menerima efek pembelajaran daring. Utamanya, para orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya. Sehingga, mereka tidak maksimal dalam mendampingi dan mengawasi anak dalam melakukan pembelajaran online. Akibatnya, tidak sedikit siswa yang inisiatif belajar belajarnya, menurun. Bahkan, tidak sedikit anak yang malas sekolah dan belajar, hingga putus sekolah.

               Menurut data UNICEF pada 24 Desember 2020 terdapat 938 anak di Indonesia yang putus sekolah akibat adanya pandemi Covid-19. Hal ini disampaikan oleh Debora Comini selaku perwakilan UNICEF yang juga diliput melalui media informasi CNN Indonesia. Melalui jumlah keseluruhan tersebut, 75 persen diantaranya tidak bisa melanjutkan pendidikan disebabkan karena masalah biaya dan perekonomian keluarga.

                Penyebab dari permasalahan tersebut yang tidak lain berupa masalah biaya dan perekonomian keluarga adalah faktor hilangnya pekerjaan dan dan pendapatan yang dialami oleh orang tua sebagai dampak dari adanya pandemi Covid-19. Berdasarkan jumlah tersebut, permasalahan ATS (Anak Tidak Sekolah) lebih banyak dialami oleh masyarakat kelas menengah kebawah hingga masyarakat miskin. Sehingga, dampak yang muncul adalah berupa ketimpangan pendidikan antara wilayah atau daerah pusat dengan daerah pelosok dan antara masyarakat kelas menengah atas dengan kelas menengah kebawah.

               Selain itu, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) melalui media kompas dan detik menyebut bahwa jumlah anak putus sekolah selama adanya pandemi Covid-19 cukup tinggi. Data ini disampaikan oleh komisioner KPAI, Retno Listyarti berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Menurutnya, peningkatan jumlah anak putus sekolah saat adanya pandemi Covid-19 disebabkan karena empat faktor, diantaranya adalah karena menikah, bekerja karena membantu orang tua yang terdampak secara ekonomi karena adanya pandemi Covid-19, kecanduan game online, dan perekonomian orang tua yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan melalui pembayaran SPP dan fasilitas belajar yang dibutuhkan dalam melaksanakan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) saat pandemi Covid-19.

               Adanya pandemi Covid-19 dan kebijakan yang dibuat sejak adanya pandemi ini memberikan dampak yang cukup signifikan dalam berbagai aspek dan elemen masyarakat, baik dari segi sosial, ekonomi, dan pendidikan. Pandemi Covid-19 yang menuntut masyarakat untuk mau mengikuti perubahan yang muncul dan menjalankan kebijakan-kebijakan baru yang dinilai merugikan bagi beberapa pihak atau elemen dalam masyarakat. Kebijakan inilah yang disebut dalam protokol Kesehatan. Beberapa kebijakan tersebut diantaranya adalah menjauhi kerumunan, menghindari kunjungan pada fasilitas umum, dan menghindari pemakaian alat atau barang yang berpotensi untuk disentuh banyak orang.

               Munculnya suatu kebijakan baru tidak terlepas dari akibat yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut. Adanya kebijakan yang ada saat pandemi ini memiliki dampak yang cukup signifikan pada masyarakat kelas menengah kebawah dalam pekerjaan yang mereka jalani untuk memenuhi kebutuhan dan menjalankan perekonomian seperti pedagang makanan olahan yang menerapkan makan di tempat, pedagang pasar tradisional, pekerja pada fasilitas publik seperti mall, pekerja pabrik, dan penyedia jasa angkutan umum seperti gojek. Dampak yang mereka rasakan adalah melalui adanya penurunan pendapatan yang signifikan, pemberhentian kerja pada bidang industri atau pabrik, bahkan ada yang hingga gulung tikar. Adanya dampak tersebut membuat masyarakat kesulitan dalam memenuhi segala hal yang dianggap sebagai kebutuhan seperti kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan pendidikan pada anak.

               Adanya pandemi Covid-19 telah mengubah sistem pendidikan di seluruh dunia, salah satunya adalah di Indonesia, yaitu sistem pembelajaran tatap muka yang beralih menjadi sistem pembelajaran secara daring (dalam jaringan) atau yang juga disebut sebagai metode PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). Adanya perubahan pada sistem pembelajaran mengacu pada kebijakan social distancing atau menjaga jarak, dimana dalam sistem pembelajaran ini siswa tidak lagi melakukan tatap muka dan datang ke sekolah, melainkan bertemu melalui virtual dengan menggunakan jaringan pada media elektronik, seperti hp dan laptop yang dilakukan melalui berbagai aplikasi.

               Adanya perubahan sistem pembelajaran ini, memunculkan kebutuhan-kebutuhan baru yang harus dipenuhi oleh orang tua dalam keberlangsungan pendidikan dan pembelajaran, seperti hp atau laptop yang memadai dan paket data atau paket internet. Adanya kebutuhan baru ditengah penurunan pendapatan inilah yang dianggap sebagai masalah bagi masyarakat karena selain harganya mahal, mereka menganggap bahwa kebutuhan yang lain masih sulit untuk terpenuhi.

               Bagi masyarakat kelas menengah dan masyarakat miskin adanya kebutuhan yang dibutuhkan dalam melakukan pembelajaran daring mayoritas tidak terpenuhi, karena mereka merasa bahwa uang atau pendapatan yang mereka miliki hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan yang menjadi kebutuhan rumah tangga. Sehingga, dampaknya adalah tidak terpenuhinya fasilitas pendidikan anak. Maka, ketika orang tua merasa tidak mampu memenuhi fasilitas yang dibutuhkan inilah mereka memutuskan agar anak tidak melanjutkan pendidikan. Selain ketidakmampuan orang tua dalam memenuhi fasilitas pendidikan, adanya fenomena putus sekolah atau learning loss (kehilangan pembelajaran) juga disebabkan karena ketidakmampuan membayar asuransi pendidikan atau yang disebut sebagai SPP. Sehingga, untuk menghindari penunggakan atau keterlambatan dalam membayar administrasi saat mereka memiliki pendapatan yang relatif sedikit, para orang tua memutuskan anaknya dalam menempuh pendidikan dengan tujuan mengurangi beban pengeluaran kebutuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun